Menyelamatkan Hutan Sebagai Bagian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Jalal dan Fajar Kurniawan
Social Investment Indonesia
Kalau kita menggunakan perhitungan akuntansi lingkungan, maka jasa lingkungan yang diberikan hutan kepada kita di Indonesia pastilah mencapai ribuan triliun rupiah per tahunnya. Namun, jasa lingkungan yang sebegitu besarnya dari hutan tampak masih kurang dihargai oleh kita semua. Laju deforestasi kita pernah mencapai lebih dari 2 juta hektare per tahunnya pada periode sekitar reformasi, dan hingga kini kita masih juga kehilangan ratusan ribu hektare. Kondisi ini harus kita hentikan, bahkan harus dibalikkan, apabila kita masih ingin melihat Indonesia dalam beberapa dekade ke depan.
Lalu, sebagai perusahaan, apa yang bisa dilakukan? Ada banyak sebetulnya. Namun hingga kini kebanyakan perusahaan jauh lebih suka berpikir secara dangkal, membatasi diri hanya pada acara seremonial penanaman pohon, lalu melupakannya hingga ada seremoni serupa. Kerap, perusahaan menghabiskan dana yang jauh lebih besar untuk mengiklankan kegiatan tersebut dibandingkan dengan yang mereka keluarkan untuk melaksanakannya. Tindakan greenwashing tersebut—selain tidak memberikan arti kepada penyelamatan hutan—sesungguhnya bisa membahayakan reputasi perusahaan bila ada pihak yang secara kritis menyorotinya.
Kalau kemudian perusahaan yang bertanggung jawab sosial ingin benar-benar berkontribusi pada penyelamatan hutan, ada banyak yang perlu dilakukan. Pertama-tama adalah memastikan bahwa bisnisnya sendiri tidak berkontribusi pada perusakan hutan. Ada bisnis yang secara kasat mata membuka hutan, seperti pertambangan dan perkebunan. Untuk bisnis yang seperti ini, maka sangat penting untuk memahami ekspektasi internasional dan ilmu pengetahuan dalam penentuan hutan mana yang bisa dibuka dan tidak. Hutan-hutan yang memiliki signifikansi ekologi yang tinggi—misalnya high conservation value forest—tidaklah bisa disentuh. Namun, ketika hutan bisa dibuka pun harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, penggantian wilayah hutan, serta restorasi habitat ketika sudah tak dipergunakan kelak.
Sementara, bisnis yang tidak membutuhkan lahan luaspun bisa membahayakn hutan bila mereka menggunakan material logam (hasil penambangan), kayu, atau kertas dalam skala cukup besar. Oleh karena itu, tanggung jawab perusahaan itu termasuk mengetahui secara persis dampaknya terhadap hutan dalam rantai pasokannya. Dengan memilih perusahaan tambang dan kehutanan yang menjalankan pengelolaan hutan dengan baik, mereka dapat menyumbang pada minimisasi dampak terhadap hutan. Dalam hal pemanfaatan kayu dan kertas, kini kita sudah bisa mencari produk-produk dengan ekolabel, sehingga proses pengelolaan kehutanannya dijamin berkelanjutan.
Perusahaan yang memanfaatkan wilayah hutan dalam proses produksinya memiliki kewajiban untuk memelihara kawasan hutan tertentu, meminimumkan dampak atas seluruh kawasan, lalu kelak melakukan restorasi atasnya. Namun, perusahaan apapun sesungguhnya bisa berkontribusi di dalam konservasi (pemeliharaan hutan yang masih berada dalam kondisi baik) maupun rehabilitasi (pemulihan kondisi hutan yang telah terdegradasi). Baik konservasi maupun rehabilitasi memiliki signifikansi penting untuk hutan di Indonesia, dan karenanya perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam pengelolaan lingkungan sangat dianjurkan untuk memiliki kebijakan dan strategi untuk keduanya.
Secara ideal, kebijakan tersebut perlu dikaitkan dengan peningkatan kinerja lingkungannya, baru kemudian pertimbangan reputasi bisa mengikuti. Salah satu jalan masuk bagi perusahaan yang tidak memanfaatkan hutan secara langsung namun hendak berkontribusi adalah melalui strategi iklim perusahaan (corporate climate strategy), di mana perusahaan melihat konservasi dan rehabilitasi hutan sebagai salah satu cara untuk melakukan carbon offset dari emisi yang mereka punya.
Carbon offset bukanlah yang muncul pertama kali dalam strategi iklim perusahaan, namun sangat penting untuk dilakukan. Perusahaan perlu untuk melakukan efisiensi energi terlebih dahulu, dengan membuat kebutuhan energi semakin kecil untuk setiap satuan produk yang dihasilkannya. Perusahaan kemudian perlu melakukan efikasi energi, dengan melakukan transformasi ke arah pemanfaatan energi yang lebih bersih hingga terbarukan. Baru kemudiancarbon offset muncul sebagai strategi ketiga. Perhitungan yang detail atas emisi yang dihasilkan oleh perusahaan, berapa yang diturunkan melalui upaya efisiensi dan efikasi, adalah prasyarat ideal untuk munculnya program carbon offset yang dianggap bukan sekadar upaya greenwashing.
Ketika perusahaan sudah tahu berapa jumlah karbon yang seharusnya di-offset, maka pilihan konservasi dan rehabilitasi terbentang luas. Kini kawasan-kawasan konservasi memiliki program yang kuat untuk menjalin hubungan dengan perusahaan. Ini telah dilakukan di banyak taman nasional, misalnya. Perusahaan dapat memilih kawasan yang masuk atau dekat dengan wilayah operasinya. Demikian juga, upaya rehabilitasi kawasan hutan telah banyak dilakukan. Rehabilitasi lahan di kawasan non-kehutanan juga banyak dilakukan oleh masyarakat sipil dan pemerintah. Perhitungan keperluan offset bisa menuntun perusahaan untuk mengetahui jumlah dan spesies pohon yang dapat dipergunakan untuk kepentingan tersebut.
Yang terpenting dalam hal ini mungkin adalah pemilihan mitra kegiatan. Perusahaan mungkin pertama-tama membutuhkan mitra untuk memformulasikan strategi besarnya. Kedua, perusahaan membutuhkan mereka yang dapat membantu untuk menghitung emisi karbonnya secara keseluruhan, serta besaran emisi yang bisa dikelola melalui program efisiensi, efikasi, dan offset. Terakhir, mereka membutuhkan mitra yang benar-benar memahami ide tersebut dan mengeksekusinya secara baik.
Hingga kini memang bahkan belum banyak lembaga yang bisa melakukan penanaman pohon di dalam maupun luar kawasan hutan yang sesuai dengan kebutuhan di atas. Namun, itu bukanlah halangan bagi perusahaan yang mau serius melakukannya. Mitra yang telah memiliki reputasi baik dalam penanaman pohon untuk kepentingan konservasi dan rehabilitasi akan bisa menunjukkan proses dan hasil kerjanya kepada bakal kliennya. Mereka akan menunjukkan bahwa prosesnya tidaklah mudah, karena memang membutuhkan kepastian akan status lahan, aspek sosial dari penanaman, jaminan tumbuh dan seterusnya. Namun, proses yang tak mudah itulah yang akan menjamin kesuksesan program konservasi dan rehabilitasi yang hendak dilaksanakan. Tentu, hanya program yang memiliki dasar pemikiran kokoh, dieksekusi dengan baik, dan berkinerja tinggi saja yang bisa ditransformasikan menjadi reputasi perusahaan.
Jalal adalah ketua dewan penasihat (chairperson of advisory board) pada Social Investment Indonesia. Ia juga merupakan fellow dalam ekonomi hijau pada program IDEAS di Massachussetts Institute of Technology.
Fajar Kurniawan adalah pendiri dan managing partner Social Investment Indonesia dan alumni program social enterprise pada Mosaic Summer School, Cambridge University.