Apa Itu Pemetaan Sosial?
oleh: Jalal
Chairperson of Advisory Board
Social Investment Indonesia
Artikel yang saya tuliskan terkait dengan Permen ESDM 41/2016 telah mengundang banyak komentar dan pertanyaan lebih lanjut. Ada dua pertanyaan paling popular yang saya terima lewat berbagai saluran. Pertama, apa yang sesungguhnya dimaksud sebagai pemetaan sosial di dalam regulasi tersebut. Kedua, bagaimana detail dari pendekatan Creating New Value (CNV) yang sedang saya kembangkan bersama Toko Susetio di Antam. Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan pertama, dan mengembangkannya lebih jauh dengan mendiskusikan apa itu pemetaan sosial yang tepat secara konseptual.
Pasal 5 Ayat 4 dari permen tersebut menyatakan: “Rencana Induk PPM sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun berdasarkan pemetaan sosial untuk mendapatkan gambaran kondisi awal Masyarakat Sekitar Tambang yang sekurang-kurangnya terdiri atas: a. Kesehatan dan pendidikan; b. sosial budaya dan lingkungan kehidupan masyarakat; c. infrastruktur; d. kemandirian ekonomi; dan e. Kelembagaan komunitas masyarakat dalam menunjang kemandirian ekonomi.”
Di dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa “Masyarakat Sekitar Tambang adalah individu atau kolektif yang terkena dampak langsung kegiatan Usaha Pertambangan atau berada di sekitar area kegiatan Usaha Pertambangan berdasarkan dokumen lingkungan yang telah disetuju sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dengan melihat apa yang dinyatakan pada dua pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya regulasi tersebut menyamakan pemetaan sosial dengan studi data dasar sosial (social baseline study) terhadap masyarakat yang tinggal di wilayah dampak operasi pertambangan, sebagaimana yang dinyatakan dalam dokumen AMDAL. Studi tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kondisi awal masyarakat sebelum ada intervensi dari pengembangan masyarakat (dan operasi) perusahaan pertambangan, sehingga akan bisa menjadi dasar perbadingan antara kondisi sebelum dan sesudah intervensi. Sehingga dari situ bisa ditarik kesimpuan apakah sesungguhnya inntervensi itu membuat kondisi masyarakat membaik, tetap, atau malahan memburuk.
Apa yang menjadi cakupan studi tersebut sangat mirip dengan apa yang disarankan oleh pendekatan Sustainable Livelihoods Approach (SLA), yaitu kesehatan dan pendidikan (modal insani), sosial budaya (modal sosial) dan lingkungan kehidupan masyarakat (modal alam), infrastruktur (modal fisik), dan kelembagaan komunitas (modal sosial). Jadi, seluruh cakupan modal yang diperlukan bagi kesejahteraan, kemandirian, dan keberlanjutan masyarakat memang masuk di dalamnya.
Namun demikian, sesungguhnya ada tiga hal yang bisa dan perlu diperbaiki dari regulasi tersebut. Pertama, bahwa karena pengembangan masyarakat itu secara konseptual tidak ditujukan kepada seluruh masyarakat, melainkan terutama kepada kelompok masyarakat rentan. Maka, diperlukan pemetaan yang lebih detail atas mereka yang masuk ke dalam kelompok-kelompok rentan yang berada di wilayah dampak. Kedua, bahwa pendekatan seperti SLA sesungguhnya satuan analisisnya adalah wilayah, walaupun menyasar anggota masyarakat. Biasanya SLA dipergunakan untuk memetakan kondisi modal masyarakat di level desa. Maka, lagi-lagi diperlukan upaya untuk lebih melihat kelompok rentan yang seharusnya menjadi penerima manfaat dari pengembangan masyarakat. Terakhir, sebuah social baseline study sesungguhnya tak bisa dibuat tanpa terlebih dahulu menjawab pertanyaan siapa yang seharusnya menjadi subjek yang kondisi awalnya perlu diketahui.
Oleh karenanya, melalui tulisan ini, saya mengusulkan beberapa hal yang penting untuk dipertimbangkan agar ‘pemetaan sosial’ kemudian menjadi benar-benar bermanfaat bagi pengembangan masyarakat oleh perusahaan tambang, juga perusahaan ekstraktif lainnya. Ketiga butir di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa diperlukan upaya untuk memastikan bahwa pihak-pihak yang dipetakan adalah tepat. Tentu, kondisi desa-desa dengan segala modal yang mereka miliki adalah penting, namun siapa yang menjadi representasi dan sasaran utama perlu didefinisikan terlebih dahulu dengan jelas.
Sudah sejak lama para pemikir utama dalam pengembangan masyarakat berusaha menunjukkan siapa saja yang perlu dipertimbangkan masuk sebagai kelompok rentan. Dan, mereka melakukannya dengan menyatakan bahwa kerentanan itu berasal dari sumber-sumber struktural, kultural, dan situasional. Kerentanan struktural di antaranya mencakup mereka yang miskin, pengangguran, dan berpendidikan rendah. Mereka yang disingkirkan oleh budaya, seperti pemeluk agama minoritas, mereka yang orientasi seksualnya berbeda, perempuan, dan anak-anak, adalah di antara yang menderita kerentanan kultural. Sementara, kerentanan situasional misalnya diderita oleh mereka yang sedang sakit, mengalami bencana alam, atau baru saja kehilangan pencari nafkah. Mereka inilah yang sangat penting dilihat dalam perumusan kelompok sasaran pengembangan masyarakat.
Namun demikian, bagaimana cara untuk mengetahui secara presisi siapa saja yang masuk ke dalam kelompok rentan itu bukanlah masuk ke dalam cakupan studi data dasar sosial. Hal itu lebih tepat dimasukkan ke dalam cakupan pemetaan pemangku kepentingan (stakeholder mapping). Di dalam pemetaan pemangku kepentingan, berbagai individu dan kelompok yang bisa terpengaruh dan memengaruhi oleh operasi perusahaan bisa diketahui. Termasuk, apa yang menjadi isu pokok bagi mereka, apa saja kepentinganya, dan berbagai hal lainnya. Untuk memutuskan siapa saja yang masuk ke dalam pemangku kepentingan (termasuk kelompok rentan) dan isu yang benar-benar material diperlukan penapisan yang ketat. AA1000 Stakeholder Engagement Standard bisa dijadikan acuan. Namun, sebagaimana pengalaman saya selama ini, ada berbagai modisikasi yang perlu dilakukan.
Yang dihasilkan oleh sebuah pemetaan pemangku kepentingan tentu adalah daftar pemangku kepentingan yang terverifikasi dan isu-isu yang material bagi mereka. Tetapi, analisis lebih lanjut atas keduanya akan membuka jejaring pemangku kepentingan, faktor-faktor risiko yang dihadapi oleh perusahaan, serta menghasilkan strategi pembinaan hubungan dengan mereka, juga strategi pengelolaan isu/risiko.
Tetapi, hal itu belumlah lengkap. Karena setelah kita mengetahui peta pemangku kepentingan, kita tetap perlu untuk mengetahui apa saja prioritas kebutuhan masyarakat (terutama kelompok rentan) dan apa saja aset yang mereka sesungguhnya sudah dimiliki. Mengapa aset juga perlu diketahui? Karena tujuan pengembangan masyarakat adalah untuk menciptakan kesejahteraan dan kemandirian. Dengan kemandirian sebagai tujuan, maka musuh utamanya adalah ketergantungan. Sebuah upaya untuk mengetahui prioritas kebutuhan tapi tidak disertai upaya untuk mengetahui aset-aset masyarakat sendiri, akan berakhir pada situasi di mana perusahaan akan memberikan seluruh sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan itu. Dalam jangka panjang, apa yang dilakukan oleh perusahaan akan membuat masalah ketergantungan. Oleh karena itu, kini metode penilaian kebutuhan masyarakat (community needs assessment) kemudian diluaskan menjadi penilaian kebutuhan dan aset masyarakat (community needs and assets assessment).
Dalam dokumen IFC yang bertajuk Strategic Community Needs Assessment – A Good Practice Handbook for Companies Doing Business in Emerging Markets (2010) dinyatakan bahwa prasyarat pengetahuan tentang konteks masyarakat bila kita menginginkan investasi sosial kita berhasil itu ada empat, yaitu community priorities, stakeholder groups, community assets, dan risk factors. Keempatnya bisa dimasukkan ke dalam dua jenis studi yang saya sudah sebutkan di atas, yaitu pemetaan pemangku kepentingan (yang mencakup kebutuhan pengetahuan atas stakeholder groups dan risk factors), serta penilaian kebutuhan dan aset masyarakat (yang menjawab kebutuhan pengetahuan atas community priorities dan community assets.)
Salah satu hal yang sangat perlu ditekankan adalah bahwa pemetaan pemangku kepentingan akan juga bisa dimanfaatkan untuk mengetahui pemangku kepentingan mana saja yang sesungguhnya memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sumberdaya lainnya, termasuk sumberdaya finansial, yang bisa dimanfaatkan untuk membantu pengembangan masyarakat oleh perusahaan. Kalau dalam penilaian kebutuhan dan aset masyarakat itu akan diketahui aset masyarakat yang bisa dipergunakan untuk membantu diri mereka sendiri—termasuk dana desa yang sekarang sudah berjalan selama beberapa tahun—maka ketika melakukan pemetaan pemangku kepentingan sebaiknya aset para pemangku kepentingan lainnya—termasuk dan terutama pemerintah daerah, universitas, ormas, dan LSM yang bekerja di wilayah tersebut—juga digali dengan serius. Semakin banyak sumberdaya yang diketahui dan bisa dimanfaatkan untuk pengembangan masyarakat tentu akan semakin meningkatkan peluang keberhasilan pengembangan masyarakat.
Kesimpulannya, kalau Permen ESDM 41/206 cenderung menyamakan pemetaan sosial dengan studi data dasar sosial, pemetaan sosial yang tepat seharusnya mencakup tiga penelitian yang saling terkait: pemetaan pemangku kepentingan, penilaian kebutuhan dan aset masyarakat, dan studi data dasar sosial. Dengan urutan sebagaimana yang saya sebutkan itu, pengetahuan perusahaan pertambangan—atau perusahaan dari sektor manapun—akan menjadi lengkap, dan bisa benar-benar dimanfaatkan untuk membuat perencanaan pengembangan masyarakat dalam jangka panjang. Di dalam industri ekstraktif yang masa hidupnya di suatu lokasi itu terbatas, ketiga studi akan bisa dijadikan dasar bagi perencanaan strategis pengembangan masyarakat menuju kondisi sejahtera, mandiri dan berkelanjutan sebelum perusahaan berhenti beroperasi.
Comments (6)
Dengan teknik indepth interview untuk informan berkualifikasi responden dan pemilihan informan dilakukan secara random samping dan snow ball
system.
Strategi yang paling telat dalam melakukan pemetaan itu bagaimana?
Terima kasih Pak Marnoto telah menghubungi kami.
Biasanya hambatannya yang paling dirasakan adalah Waktu bertemu masyarakat yg terbatas, karena kondisi aktifitas masyarakat yg lebih heterogen dan dibanding di desa.
Kemudian karena kesibukan/aktifitas mereka yang sangat padat serta karakter masyarakat di kota yang individualistis, sehingga proses penggalian data menjadi terbatas. Baik untuk FGD maupun wawancara.
Selain itu juga karena masyarakat kota lebih melek informasi, menyebabkan permasalahan yang ada sangat kompleks.
Semoga bisa membantu menjawab pertanyaannya.
Hambatan-hambatan yang ada dalam Pemetaan Sosial Perkotaan apa saja?
Terdapat metode dan tekniknya yang dapat digunakan, diantaranya melakukan persiapan matang sebelum melakukan pemetaan sosial, kemudian tentukan stakeholder yang tepat untuk dilakukan survey serta terlebih dahulu agar proses pemetaan sosial dilaksanakan secara efektif.
bagaimana cara pemetaan sosial yang efektif?
Comments are closed.