Mengapa Popularitas Bisnis Sosial Terus Menanjak?
Oleh Jalal
Chairperson of Advisory Board
Social Investment Indonesia
Walaupun definisi bisnis sosial sangatlah banyak, namun setelah membandingkan puluhan literatur, saya mendapat wawasan bahwa bisnis sosial memiliki 5 ciri primer dan 2 ciri sekunder. Ciri primer pertamanya yaitu didirikan dengan tujuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Kedua, memanfaatkan mekanisme pasar untuk memecahkan masalah. Dalam hal ini, mekanisme pasar bisa saja bukanlah satu-satunya mekanisme, tetapi harus menjadi mekanisme dominan. Ketiga, inovasi sosial adalah jantungnya. Inovasi sosial, sama dengan inovasi, memiliki dua komponen penting, yaitu kebaruan dan kinerja yang lebih baik. Namun, komponen berikutnya yang sangat ditekankan adalah memberi manfaat terlebih dahulu, dan lebih besar, kepada kelompok sasaran—yaitu masyarakat yang hendak dibantu pemecahan masalahnya itu—sebelum mendatangkan manfaat kepada yang melakukannya.
Ciri keempat adalah proses bisnis dan produknya bersifat ramah ekonomi, sosial, dan lingkungan. Bisnis sosial tak boleh bersifat destruktif sama sekali, lantaran tidak mengizinkan adanya trade off di antara berbagai tujuan. Ciri primer yang kelima adalah reinvestasi majoritas dari keuntungannya ke dalam bisnis. Bahkan, salah seorang pemuka bisnis sosial, Muhammad Yunus berpendirian bahwa bisnis sosial harus bersifat dividen nol. Pendapat tersebut bukan pendapat jumhur pakar bisnis sosial. Yang disepakati majoritas pakar adalah lebih dari 50% keuntungan haruslah direinvestasi.
Demikian lima ciri primer bisnis sosial. Sementara, saya juga mendapati ada dua lagi ciri yang sekunder. Pertama adalah semacam obsesi terhadap pengukuran manfaat sosial dari bisnis, selain pengukuran terhadap kinerja keuangan perusahaan sendiri. Kedua adalah mekanisme akuntabilitas yang berbeda dibandingkan bisnis komersial. Kita sudah lama mengenal mekanisme rapat umum pemegang saham (RUPS) di bisnis komersial dengan fokus pada kinerja keuangan; di bisnis sosial tampaknya yang lazim adalah rapat umum pemangku kepentingan (bisa disingkat RUPK) dengan melaporkan kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan yang sama komprehensifnya.
Kalau kita masuk ke mesin pencari google dan mengetikkan ‘rise of social enterprise’ atau ‘rise of social business’, kita akan mendapati banyak artikel dan laporan yang menarik. Kalau kita klik google image untuk kata kunci yang sama, kita juga akan mendapati banyak data visual yang sangat menarik. Saya telah membaca banyak di antara artikel dan laporan itu, juga menyimak berbagai gambar yang bisa saya peroleh. Lantaran sebelumnya saya juga telah memiliki sedikit banyak pengetahuan dalam bidang ini, saya bisa membaca semuanya dengan lebih cepat. Dan, hasil pembacaan saya secara ringkas tentang mengapa bisnis sosial terus menanjak popularitasnya adalah sebagai berikut.
****
Pertama, jelas saya melihat kritik terhadap Kapitalisme yang tak kunjung surut. Kapitalisme sendiri telah dihajar oleh Karl Marx sejak lebih dari seabad lalu. Tetapi, hanya pembacaan yang lebih modern saja yang membuat kritik itu terus relevan yang mewujud dalam berbagai tindakan. Kapitalisme sebagai penyebab ketimpangan misalnya dikuatkan oleh data yang disajikan Thomas Piketty beberapa tahun lalu. Kapitalisme sebagai biang keladi perubahan iklim disajikan dengan gamblang oleh Naomi Klein, juga baru-baru saja. Bisnis, lantaran memang banyak berbuat kesalahan, ada di titik paling rendah kepercayaan sepanjang sejarah—walau tetap ada di peringkat yang lebih baik daripada pemerintah dan media massa. Kondisi ini kemudian membuat banyak pihak berefleksi: apakah memang mekanisme pasar secara inheren akan menghasilkan kondisi buruk yang kita semua—dengan perkecualian segelintir orang jahat, mungkin—tak inginkan. Lebih jauh pertanyaannya: bagaimana memanfaatkan mekanisme pasar untuk membuat hasil yang berbeda sama sekali dengan apa yang kita saksikan sekarang, yaitu kebaikan untuk semua pihak?
Pembangunan berkelanjutan adalah faktor berikutnya. Walau di tahun 1970an sudah tampak bibit-bibit pemikiran tentang model pembangunan yang menjamin generasi sekarang bisa memenuhi kebutuhannya tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk juga memenuhi kebutuhan mereka, formulasinya baru nongol di tahun 1987. Tetapi, tentu saja, aplikasinya masih jauh dari apa yang diformulasikan itu. Dunia, walau mengalami kemajuan pesat, namun umat manusia belum lolos dari kondisi yang bisa membuat segala kemajuan menjadi muspra. Perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, ketimpangan ekonomi, dan beragam ancaman masih eksis, sementara waktu pertobatan yang dimiliki tidaklah banyak. Jeffrey Sachs, ekonom Universitas Columbia, menjelaskan bahwa kita harus masuk ke The Age of Sustainable Development sekarang juga agar bisa selamat. Pertanyaannya kemudian: apa peran masing-masing pihak dan sektor di dalamnya. Bagaimana bisnis bisa kompatibel dengan era baru ini?
Jawaban atas pertanyaan itu menghasilkan diskusi menarik tentang model tata kelola perusahan, yaitu bagaimana perusahaan mengambil keputusan-keputusan penting terkait operasinya, yang menurut saya menjadi faktor ketiga menguatnya bisnis sosial. Dahulu hanya ada dua model tata kelola perusahaan, yaitu model agency dan stewardship. Model yang pertama menegaskan bahwa tata kelola disandarkan pada kepentingan aktor-aktor yang ada di dalam perusahaan, terutama pemilik modal dan manajemen puncak. Mereka hendak memaksimumkan manfaat untuk diri sendiri. Model yang kedua menekankan bahwa tata kelola haruslah ditujukan untuk membawa kebaikan tertinggi untuk perusahaan secara keseluruhan, bukan sekadar aktor-aktornya. Tetapi, literatur manajemen kemudian berubah lantaran persentuhan dengan pembangunan berkelanjutan dengan munculnya model tata kelola yang ketiga, yaitu social stewardship. Model ini menegaskan bahwa perusahaan dalam mengambil keputusannya haruslah membawa maslahat optimal untuk seluruh pemangku kepentingannya—di mana pemilik modal hanyalah salah satu di antaranya. Kalau kritik terhadap kinerja perusahaan diperhatikan, sesungguhnya sebagian besar dikaitkan dengan model tata kelola pertama, dan lebih sedikit terjadi pada model kedua. Dampak buruk sosial dan lingkungan dari perusahaan memang banyak disebabkan oleh para pengambil keputusan yang serakah (“greed is good,” kata tokoh rekaan yang banyak jadi panutan, Gordon Gekko) dan tak peduli. Model ketiga berupaya menjadikan perusahaan lebih baik. Perusahaan yang menganut model ketiga kemudian dihadapkan pada pertanyaan bagaimana menerapkannya.
Tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) adalah konsep yang lebih tua daripada pembangunan berkelanjutan dan kemunculan model ketiga dalam tata kelola. Tetapi, ia bisa ditempatkan dengan baik di dalam perkembangan keduanya. Faktor keempat ini, menurut para pakar, memang menyediakan jawaban tentang bagaimana perusahaan bisa berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. Segera setelah Konferensi Rio 1992, para pakar menyepakati pembangunan berkelanjutan sebagai tujuan CSR; dan ketika ISO 26000 International Guidance on Social Responsibility keluar di tahun 2010, dunia langsung melihat definisi formal tanggung jawab sosial yang demikian. ISO 26000 memang untuk seluruh sektor, tetapi sangat jelas popularitas tertingginya adalah di kalangan perusahaan, terutama mereka yang progresif. Setelah ISO 26000 keluar, rasanya tinggal segelintir perusahaan, dan pakar, yang bersikeras bilang bahwa satu-satunya tujuan adalah mendatangkan keuntungan maksimal untuk pemilik modal. Jadi, pertanyaannya kemudian, bagaimana hubungan antara tujuan komersial perusahaan dengan tujuan yang lebih luas itu?
Pertanyaan tersebut kemudian memunculkan berbagai teori CSR strategis dan, yang paling tegas di antaranya, blended value. Beragam teori tentang CSR strategis menegaskan bahwa kalau perusahaan bertanggung jawab atas dampak ekonomi, sosial dan lingkungan yang ditimbulkannya—lewat maksimisasi dampak positif dan minimisasai dampak negatif—maka perusahaan akan mendapatkan manfaat darinya. Bentuk manfaat bagi perusahaan itu ada tiga: operasional, reputasional, dan finansial. Perusahaan bisa lebih baik operasinya, meningkat nama baiknya, dan lebih besar keuntungannya. Blended value adalah proposisi yang diajukan oleh Jed Emerson yang secara umum dikenal lewat grafik yang apabila dibaca maka kesimpulannya adalah semakin besar manfaat sosial perusahaan, makin besar pula profitabilitasnya. Proposisi itu kemudian diuji oleh banyak peneliti, dan semakin lama semakin terbukti kebenarannya. Pertanyaannya kemudian, bagaimana memaksimumkan dampak sosial perusahaan agar blended value bisa terwujud?
Perusahaan selalu bisa memeriksa dampak positif dari bisnisnya, lalu berusaha memaksimalkan. Tetapi, tentu saja, potensi manfaat terbesar sebetulnya apabila perusahaan memang bisa menolong mereka yang paling membutuhkan, yaitu mereka yang miskin. Di sini kebanyakan perusahaan ragu-ragu untuk masuk. The fortune at the bottom of pyramid adalah sebuah konsep yang diperkenalkan oleh C. K. Prahalad dan Stuart Hart untuk membuktikan bahwa mengurusi mereka yang miskin bukan saja baik untuk peningkatan kesejahteraan mereka, melainkan juga baik untuk keuntungan perusahaan. Dasar piramida ekonomi—yaitu mereka yang konsumsi hariannya berada di bawah USD2,5 (purchasing power parity), jumlahnya lebih dari 2,7 miliar orang—adalah pasar yang sangat besar, yang membutuhkan produk yang spesifik. Banyak di antara mereka juga adalah pengusaha skala mikro, yang bisa menjadi mitra usaha, sebagai pemasok maupun pemasar, bagi perusahaan. Tetapi, mengelola bisnis dengan mereka yang ada di piramida ekonomi ini tidaklah mudah. Banyak contoh kegagalan yang dilaporkan, walau tak sedikit pula keberhasilannya. Pertanyaannya adalah bagaimana menjamin keberhasilan usaha di dasar piramida itu?
Jawaban yang paling gamblangnya adalah skala. Lantaran mereka yang ada di dasar piramida bukanlah orang-orang yang bisa berbelanja dalam jumlah besar, atau menyediakan jasa dalam jumlah raksasa, maka skala usaha dengan mereka haruslah besar agar profitabilitas bisa diperoleh. Tak ada orang yang lebih meyakinkan sebagai contoh keberhasilan bisnis di dasar piramida dibandingkan Muhammad Yunus. Dia mengembangkan Grameen Bank—yang artinya bank kampung—untuk memberikan kredit modal kerja berjumlah mikro kepada perempuan Bangladesh dan berhasil mendapatkan Nobel Perdamaian untuk keberhasilan gerakanya yang direplikasi di seluruh dunia. Dia pun merambah ke Grameen Danone (menyediakan yogurt terfortifikasi untuk anak-anak miskin), lalu Grameen Phone (menyediakan jasa telekomunikasi untuk masyarakat miskin), dan anak usaha lainnya. Walau Nobel itu ‘cuma’ untuk gerakan kredit mikronya, namun sesungguhnya pengaruh Yunus jauh lebih luas. Ia membuktikan bahwa masyarakat miskin adalah konsumen sekaligus mitra bisnis yang handal, sepanjang model bisnis yang tepat bisa ditemukan untuk membuat skala yang besar. Pemikirannya dituangkan ke dalam beberapa buku. Kalau Bankers to the Poor adalah bukunya tentang sejarah Grameen Bank dan gerakan kredit mikro, tiga buku yang dia tuliskan setelahnya—Creating a World without Poverty, Building Social Business, dan A World of Three Zeros—adalah buku-buku yang dia dedikasikan untuk menyebarkan ide bisnis sosial. Pertanyaannya, apa yang membuat Muhammad Yunus menjadi demikian efektifnya sebagai agen perubahan?
Muhammad Yunus kembali dari studi PhD-nya di Universitas Vanderbilt ke Chittagong, Bangladesh. Di situ ia melihat kenyataan bahwa untuk memulai bisnis rumah tangga saja banyak orang tak bisa, padahal modal yang dibutuhkan sangatlah sedikit. Dia lalu mulai meminjamkan uangnya sendiri, lalu cerita selanjutnya sudah diketahui seluruh dunia. Kesadaran individual tentang kemiskinan, ketimpangan, kerusakan lingkungan, dan beragam masalah lainnya adalah faktor yang sangat penting dalam seluruh cerita mengenai bisnis sosial. Kesadaran itu juga yang membuat mereka ngotot mencari jalan keluar yang selalu inovatif. Di sisi lain, kesadaran individu konsumen juga membuat pilihan pembelian yang lebih bijak. Banyak orang yang sengaja memilih membeli produk yang dihasilkan masyarakat yang banyak diperantarai oleh bisnis sosial, terutama yang menerapkan fair trade atau perdagangan yang adil. Jadi, kesadaran individu atas masalah, dan kemampuan menemukan jalan keluar dengan mekanisme pasar yang dikoreksi adalah faktor penting yang membuat bisnis sosial menguat. Lalu, bagaimana hal ini disebarluaskan dan ditularkan ke seluruh dunia?
Publikasi kasus, konsep dan teori tentang bisnis sosial adalah jawabannya. Kalau analisis bibliometrik tentang bisnis sosial, perusahaan sosial, wirausaha sosial, dan wirausahawan sosial dilakukan, sangat jelas akan ditunjukkan bahwa publikasinya memang terus menanjak pesat. Buku tentang bisnis sosial sudah banyak ditulis, mulai dari yang paling teoretis hingga petunjuk bagaimana mengelola bisnis sosial dengan sangat detail. Artikel-artikel tentangnya juga banyak, mulai dari yang diterbitkan di jurnal-jurnal khusus seperti Journal of Social Entrepreneurship dan Social Enterprise Journal, di berbagai jurnal manajemen umum, jurnal spesialis CSR, hingga artikel-artikel yang lebih bersifat popular. Ada banyak memang yang harus diakses dengan membayarnya, namun tak sedikit juga artikel bermutu yang bisa diakses zonder betalen alias gratisan. Stanford Social Innovation Review adalah salah satu situs yang banyak menyediakan artikel-artikel berbobot dalam bidang ini dan sebagian besarnya digratiskan.
Tentu saja, akses terhadap pengetahuan itu menjadi jauh lebih mudah lantaran perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Lebih jauh, perkembangan teknologi ini juga menyediakan kemudahan luar biasa bagi siapapun yang ingin mencari informasi. Informasi mendalam tentang apa saja masalah yang dihadapi masyarakat memang masih harus dicari lewat wawancara tatap muka, tetapi informasi awalnya sangat bisa diperoleh hanya melalui riset di dunia maya. Statistik bisa diunduh, kasus-kasus bisa dibaca, sehingga hipotesis bisa dibuat dan dikonfirmasi, atau dicari kondisi sebenarnya di lapangan. Yang juga sangat jelas, teknologi informasi dan komunikasi telah banyak dimanfaatkan sebagai bagian dari inovasi sosial. Mulai dari identifikasi kerusakan hutan, pelaporan kondisi jalan, pencegahan perdagangan manusia, pembiayaan mikro dan kecil, kini banyak memanfaatkan kemajuan telepon selular. Jelas bahwa teknologi informasi dan komunikasi memegang peranan penting dalam perkembangan bisnis sosial. Pertanyaannya, dari mana konten yang sesuai itu diperoleh?
Kalau kita perhatikan publikasi-publikasi ilmiah dan popular tentang bisnis sosial, segera saja kita sadar bahwa pebisnis sosial memang lumayan banyak menuliskan kisah mereka sendiri. Tetapi, yang jauh lebih banyak tampaknya adalah para pakar dan akademisi. Perubahan di sekolah-sekolah bisnis memang telah, sedang dan terus terjadi. Tema-tema seperti transformasi perusahaan menjadi lebih berkelanjutan lewat tanggung jawab sosial telah membuat bisnis sosial—yang menurut saya ada di puncak anak tangga perusahaan yang bertanggung jawab sosial—menjadi popular di sekolah-sekolah bisnis paling terkemuka. Penelitian-penelitian banyak dilakukan, dan itulah yang menjadi bahan tulisan yang utama. Tema yang lebih baru yang kini banyak dibicarakan di sekolah-sekolah bisnis, seperti transformasi pasar juga membuat bisnis sosial menjadi semakin popular, karena sebagian besar pendorong fair trade adalah bisnis sosial. Pasar yang tidak mengingkari biaya sosial dan lingkungan adalah dambaan bisnis sosial di manapun, karena akan bisa membuat bisnis mereka semakin menonjol di mata masyarakat. Dan, bukan saja penelitian yang banyak, kita sekarang sudah bisa menyaksikan kurikulum formal sekolah bisnis yang telah memasukkan bisnis sosial ke dalamnya. Buku Getting Beyond Better: How Social Entrepreneurship Works karya Roger Martin dan Sally Osberg sudah dijadikan dasar kurikulum bisnis sosial di banyak universitas, padahal buku itu baru nongol tahun 2015. Tetapi, apa yang kemudian menjadikan ide-ide yang dituliskan oleh para akademisi itu mewujud menjadi gerakan bisnis sosial?
Selain hal-hal yang sudah dipaparkan di atas, faktor penting lainnya, dan ini adalah faktor terakhir yang saya temukan hingga sekarang, adalah transformasi ke arah keuangan berkelanjutan. Keuangan berkelanjutan secara gampang bisa dinyatakan sebagai bagaimana SDGs (dan Kesepakatan Paris) dibiayai. Pembiayaan yang mengarahkan kita kepada tercapainya seluruh tujuan SDGs di tahun 2030 adalah berkelanjutan, sementara kalau malahan pembiayaan suatu sektor, perusahaan, atau projek tertentu hasilnya menghambat pencapaian SDGs, itu berarti tidak berkelanjutan. Sekarang, transformasinya kelihatan sangat jelas. Keuangan berkelanjutan sudah bertahun-tahun menjadi topik di rapat-rapat G20. Para investor banyak yang mau menempatkan modalnya hanya di projek yang membawa dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan, selain memberikan keuntungan untuk mereka. Pembicaraan tentang green banking semakin kerap terdengar, demikian juga makin banyak negara-negara yang memiliki kebijakan untuk itu. Demikian juga, ‘penghijauan’ juga terus terjadi di bidang asuransi, surat hutang (bond), bahkan hingga IPO dan pasar modal. Perkembangan ini makin membuat mereka yang beraspirasi untuk mendapatkan modal untuk bisnis sosialnya semakin bisa mewujudkan mimpinya. Bagaimanapun, bisnis sosial akan menjadi makin tumbuh pesat bila (pe)modal juga berpihak kepada mereka.
****
Demikianlah, saya telah menemukan sejumlah faktor—kritik terhadap Kapitalisme; urgensi pembangunan berkelanjutan; perubahan model tata kelola perusahaan; perkembangan CSR, menguatnya CSR strategis dan blended value; ditemukannya pendekatan fortune at the bottom of the pyramid; popularitas Muhammad Yunus dan hadiah Nobel Perdamaian untuk Grameen Bank, kesadaran individu atas masalah keberlanjutan dan kehendak untuk berkontribusi memecahkannya; publikasi kasus, konsep, dan teori bisnis sosial; perkembangan teknologi informasi dan komunikasi; perubahan dalam tema dominan dan kurikulum di sekolah-sekolah bisnis; dan transformasi ke arah keuangan berkelanjutan—yang membuat bisnis sosial melesat popularitasnya di seluruh dunia. Sangat mungkin, masih ada faktor-faktor yang saya belum sebutkan di atas.
Yang ingin saya sampaikan sebagai penutup tulisan ini adalah bahwa sejumlah besar faktor itu juga bisa kita temukan di Indonesia, sehingga perkembangan bisnis sosial di Tanah Air sangat mungkin terus menguat. Kalau diperhatikan dengan saksama, bisnis sosial tumbuh pesat di mana masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan masih bejibun, sementara pemerintah, bisnis komersial dan masyarakat sipil perlu bantuan pihak lain untuk menyelesaikannya. Bisnis sosial yang menggunakan pendekatan hibrida—dan karenanya Andrew Hoffman memilih menggunakan istilah hybrid organization untuk menggambarkan perusahaan sosial—tentu menjadi pemain kunci, karena mereka fasih dalam berbagai ‘bahasa’. Baik itu ‘bahasa’ pembangunan, pasar, maupun sosial, dikuasai oleh bisnis sosial. Di Indonesia, sependek pengamatan saya, juga demikian.
Kritik terhadap Kapitalisme di sini tak cukup kuat, kecuali di kalangan tertentu. Pembangunan berkelanjutan jelas menguat, termasuk perangkat regulasinya (Indonesia punya Perpres SDGs!), tetapi berbagai sektor yang bertentangan dengan Tujuan SDGs—industri rokok, tambang batubara, sebagai misal—belum tampak menyurut. Saya tak melihat perkembangan positif dalam tata kelola perusahaan di Indonesia, bahkan dalam banyak hal malahan cukup mengkhawatirkan. Demikian juga dengan perkembangan CSR. Terlampau banyak pihak yang mereduksi CSR menjadi sekadar donasi perusahaan memustahilkan kemunculan CSR strategis secara massif. Blended value-pun asing di telinga kita, apalagi praktiknya.
Tetapi, di sisi lain, perhatian kepada masyarakat miskin dalam bisnis saya kira menguat. Bukan saja lewat bisnis BRI atau KUR, melainkan juga sudah tampil beberapa platform bisnis komersial maupun bisnis sosial untuk pembiayaan usaha mikro. Muhammad Yunus juga beberapa kali nongol di Indonesia dan berbagi pemikiran segarnya. Kesadaran individu atas masalah dan pemecahannya, terutama di kalangan milenial tertentu saya saksikan menguat di mana-mana. Sayangnya, publikasi tentang bisnis sosial di Indonesia belum banyak. Ada beberapa laporan yang bisa dirujuk, termasuk yang dibuat oleh Boston Consulting Group, tetapi tak bisa dibilang banyak. Saya berusaha menulis rutin tentang bisnis sosial di Harian Kontan setiap dua minggu sekali sejak 2015, tetapi merasa itu masih jauh dari memadai untuk menggambarkan geliat bisnis sosial di sini.
Hasil interaksi saya dengan beberapa kampus cukup menggembirakan, karena penelitian sudah cukup banyak. Bahkan, beberapa ide bisnis sosial dari kampus-kampus pun sudah mulai mendapatkan rekognisi internasional. Yang paling progresif, harus disebutkan di sini, adalah kampus Universitas Trisakti. Mereka kini punya MM Sustainability dan MM Community Enterprise yang kurikulumnya telah didesain untuk membuat lulusannya benar-benar siap menjadi manajer CSR dan pebisnis sosial. Dan, yang terakhir, Indonesia kini sudah punya regulasi soal keuangan berkelanjutan dan green bond, berkat kerja keras OJK. Seberapa cepat regulasi tersebut bisa mengubah dunia keuangan di Indonesia masih perlu kita tunggu dan kawal. Tapi jelas itu adalah kemajuan yang perlu dirayakan.
Jelas kita punya peluang besar menjadi negeri yang bisa menyuburkan pertumbuhan bisnis sosial. Kalau Javara dan Telapak sudah berulang kali mendapatkan penghargaan internasional, beberapa yang muncul setelah mereka juga tak kalah membanggakan prestasinya. Kompetisi MIT IDEAS Global Challenge sempat dimenangkan oleh Du’Anyam beberapa tahun lalu. Hampir setiap tahun lomba bisnis sosial—baik untuk tahap ide maupun yang sudah berjalan—di kawasan Asia Tenggara juga memunculkan nama-nama dari Indonesia. Sementara, yang belum menerima rekognisi internasional pun sebetulnya punya banyak kinerja dan potensi hebat.
Saya adalah pengagum, dan penikmat sajian, Burgreens sejak pertama kali tahu ada bisnis itu. Deaf Cafe Fingertalk sangat mulia idenya dan seharusnya direplikasi dalam jumlah besar. Popularitas produk Evoware terus merangkak naik dan makin kerap saya dengar pembicaraan tentangnya. Dan, siapa yang sekarang tak tahu soal Kita Bisa? Platform untuk crowdfunding itu rasanya sudah ada di top of mind setiap orang kalau hendak mengumpulkan dana untuk tujuan mulia apapun. Saya percaya gelombang besar bisnis sosial akan segera melanda Indonesia.
Tulisan ini, selain hasil pembacaan yang diceritakan di atas, juga diilhami oleh tanya-jawab yang terjadi di sesi Better Biz Better World: The Rise of Socialpreneur, di mana Vikra Ijas dari Kita Bisa dan saya menjadi narasumbernya. Sesi tersebut adalah bagian dari acara Happiness Festival yang diselenggarakan pada tanggal 31 Maret hingga 1 April 2018 di Jakarta.