PRESS RELEASE INDONESIA SOCIAL INVESTMENT FORUM 2016
“Pengukuran Kinerja Investasi Sosial untuk Memaksimalkan Manfaat bagi Pemangku Kepentingan dan Perusahaan”
Apa yang bisa dilakukan perusahaan untuk membantu pencapaian SDGs?
Profesor Jane Nelson dari Universitas Harvard, yang membantu PBB merumuskan jawabannya, menyatakan: melalui bisnis inti, melalui investasi sosial, dan melalui dialog kebijakan. Investasi sosial oleh perusahaan—yang salah satu prinsipnya adalah kemitraan—merupakan salah satu dari tiga cara kontribusi perusahaan, yang diharapkan bisa menguat pada periode 2016-2030, atau yang dinamakan the age of sustainable development oleh Profesor Jeffrey Sachs ini.
“SDGs sendiri adalah kumpulan Tujuan, Target dan Indikator. Sehingga, apapun yang dimaksudkan untuk menyumbang ke arah pencapaiannya haruslah mengikuti logika keteraturan dan keterukuran yang sama. Tentu, itu berlaku pula untuk investasi sosial yang dilakukan oleh perusahaan. Tanpa keterukuran, mustahil kita tahu apakah investasi sosial yang kita lakukan memang mengarah dan mencapai tujuan kesejahteraan, kemandirian, dan keberlanjutan.” Demikian yang disampakan oleh Fajar Kurniawan, Managing Partner pada Social Investment Indonesia. Kalau diperhatikan, butir-butir aspek dan indikator pengelolaan sosial—terutama bagian—di dalam standar GRI yang baru, maka jelas pula tuntutan pengukuran itu. Dan, tidak seperti yang masih banyak disaksikan dalam komunikasi CSR di negeri ini—yang masih sangat menekankan pada berapa rupiah yang dikeluarkan perusahaan—yang sesungguhnya dituntut adalah pengukuran kinerja. Terutama, berupa outcome dan impact.
Pitono Nugroho, Partnership Director dari Social Investment Indonesia, menyatakan “Masa kini dan masa depan sesungguhnya sangat jelas dan cerah buat mereka yang mengurusi pengelolaan sosial, khususnya pengembangan masyarakat, di perusahaan. Investasi sosial—yaitu pengembangan masyarakat yang menguntungkan investee dan investor-nya—telah ditegaskan sebagai cara kita berkontribusi pada SDGs. Kita ‘hanya’ perlu merancang, mengimplementasi, dan melaporkannya dengan ukuran-ukuran yang jelas.”
“Mahaguru manajemen Peter Drucker pernah menyatakan what gets measured gets managed. Perusahaan akan jauh lebih mudah melakukan pengelolaan bila apa yang dikelola itu terukur. Dan itu kami yakini juga dalam pengembangan masyarakat oleh perusahaan, terutama yang menggunakan pendekatan investasi sosial. Oleh karenanya, itu yang kami jadikan tema ISIF 2016 ini.” Lanjut Pitono.
CSR di Indonesia telah berada dalam situasi darurat pengukuran sejak bertahun-tahun yang lampau. Perusahaan masih berlomba-lomba untuk menampilkan jumlah anggarannya, tanpa kesediaan dan kemampuan untuk menunjukkan hasil dari pemanfaatan anggaran itu. Indonesia harus keluar dari kejumudan itu, dengan berkonsentrasi pada komunikasi kinerja: output, outcome dan impact.
Kinerja tersebut pertama-tama harus ditujukan kepada para beneficiaries, perusahaan, masyarakat yang lebih luas, negara dan mungkin juga dunia. Dan itu semua hanya mungkin dengan pengukuran bermetodologi kokoh saja. Oleh karena itu, acara ISIF 2016 dan pre-training yang diselenggarakan pada tangga 13 Desember 2016 menekankan pada perlunya metodologi-metodologi seperti itu.
Bagaimanapun, hanya dengan metodologi pengukuran kinerja yang kokoh saja maka Indonesia bisa keluar dari kejumudan ini. Dan itu menjadi tugas bersama yang diemban oleh seluruh pemangku kepentingan: perusahaan, masyarakat sipil, dan pemerintah.
Bandung, 14 Desember 2016
Untuk informasi selanjutnya terkait dengan acara ISIF 2016, serta aktivitas organisasi Social Investment Indonesia dan mitra-mitranya, silakan hubungi:
Pitono Nugroho (+61-812-35125129; +62-812-3098619)
Fajar Kurniawan (+62-815-15946863; +62-811379393).