Daftar Isi
Temuan Menarik Penelitian Rutledge: CSR vs Keuangan di Cina
Penelitian Rutledge, dkk (Advances in Environmental Accounting & Management, Vol. 5, 2014) terhadap 66 BUMN Cina yang melantai di bursa Shanghai dan Shenzhen sangat menarik hasilnya. Mereka ingin mengetahui bagaimana hubungan antara kinerja CSR dengan kinerja finansial BUMN-BUMN itu. Hasilnya, sangat mengejutkan. Kalau penelitian-penelitian di Barat telah semakin mengokohkan bahwa keduanya memiliki korelasi positif dan saling menguatkan, temuan di Cina menunjukkan kebalikannya. Semakin tinggi kinerja CSR, semakin buruk kinerja keuangan perusahaan.
Dampak Positif dan Negatif Komponen Kinerja CSR Terhadap Keuangan
Ketika para peneliti itu memisahkan unsur-unsur kinerja CSR menjadi empat komponen—yaitu pengelolaan yang bertanggung jawab, pemasaran yang bertanggung jawab, serta kegiatan karitatif untuk masyarakat, dan untuk lingkungan—terkuaklah misteri yang melingkupi keanehan hasil penelitian itu. Pengelolaan yang bertanggung jawab, yang terutama meliputi tanggung jawab atas dampak operasional perusahaan; serta pemasaran yang bertanggung jawab, yang meliputi tanggung jawab atas produk dan hubungan dengan konsumen, ternyata berkorelasi positif dengan kinerja finansial. Semakin bertanggung jawab perusahaan atas dampak operasionalnya, serta semakin baik produk dan hubungan dengan konsumen, semakin tinggi kinerja finansial perusahaan itu.
Tetapi, kegiatan karitatif untuk masyarakat dan untuk lingkungan ternyata berkorelasi negatif dengan kinerja finansial. Dan, bentuk kegiatan karitatif ini sangat dominan, sehingga menentukan hasil uji korelasi secara signifikan. Ketika diselidiki lebih jauh, yang menjadi sebab adalah intervensi yang sangat tinggi dari pemerintahnya. Bukan hanya melalui berbagai petunjuk tertulis dari The State-Owned Assests Supervision and Administration Commission (SASAC), melainkan juga melalui berbagai intervensi langsung. Akibat dari intervensi itu, sebagian besar BUMN Cina mengalami kesulitan untuk mengemban amanat untuk “…to achieve well-balance among the growth of enterprises, social benefit and environment protection…” (SASAC, 2011).
Rekomendasi CSR untuk BUMN Cina: Pelajaran Berharga
Rekomendasi dari penelitian tersebut terang benderang. Bila sebuah BUMN memang hendak memaksimumkan keuntungan dan pertumbuhannya dengan CSR, maka CSRnya memang harus dipusatkan pada bagaimana manjemen dampaknya bisa menghasilkan kinerja optimal, selain pengembangan produk dan strategi pemasaran yang bertanggung jawab sosial sekaligus memuaskan konsumennya. BUMN yang lebih ditekan untuk membuat berbagai kegiatan karitatif yang kerap tak terkait dengan bisnisnya akan mengalami kesulitan untuk mengembangkan CSR yang bersifat saling menguntungkan. Oleh karena itu, Rutledge dkk menyarankan intervensi minimal kepada BUMN-BUMN itu dalam program karitatif, serta mendorong BUMN-BUMN untuk lebih memperhatikan CSR yang terkait dengan bisnis intinya.
Tentu, saran itu dibuat dengan mengandaikan bahwa BUMN Cina memang secara sungguh-sungguh diminta untuk mengoptimumkan keuntungannya, bukan sekadar tugas di atas kertas. Kalau ternyata BUMN Cina—sebagian atau seluruhnya—tidak perlu mengemban tugas optimalisasi keuntungan, maka Rutledge, dkk menyarankan agar secara terbuka dinyatakan saja sebagai perusahaan publik non-profit, sehingga ukuran-ukuran keberhasilannya akan berbeda dengan perusahaan-perusahaan pada umumnya. Sebuah rekomendasi yang sangat masuk akal.
Kaitan Penelitian Rutledge dengan CSR BUMN di Indonesia
Penelitian tersebut kiranya juga memiliki resonansi dengan kondisi yang dihadapi BUMN di Indonesia. Dalam UU BUMN No 19/2003 dinyatakan bahwa tujuan pendirian BUMN adalah untuk memberikan sumbangan bagi perkembangan ekonomi nasional dan penerimaan negara melalui (1) mengejar keuntungan, (2) menyediakan barang/jasa yang bermutu tinggi bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, (3) merintis berbagai usaha yang belum bisa dilaksanakan swasta dan koperasi, serta (4) memberikan bantuan kepada pengusaha lemah, koperasi dan masyarakat.
Tantangan Kompleks Tujuan BUMN di
Rumusan tujuan tersebut sangatlah komprehensif, namun juga memiliki kompleksitas tinggi untuk dipenuhi. Mengapa? Karena keempat hal itu bisa saja bertubrukan dan menghasilkan suatu kondisi trade-off, setidaknya dalam jangka pendek. Tujuan meraih keuntungan dengan menyediakan barang dan jasa bermutu tinggi memang sangat bisa kompatibel, namun tujuan merintis usaha serta memberikan bantuan bisa bertolak belakang dengan mencari keuntungan—sekali lagi, dalam perspektif jangka pendek. Banyak rintisan usaha yang membutuhkan investasi besar, yang akan mengurangi tingkat keuntungan BUMN yang melakukannya. Demikian juga, memberikan bantuan bisa jadi memberikan beban lebih berat, terutama kepada BUMN yang bisnisnya kurang sehat.
Indonesia: Keuntungan dan Keberlanjutan Kritik PKBL: Mengapa CSR Harus Before-Profit
Tujuan memberikan bantuan itu utamanya diwujudkan dalam Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), dengan besaran bantuan dikaitkan dengan keuntungan tahun sebelumnya. Dengan sifat after-profit, sesungguhnya PKBL bertentangan dengan saran seluruh pakar CSR yang sejak lama berkesimpulan bahwa CSR adalah before-profit (Kang and Wood, 1995). Sifat after-profit melekat pada kegiatan-kegiatan filantropi, sementara CSR sesungguhnya adalah investasi yang before-profit. Dengan membuat PKBL menggunakan logika after-profit, maka ia sulit membuat program-program yang bersifat berkelanjutan, lantaran ketersediaan sumberdaya finansialnya akan bersifat fluktuatif. Kita sudah menyaksikan banyak sekali kasus di mana BUMN-BUMN Indonesia tiba-tiba sangat mengurangi program sosialnya ketika berhadapan dengan kondisi ekonomi yang membuat bisnisnya menyusut.
Strategi CSR Berkelanjutan untuk BUMN Indonesia
Belajar dari apa yang disimpulkan dari studi BUMN-BUMN Cina kiranya akan membantu kita berpikir ulang soal bagaimana BUMN Indonesia seharusnya menjalankan tujuan sosialnya. Jelas, pertama-tama BUMN harus tidak berhenti di PKBL, melainkan harus masuk ke bentuk CSR yang terkait dengan dampak bisnis intinya serta yang terkait dengan produk yang bertanggung jawab sosial. Tanggung jawab atas dampak bisnis intinya akan membuat BUMN bisa memiliki dampak negatif minimal dan dampak positif maksimal. Segala ancaman bisa diturunkan, sementara peluang bisa dioptimalkan. Kemudian, BUMN diarahkan untuk membuat produk yang membantu konsumennya memenuhi kebutuhan, bahkan memecahkan masalahnya, secara inovatif, dengan harga yang pantas. Seluruhnya didesain dan dieksekusi dengan cara yang menguntungkan perusahaan dan pemangku kepentingannya.
Kedua, memikirkan ulang PKBL, dengan menjadikannya tidak sekadar bentuk karitatif. Program Kemitraan bisa dimanfaatkan untuk memperkuat rantai pasokan perusahaan, termasuk untuk melakukan tindakan afirmatif yang membuat pebisnis lokal bisa menjadi mitra usaha BUMN yang handal. Bentuk-bentuk Program Bina Lingkungan sedapat mungkin diarahkan sesuai dengan bisnis inti perusahaan. Jadi, BUMN pertambangan akan membuat program pendidikan yang tidak sama dengan BUMN telekomunikasi, dll. Ini akan menguatkan bisnis inti masing-masing karena pemangku kepentingan bisa melihat dengan jelas kontribusi BUMN atas isu-isu yang terkait dengan bisnis intinya, selain tentu saja BUMN yang melaksanakannya bisa mendapatkan SDM yang handal. Demikian juga dengan tema-tema Bina Lingkungan yang lain. Hanya dengan cara ini saja tujuan sosial bisa turut menopang tujuan mengejar keuntungan sebagaimana diamanatkan oleh UU BUMN.
Ditulis Oleh
Jalal
Chairperson of Advisory Board - Social Investment Indonesia







