Oleh:
Sonny Sukada – Senior Advisor
Jalal – Chairperson of Advisory Board
Social Investment Indonesia
Isu Environmental, Social and Governance (ESG) semakin berkelindan dengan strategi perusahaan. Perusahaan yang unggul bukan lagi hanya dinilai dari kinerja finansialnya, melainkan juga dari kemampuannya untuk memastikan kinerja yang baik dalam isu-isu ESG material sesuai dengan ekspektasi pemangku kepentingan—terutama investor, bank, dan regulator. Namun, kami mau menegaskan, bahwa pencapaian kinerja ESG yang tinggi dan otentik itu mustahil merupakan hasil dari inisiatif yang terfragmentasi. Ia menuntut sebuah arsitektur organisasi yang dirancang secara sengaja dan sistematis untuk menanamkan prinsip-prinsip keberlanjutan ke dalam setiap sendi operasional dan strategis perusahaan.
Struktur perusahaan yang kokoh inilah yang berfungsi sebagai fondasi, memastikan bahwa komitmen ESG tidak hanya menjadi retorika, tetapi menjadi ‘DNA’ yang menggerakkan inovasi, mengelola risiko, dan pada akhirnya, meningkatkan keberlanjutan perusahaan dalam jangka panjang. Dalam beberapa bulan terakhir, kami, secara bersama-sama atau masing-masing, terus menerus mendapatkan pertanyaan terkait dengan bagaimana seharusnya struktur perusahaan dioptimalkan untuk pencapaian itu. Tulisan ini adalah upaya kami untuk menjawabnya secara komprehensif.
Mulai dari Manajemen Puncak
Puncak dari arsitektur ini dimulai dari dewan komisaris dan direksi, yang perannya telah berevolusi dari sekadar pengawas kepatuhan menjadi arsitek utama strategi jangka panjang. Kepemimpinan dan pengawasan merupakan titik awal yang paling krusial dalam mengarahkan agenda ESG perusahaan. Tanpa komitmen yang kuat dari puncak pimpinan, inisiatif keberlanjutan akan kehilangan arah dan momentum. Pengawasan yang efektif menuntut dewan komisaris dan direksi untuk secara aktif dan kritis menelaah isu-isu ESG dalam konteks penciptaan nilai dan resiliensi bisnis. Untuk menjalankan fungsi ini, bisa dijalankan melalui penegasan tanggung jawab kepada komite yang sudah ada, seperti komite manajemen risiko dan tata kelola, atau membentuk komite keberlanjutan/ESG. Pilihan pertama memersyaratkan pemahaman oleh anggotanya, selain perubahan charter yang secara tegas memasukkan ESG sebagai bagian tanggung jawab mereka. Pilihan kedua sering kali mengirimkan sinyal yang lebih kuat tentang keseriusan perusahaan, memungkinkan adanya fokus yang lebih dalam dan pembahasan yang lebih sistematis terhadap isu-isu kompleks seperti dekarbonisasi atau hak asasi manusia dalam rantai pasok.
Namun, struktur komite saja tidak cukup. Dewan komisaris dan direksi harus diperkaya dengan keahlian dan keterampilan yang relevan dengan ESG di level individu (ESG competency) dan level kolektif (ESG fluency). Di era di mana risiko iklim dapat berdampak material terhadap neraca keuangan dan isu-isu sosial dapat memicu krisis reputasi, manajemen puncak yang ‘buta ESG’ jelas adalah sebuah kerentanan strategis. Oleh karena itu, perusahaan perlu memastikan adanya keragaman keahlian di tingkat tersebut, dan jika belum, perusahaan secara proaktif menyediakan program pelatihan dan edukasi berkelanjutan bagi para komisaris dan direksi. Dengan pemahaman yang mendalam, dewan komisaris dapat beralih dari sekadar mengawasi menjadi mitra strategis bagi direksi dan eksekutif di bawahnya. Mereka bisa menantang asumsi, dan memastikan bahwa setiap keputusan alokasi modal dan strategi bisnis telah memanfaatkan lensa ESG secara cermat. Integrasi strategis inilah yang menjadi tujuan akhir dari pengawasan dewan: memastikan keberlanjutan bukan lagi agenda terpisah, melainkan bagian integral dari cara perusahaan bersaing, bertumbuh, dan menghasilkan keuntungan.
Merobohkan Silo
Jika dewan komisaris dan direksi adalah arsiteknya, maka tim manajemen—di Indonesia biasa disebut BOD-1—adalah insinyur dan pelaksana yang menerjemahkan cetak biru strategi menjadi kenyataan operasional. Untuk mengimplementasikan agenda ESG secara efektif, diperlukan struktur manajemen yang jelas, akuntabel, dan terintegrasi. Langkah pertama adalah mengidentifikasi secara eksplisit fungsi internal yang memegang tanggung jawab utama untuk mendorong hasil ESG. Penunjukan seorang Chief Sustainability Officer (CSO) atau posisi eksekutif serupa yang melapor langsung kepada CEO menjadi praktik yang semakin umum dan efektif. Posisi CSO ini penting untuk dirancang dengan cermat, bukan sebagai fungsi yang terisolasi di sudut organisasi, melainkan sebagai integrator dan katalisator yang bekerja lintas departemen. Perannya adalah untuk menanamkan pertimbangan ESG ke dalam setiap proses pengambilan keputusan di seluruh lini bisnis, mulai dari pengembangan produk hingga manajemen rantai pasok.
Untuk mendukung peran CSO dan menghindari silo fungsional, pembentukan tim kerja lintas fungsi atau komite eksekutif ESG di tingkat manajemen menjadi sangat penting. Tim ini idealnya terdiri dari perwakilan senior dari berbagai departemen kunci seperti keuangan, hukum, sumberdaya manusia (SDM), operasional, dan pengadaan. Kolaborasi ini memastikan bahwa inisiatif ESG didukung oleh data dan keahlian yang beragam, serta diimplementasikan secara konsisten di seluruh unit bisnis.
Sebagai contoh, tim keuangan akan berperan dalam menghitung dan memonetisasi dampak, risiko dan peluang (impact, risk, and opportunity) ESG, sementara tim operasional fokus pada efisiensi sumberdaya dan pengurangan emisi. Lebih jauh lagi, peran pemimpin SDM menjadi sangat vital dalam menyebarkan pemikiran dan praktik ESG ke seluruh lapisan organisasi. SDM bertanggung jawab untuk menyelaraskan deskripsi pekerjaan, metrik penilaian kinerja, program pengembangan keterampilan, struktur penghargaan, hingga pembentukan budaya perusahaan agar selaras dengan tujuan keberlanjutan. Melalui peran sentral SDM, ESG bertransformasi dari tugas segelintir orang menjadi tanggung jawab kolektif.
Integrasi ESG
Bagi kami, integrasi ESG yang sejati hanya terjadi ketika prinsip-prinsipnya tidak lagi dianggap sebagai tambahan belaka oleh seluruh lapisan pekerja perusahaan, melainkan tertanam dalam proses bisnis inti sehari-hari. Kinerja ESG yang optimal memerlukan penyesuaian fundamental terhadap cara perusahaan beroperasi, mengelola risiko, dan mengalokasikan modal. Untuk kepentingan ini, salah satu kerangka kerja yang dapat diadopsi adalah Sistem Manajemen Lingkungan dan Sosial (Environmental and Social Management System/ESMS). ESMS menyediakan pendekatan yang terstruktur dan sistematis untuk mengidentifikasi, menilai, mengelola, dan memantau risiko serta peluang ESG. Fitur utamanya adalah siklus perbaikan berkesinambungan—meninjau kinerja, memerbaiki proses, dan meningkatkan standar—yang memastikan bahwa manajemen ESG bersifat dinamis dan adaptif, bukan statis.
Lebih dari sekadar sistem manajemen, integrasi ESG harus tercermin dalam keputusan-keputusan strategis yang paling fundamental, terutama terkait alokasi modal. Dewan komisaris dan direksi harus secara sadar menyelaraskan strategi investasi perusahaan dengan faktor-faktor yang mendorong nilai jangka panjang, termasuk lewat pertimbangan ESG. Ini berarti modal akan lebih diarahkan pada projek-projek yang mendukung transisi rendah karbon, memromosikan ekonomi sirkular, dan/atau meningkatkan kinerja sosial dalam operasional. Keputusan seperti itu akan mengirimkan sinyal yang jelas bahwa perusahaan memandang keberlanjutan benar-benar sebagai value driver, bukan sekadar cost center. Sejalan dengan itu, kerangka Manajemen Risiko Perusahaan (Enterprise Risk Management/ERM) harus diperluas untuk menginternalisasi risiko-risiko non-finansial yang terkait dengan ESG. Dengan pendekatan holistik ini, perusahaan dapat secara proaktif mengidentifikasi dan memitigasi potensi ancaman seperti perubahan regulasi lingkungan, gangguan rantai pasok akibat isu sosial, atau perubahan preferensi konsumen, sehingga membangun organisasi yang lebih tangguh dan adaptif.
Akuntabilitas
Struktur yang telah terbangun harus didukung oleh pilar-pilar akuntabilitas—yaitu pengukuran, pelaporan, dan transparansi. Pernyataan mahaguru manajemen Peter Drucker “What gets measured, gets managed” sangat berlaku dalam konteks ESG. Tanpa data yang andal, komitmen keberlanjutan akan tetap berada di ranah abstrak. Oleh karena itu, langkah krusial pertama adalah menetapkan Indikator-indikator Kinerja Utama (Key Performance Indicators/KPI) yang relevan, terukur, dan sesuai dengan seluruh isu yang material bagi bisnis. Perusahaan harus bergerak melampaui metrik yang bersifat umum menuju KPI spesifik yang disertai target yang jelas dan terikat waktu. Misalnya, dalam konteks pengelolaan dampak iklim “mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Cakupan 1 dan 2 sebesar 30% pada tahun 2030 dibandingkan dengan tahun dasar 2020.” Target yang ambisius namun realistis ini memberikan arah yang jelas dan menjadi dasar untuk mengukur kemajuan.
Untuk mendukung penetapan KPI, perusahaan harus berinvestasi dalam membangun sistem manajemen data yang kuat dan terpusat. Ketergantungan pada proses manual berbasis spreadsheet yang rentan terhadap kesalahan dan tidak efisien harus ditinggalkan. Peralihan ke sistem yang lebih terotomatisasi dan terintegrasi tidak hanya akan meningkatkan kualitas dan keandalan data ESG, tetapi juga memungkinkan analisis yang lebih mendalam untuk pengambilan keputusan. Data yang berkualitas buruk dapat merusak kredibilitas dan menggagalkan pencapaian tujuan keberlanjutan.
Puncak dari proses ini adalah pelaporan yang efektif dan transparan. Praktik terbaik saat ini mengarah pada pelaporan terintegrasi, di mana informasi keuangan dan non-finansial (ESG) disajikan secara bersamaan, atau setidaknya saling terkait, untuk memberikan pandangan holistik tentang bagaimana perusahaan menciptakan nilai dari waktu ke waktu. Pelaporan semacam ini tidak hanya memenuhi tuntutan investor dan regulator, tetapi juga menjadi alat yang ampuh untuk membangun kepercayaan dan memerkuat reputasi di mata seluruh pemangku kepentingan.
Sistem Insentif
Sebagai elemen pamungkas yang mengikat seluruh struktur dan mendorong akuntabilitas, perusahaan perlu menyelaraskan sistem insentifnya dengan kinerja ESG. Tanpa adanya kaitan yang jelas antara pencapaian target keberlanjutan dengan kompensasi, komitmen ESG berisiko dianggap sebagai ‘pekerjaan sampingan’ oleh para pemimpin dan karyawan. Memerkenalkan struktur insentif yang terkait dengan ESG, baik dalam bentuk bonus tahunan maupun rencana insentif jangka panjang, merupakan cara yang sangat efektif untuk menegaskan bahwa kinerja ESG adalah bagian inti dari tanggung jawab manajemen puncak dan madya. Mengaitkan kompensasi eksekutif secara langsung dengan metrik ESG yang telah ditetapkan memastikan bahwa pimpinan puncak memiliki motivasi finansial yang nyata untuk mendorong agenda keberlanjutan.
Namun, desain skema insentif ini memerlukan kehati-hatian. Bobot yang diberikan pada metrik ESG harus cukup signifikan untuk dapat memengaruhi perilaku. Selain itu, target yang ditetapkan harus menantang dan melampaui skenario business-as-usual, serta dapat diverifikasi secara independen untuk menghindari tuduhan greenwashing. Ketika dirancang dengan baik, insentif yang selaras ini akan menciptakan siklus positif: mendorong para pemimpin untuk mengintegrasikan ESG secara lebih mendalam ke dalam strategi dan operasi, yang pada gilirannya akan meningkatkan kinerja, dan akhirnya, memberikan penghargaan atas pencapaian tersebut.
****
Kesimpulannya, membangun perusahaan yang berkinerja tinggi dalam aspek ESG jelas bukanlah sebuah kebetulan—melainkan hasil dari desain organisasi yang disengaja. Dimulai dari pengawasan strategis dewan komisaris dan direksi, diterjemahkan melalui struktur manajemen yang akuntabel, dioperasionalkan melalui integrasi ke dalam proses bisnis inti, diukur dengan data yang andal, dan didorong oleh insentif yang selaras. Rangkaian elemen ini membentuk sebuah arsitektur perusahaan yang komprehensif.
Hanya dengan menerapkan struktur tersebut, kami percaya, perusahaan dapat memastikan bahwa ESG bukan lagi sekadar praktik kepatuhan atau fungsi komunikasi, melainkan menjadi mesin pendorong penciptaan nilai jangka panjang yang terintegrasi secara fundamental ke dalam jantung organisasi. Perusahaan yang berhasil membangun fondasi ini tidak hanya akan bertahan, tetapi juga akan menjadi pemimpin yang dipercaya dan dihormati di era baru ekonomi berkelanjutan.
Penulis memanfaatkan mesin Kecerdasan Buatan (AI) untuk pencarian data serta penulisan kerangka dan draft awal. Tanggung jawab atas kebenaran informasi serta substansi pendapat tetap melekat pada penulis.


