Oleh:
Purnomo – Senior Advisor Social Investment Indonesia
Sekretaris Jenderal Social Value Indonesia, Social Value International Associate
Abstrak
Social Return on Investment (SROI) adalah metodologi pengukuran dampak sosial yang berkembang sebagai jawaban atas keterbatasan evaluasi konvensional, seperti cost-benefit analysis dan monitoring output. SROI menekankan partisipasi pemangku kepentingan, monetisasi hasil non-pasar melalui financial proxies, serta integrasi analisis kualitatif dan kuantitatif untuk menghasilkan gambaran yang lebih komprehensif tentang perubahan sosial. Artikel ini menguraikan fondasi teoretis, delapan prinsip nilai sosial menurut Social Value International, kelebihan dan daya tarik SROI, serta temuan empiris dari penelitian lintas sektor. Selain itu, dibahas pula kritik dan tantangan metodologis. Dengan demikian, SROI diposisikan sebagai metodologi terdepan yang kredibel, akuntabel, dan relevan untuk mendorong pembangunan berkelanjutan.
1. Pendahuluan
Di era di mana keberlanjutan, tanggung jawab sosial, dan investasi berdampak (impact investing) semakin menonjol, pertanyaan mendasar muncul: bagaimana kita mengetahui bahwa intervensi sosial benar-benar menghasilkan nilai? Pertanyaan ini bukan sekadar retoris, melainkan terkait langsung dengan alokasi sumber daya publik maupun swasta, akuntabilitas donor, serta legitimasi program pembangunan. Kebutuhan untuk “mengukur apa yang penting” mendorong perkembangan berbagai metodologi evaluasi dampak; dari cost-benefit analysis klasik hingga pendekatan kualitatif berbasis cerita perubahan (most significant change). Di tengah beragam pilihan tersebut, Social Return on Investment (SROI) menempati posisi yang semakin menonjol sebagai pendekatan yang mampu mengungkapkan nilai sosial dan lingkungan yang sering kali terabaikan dalam indikator ekonomi konvensional.
SROI bukan hanya teknik akuntansi baru, melainkan sebuah kerangka kerja yang menyatukan peta perubahan (theory of change), keterlibatan pemangku kepentingan, serta upaya menerjemahkan hasil-hasil sosial menjadi nilai moneter melalui financial proxies. Pedoman praktis yang dirumuskan komunitas internasional—seperti A Guide to SROI—dan prinsip-prinsip Social Value International (SVI) menegaskan bahwa SROI adalah metodologi berbasis nilai. Prinsip tersebut menekankan partisipasi stakeholder, transparansi asumsi, serta materialitas, sehingga SROI diposisikan bukan sekadar formula rasio, tetapi proses manajemen nilai sosial yang etis dan partisipatif.
Daya tarik utama SROI terletak pada kemampuannya menghadirkan bahasa komparatif yang sederhana namun kuat: rasio nilai sosial per unit investasi. Pernyataan seperti “setiap Rp1 yang diinvestasikan menghasilkan RpX nilai sosial” membuat komunikasi dampak lebih mudah dipahami oleh pengambil kebijakan, donor, maupun publik. Di saat yang sama, SROI berupaya menangkap nilai non-pasar—seperti peningkatan kualitas hidup, rasa aman, atau pengurangan emisi—yang tidak tercermin dalam perhitungan finansial tradisional. Dengan demikian, metodologi ini menjembatani logika ekonomi dan realitas sosial-ekologis yang kompleks.
Berbagai penelitian akademik mengonfirmasi potensi sekaligus keterbatasan SROI. Studi dalam bidang kesehatan misalnya menilai bahwa SROI mampu menangkap hasil sosial-ekonomi yang lebih luas dibandingkan pendekatan ekonomi klasik, meski kualitas hasil sangat bergantung pada data, keterlibatan stakeholder, dan transparansi asumsi. Kajian lain dalam layanan sosial dan usaha sosial menemukan bahwa SROI tidak hanya menjadi alat legitimasi program, tetapi juga sarana pembelajaran organisasi; meskipun begitu, mekanisme verifikasi dan analisis sensitivitas tetap diperlukan agar klaim nilai tidak berlebihan.
Namun, popularitas SROI tidak boleh membuat kita abai terhadap keterbatasannya. Subjektivitas dalam pemilihan financial proxies, kesulitan menentukan counterfactual (apa yang akan terjadi tanpa intervensi), dan potensi overclaim menuntut kehati-hatian. Oleh sebab itu, SROI akan lebih kokoh bila digunakan bersama evaluasi kualitatif dan mekanisme verifikasi independen. Dengan cara ini, SROI benar-benar dapat menjadi metodologi terdepan yang tidak hanya komunikatif, tetapi juga kredibel.
Artikel ini bertujuan menguraikan secara sistematis mengapa SROI dianggap “terdepan” dalam pengukuran dampak sosial, dengan menimbang bukti dari sumber primer (Social Value International) dan kajian akademik, sekaligus menempatkannya dalam konteks kebijakan Indonesia. Dengan demikian, pembahasan ini diharapkan dapat memperlihatkan peluang dan batasan SROI, serta memberi landasan kuat bagi penggunaannya dalam keputusan-keputusan investasi sosial di tanah air.
2. Landasan Teoretis dan Prinsip SROI
2.1. Akar Teoretis SROI
SROI lahir dari kebutuhan untuk mengatasi keterbatasan pendekatan evaluasi dampak tradisional yang sering kali berfokus pada indikator ekonomi semata. Secara historis, gagasan dasar SROI berkembang pada akhir 1990-an di Amerika Serikat, khususnya melalui praktik lembaga The Roberts Enterprise Development Fund (REDF) yang mencoba menghitung nilai sosial dari investasi pada organisasi nirlaba berbasis kewirausahaan sosial. Mereka menyadari bahwa laporan keuangan konvensional tidak cukup menangkap dampak yang dihasilkan, misalnya peningkatan harga diri atau keterampilan kerja bagi tunawisma yang dilibatkan dalam usaha sosial.
Kerangka tersebut kemudian disempurnakan di Inggris pada awal 2000-an, ketika New Economics Foundation (NEF) memperkenalkan pendekatan SROI dalam evaluasi program-program komunitas. Dari titik ini, SROI berkembang lebih luas, didorong oleh kebutuhan lembaga pemerintah, lembaga filantropi, dan perusahaan untuk mengkomunikasikan nilai sosial dengan cara yang lebih sistematis dan kuantitatif. Peran penting kemudian dimainkan oleh Social Value UK dan Social Value International (SVI) – sebelumnya bernama SROI Network-, yang memformalkan metodologi serta menyusun prinsip-prinsip standar untuk praktik global.
SROI berakar pada teori perubahan (theory of change)—gagasan bahwa setiap intervensi menghasilkan rangkaian sebab-akibat dari input, output, outcome, hingga dampak jangka panjang. Perbedaannya dengan model logika program biasa adalah penekanan pada nilai (value), bukan sekadar hasil kuantitatif. SROI berusaha mengaitkan outcome dengan nilai sosial, bahkan bila outcome tersebut tidak diperdagangkan di pasar.
2.2. Prinsip SROI
Kerangka Social Return on Investment (SROI) berlandaskan pada 8 Prinsip Nilai Sosial (Principles of Social Value) yang disusun oleh Social Value International (SVI). Prinsip-prinsip ini dirancang untuk memastikan bahwa pengukuran dampak tidak hanya kredibel secara teknis, tetapi juga adil dan akuntabel terhadap semua pemangku kepentingan.
Pertama, melibatkan pemangku kepentingan (Involve stakeholders). Semua pihak yang terdampak oleh sebuah program perlu dilibatkan sejak awal dalam proses evaluasi, karena mereka yang paling memahami perubahan yang terjadi pada kehidupan mereka. Kedua, memahami apa yang berubah (Understand what changes). SROI menekankan pentingnya mengidentifikasi, mendokumentasikan, dan menganalisis perubahan yang terjadi, baik yang positif maupun negatif, yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
Ketiga, memberi nilai pada hal-hal yang penting (Value the things that matter). Perubahan yang dianggap signifikan oleh pemangku kepentingan perlu dihargai, bahkan jika perubahan tersebut tidak memiliki nilai pasar. Melalui financial proxies, SROI mengkuantifikasi nilai tersebut agar bisa diperhitungkan dalam analisis. Keempat, hanya menyertakan hal-hal yang material (Only include what is material). Tidak semua informasi perlu dimasukkan. SROI mendorong agar evaluator fokus pada data yang relevan, signifikan, dan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan.
Kelima, tidak melebih-lebihkan klaim (Do not over-claim). SROI menekankan pentingnya mengakui kontribusi berbagai aktor dan faktor eksternal terhadap suatu perubahan. Artinya, sebuah organisasi tidak boleh mengklaim bahwa semua perubahan merupakan hasil dari programnya sendiri. Keenam, bersikap transparan (Be transparent). Proses, asumsi, data, dan keterbatasan yang digunakan dalam analisis harus dijelaskan secara terbuka agar dapat dipahami, diuji, dan dipercaya oleh pemangku kepentingan maupun pihak ketiga.
Ketujuh, melakukan verifikasi hasil (Verify the result). Agar lebih kredibel, analisis SROI perlu diverifikasi melalui proses independen, baik oleh pihak ketiga maupun mekanisme assurance, untuk memastikan keakuratan dan ketepatan metodologi. Kedelapan, bersikap responsif (Be responsive). Prinsip terbaru ini menekankan bahwa informasi mengenai nilai sosial tidak boleh berhenti pada laporan. Organisasi perlu menindaklanjuti temuan untuk memperbaiki program, mengambil keputusan yang lebih baik, dan bertanggung jawab kepada pemangku kepentingan.
Dengan berpegang pada delapan prinsip ini, SROI tidak hanya menghasilkan angka rasio sosial, tetapi juga menjadi kerangka tata kelola yang menuntun organisasi untuk lebih akuntabel, partisipatif, dan berorientasi pada perubahan yang benar-benar bermakna.
2.3. Perbedaan dengan Pendekatan Konvensional
Untuk memahami keunggulan Social Return on Investment (SROI), penting membandingkannya dengan beberapa pendekatan evaluasi dampak yang lebih konvensional. Cost-Benefit Analysis (CBA), misalnya, berfokus pada perbandingan biaya dan manfaat yang dinyatakan dalam satuan moneter. Namun, pendekatan ini mengalami keterbatasan karena sulit memasukkan manfaat yang tidak memiliki harga pasar. SROI melampaui batas tersebut dengan menggunakan financial proxies untuk menilai aspek non-pasar seperti kesehatan mental, rasa percaya diri, atau kohesi sosial.
Sementara itu, sistem Monitoring & Evaluation (M&E) biasanya menekankan pada pengukuran output—seperti jumlah pelatihan atau jumlah peserta yang terlibat. SROI berbeda karena lebih menekankan pada outcome, yakni perubahan nyata yang dialami pemangku kepentingan serta dampak jangka panjang yang dihasilkan.
Pendekatan lain yang sering digunakan adalah Most Significant Change (MSC), yang menitikberatkan pada cerita perubahan dari para partisipan melalui metode kualitatif. SROI mencoba menjembatani dimensi naratif tersebut dengan kuantifikasi nilai sosial, sehingga cerita perubahan tidak hanya terdokumentasi tetapi juga dapat dikomunikasikan dalam bentuk angka yang mudah dipahami oleh investor dan pembuat kebijakan.
Dengan demikian, keunggulan utama SROI terletak pada kemampuannya mengintegrasikan aspek kualitatif—melalui cerita perubahan dan partisipasi pemangku kepentingan—dengan aspek kuantitatif berupa nilai sosial yang terukur dan komunikatif.
2.4. Mengapa Prinsip Ini Krusial
Prinsip-prinsip SROI tidak hanya bersifat metodologis, tetapi juga filosofis. Mereka berangkat dari keyakinan bahwa nilai sosial tidak boleh didefinisikan secara sepihak oleh perusahaan atau donor, melainkan ditentukan bersama pemangku kepentingan. Dengan begitu, SROI juga merupakan instrumen demokratisasi nilai: memberi ruang agar suara komunitas terdengar dalam perhitungan dampak.
Contoh sederhana: dalam program pemberdayaan perempuan desa, output yang terukur mungkin hanya jumlah pelatihan keterampilan yang dilakukan. Namun dari perspektif SROI, outcome yang penting adalah meningkatnya rasa percaya diri, kemandirian ekonomi, dan peran sosial perempuan—yang semuanya bisa diterjemahkan ke dalam nilai sosial melalui proses dialog dengan komunitas.
3. Mengapa SROI Menjadi Metodologi Terdepan
Metodologi pengukuran dampak sosial berkembang pesat dalam dua dekade terakhir. Berbagai kerangka telah diperkenalkan, mulai dari logic model, theory of change, hingga pendekatan kuantitatif seperti cost-benefit analysis (CBA) atau social cost-benefit analysis (SCBA). Namun, di antara sekian banyak pendekatan tersebut, Social Return on Investment (SROI) mendapatkan tempat istimewa karena berhasil mengintegrasikan aspek partisipasi pemangku kepentingan dengan kerangka kuantifikasi finansial.
Ada beberapa alasan mengapa SROI kini dianggap sebagai metodologi terdepan dalam mengungkapkan dampak program, yaitu:
3.1. Menggabungkan Narasi dan Kuantifikasi
Berbeda dengan evaluasi konvensional yang kerap terjebak pada indikator kinerja semata, SROI menempatkan cerita perubahan dari pemangku kepentingan sebagai titik awal. Proses ini memungkinkan nilai-nilai yang selama ini tak terhitung—seperti peningkatan rasa percaya diri, kesehatan mental, atau kohesi sosial—untuk diterjemahkan ke dalam bentuk yang dapat diakui secara finansial melalui financial proxies. Dengan demikian, SROI menjembatani dua dunia: narasi kualitatif yang kaya makna dan kuantifikasi yang dapat dipahami oleh pembuat kebijakan maupun investor.
Menurut Social Value International, kekuatan utama SROI adalah kemampuannya mengaitkan hasil yang dianggap penting oleh pemangku kepentingan dengan angka yang mewakili nilai ekonomi. Hal ini memungkinkan para pengambil keputusan untuk tidak hanya melihat “berapa banyak yang dihasilkan”, tetapi juga “berapa besar nilainya bagi masyarakat”.
3.2. Relevansi dengan Agenda Global (SDGs, ESG, Impact Investing)
SROI juga relevan dengan agenda pembangunan berkelanjutan global. Seiring dengan meningkatnya perhatian pada Sustainable Development Goals (SDGs) dan tren Environmental, Social, and Governance (ESG), kebutuhan akan metodologi yang dapat menjelaskan nilai sosial menjadi semakin mendesak.
OECD (2019) menekankan pentingnya kerangka evaluasi dampak yang dapat mengukur kontribusi terhadap SDGs secara kredibel. Dalam konteks ini, SROI menawarkan instrumen yang kuat karena dapat menjelaskan hubungan langsung antara aktivitas, hasil-keluaran (outcomes), dan nilai sosial yang tercipta. Di dunia investasi, SROI juga menjadi acuan bagi praktik impact investing, di mana investor tidak hanya mengejar keuntungan finansial, tetapi juga dampak sosial dan lingkungan yang terukur.
Studi oleh Millar dan Hall (2013) menunjukkan bahwa organisasi sosial di Eropa semakin banyak menggunakan SROI karena mampu memberikan bukti kuantitatif atas kontribusi mereka terhadap tujuan sosial, sekaligus memperkuat legitimasi di mata donor dan pemerintah.
3.3. Standarisasi Global dan Dukungan Kelembagaan
Faktor lain yang menjadikan SROI metodologi terdepan adalah adanya standarisasi global yang dikawal oleh Social Value International (SVI). Tidak semua kerangka evaluasi memiliki badan internasional yang secara konsisten memperbarui panduan dan menjaga konsistensi praktik di berbagai negara. SVI secara aktif menerbitkan Social Value Principles dan melatih ribuan praktisi di seluruh dunia. Hal ini menjadikan SROI lebih kredibel dan teruji lintas konteks.
Lebih jauh, sejumlah pemerintah dan lembaga donor internasional telah mengakui SROI sebagai metodologi rujukan. Misalnya, pemerintah Inggris melalui Cabinet Office mendukung penggunaan SROI dalam evaluasi program sosial. Demikian pula, badan donor seperti European Commission mulai mempertimbangkan pendekatan SROI dalam penilaian program pemberdayaan masyarakat.
3.4. Fleksibilitas dalam Berbagai Sektor
SROI juga unggul karena dapat diterapkan di berbagai sektor, mulai dari kesehatan, pendidikan, lingkungan, hingga pemberdayaan ekonomi. Di sektor kesehatan, penelitian Banke-Thomas et al. (2015) menggunakan SROI untuk menilai program pelatihan bidan di Nigeria, yang menunjukkan nilai sosial jauh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. Sementara di Kanada, SROI digunakan untuk mengevaluasi program pencegahan putus sekolah, dengan hasil yang memperlihatkan manfaat jangka panjang terhadap produktivitas tenaga kerja.
Fleksibilitas ini menjadikan SROI relevan tidak hanya bagi NGO, tetapi juga bagi korporasi yang menjalankan program CSR atau pemerintah yang ingin menilai efektivitas kebijakan sosial.
3.5. Penerapan di Indonesia
Di Indonesia, relevansi SROI mulai terlihat dalam regulasi maupun praktik perusahaan. Salah satu contohnya adalah Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dalam pedoman terbaru, KLHK mendorong perusahaan untuk melaporkan dampak sosial programnya menggunakan SROI, sehingga kontribusi nyata terhadap masyarakat dapat diukur secara lebih obyektif.
Selain itu, beberapa perusahaan tambang dan energi telah memanfaatkan SROI untuk menilai efektivitas program CSR mereka di bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat. Misalnya, program pengembangan usaha mikro yang dinilai melalui SROI dapat menunjukkan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan perusahaan menghasilkan nilai sosial berkali lipat bagi masyarakat lokal.
3.6. Sintesis: Keunggulan SROI
Dari uraian di atas, terdapat beberapa poin kunci mengapa SROI menjadi metodologi terdepan:
- Ia mampu menggabungkan dimensi naratif dan kuantitatif.
- Ia relevan dengan agenda global seperti SDGs, ESG, dan impact investing.
- Ia memiliki standar global yang konsisten melalui Social Value International.
- Ia fleksibel diterapkan di berbagai sektor dan konteks lokal.
- Ia diakui oleh pemerintah dan lembaga donor internasional.
- Ia sudah mulai diterapkan di Indonesia, misalnya dalam kerangka PROPER.
Dengan kombinasi faktor-faktor ini, SROI bukan hanya sekadar alat teknis, tetapi juga kerangka normatif yang mendorong organisasi untuk lebih bertanggung jawab terhadap dampak sosial dan lingkungan dari aktivitasnya.
4. Tantangan dan Kritik terhadap SROI
Walaupun SROI semakin diakui sebagai metodologi terdepan dalam pengukuran dampak sosial, sejumlah kritik dan tantangan masih muncul dalam implementasinya. Hal ini wajar, karena setiap pendekatan evaluasi memiliki keterbatasan yang perlu diantisipasi.
Pertama, tantangan metodologis sering kali muncul terkait pemilihan financial proxies. Tidak semua hasil-keluaran (outcome) sosial dapat dengan mudah diterjemahkan ke dalam nilai moneter. Misalnya, peningkatan rasa percaya diri, keterhubungan sosial, atau keadilan gender sulit dikuantifikasi tanpa menimbulkan bias. Beberapa peneliti menilai bahwa penggunaan proxy dapat bersifat terlalu subjektif dan bergantung pada konteks budaya maupun preferensi evaluator (Banke-Thomas et al., 2015).
Kedua, terdapat persoalan keterbatasan data dan kapasitas teknis. Untuk menghasilkan laporan SROI yang kredibel, dibutuhkan data kuantitatif dan kualitatif yang komprehensif, serta keterampilan analisis yang memadai. Di banyak organisasi masyarakat sipil dan UMKM sosial, sumber daya untuk melakukan pengumpulan data yang mendalam sering kali terbatas (Arvidson et al., 2013).
Ketiga, kritik juga diarahkan pada potensi oversimplifikasi kompleksitas sosial. Beberapa akademisi berpendapat bahwa dengan menekankan pada angka rasio SROI (misalnya 1:3 atau 1:5), ada risiko mengabaikan narasi kualitatif yang lebih kaya. Rasio tersebut bisa menimbulkan ilusi objektivitas, padahal pada praktiknya sangat dipengaruhi oleh asumsi yang digunakan. Arvidson & Lyon (2014) bahkan menyoroti bahwa para pemangku kepentingan terkadang lebih membutuhkan cerita perubahan (story of change) daripada sekadar angka pengembalian sosial.
Keempat, dari sisi praktik di Indonesia, muncul tantangan adaptasi dengan konteks kebijakan dan budaya lokal. Walaupun PROPER KLHK mendorong penggunaan SROI dalam pelaporan dampak program tanggung jawab sosial perusahaan, banyak perusahaan masih menganggapnya sekadar kewajiban administratif, bukan alat strategis untuk perbaikan program. Selain itu, tidak semua pemangku kepentingan terbiasa dengan pendekatan partisipatif yang mendalam dalam proses identifikasi hasil-keluaran (outcome), sehingga sering kali partisipasi berlangsung secara formalitas.
Namun, penting dicatat bahwa tantangan dan kritik ini bukan berarti SROI tidak relevan, melainkan menekankan perlunya peningkatan kapasitas, transparansi, dan adaptasi metodologis. Social Value International sendiri terus memperbarui pedoman dan mendorong penggunaan standar global agar praktik SROI tetap kredibel, konsisten, dan kontekstual.
5. Kesimpulan dan Implikasi
Social Return on Investment (SROI) telah berkembang menjadi salah satu metodologi paling berpengaruh dalam mengukur dampak sosial, lingkungan, dan ekonomi dari sebuah program atau investasi. Sejak pertama kali dirintis oleh Roberts Enterprise Development Fund (REDF) di Amerika Serikat pada akhir 1990-an, hingga diperluas oleh New Economics Foundation (NEF) dan kemudian disebarkan secara global melalui Social Value UK dan Social Value International (SVI), SROI menawarkan kerangka kerja yang sistematis untuk menilai nilai yang sering kali tidak tercermin dalam laporan keuangan konvensional.
Kesimpulan utama dari kajian ini adalah bahwa SROI berfungsi bukan hanya sebagai alat pengukuran, melainkan juga sebagai mekanisme akuntabilitas dan pembelajaran kolektif. Dengan menekankan partisipasi pemangku kepentingan, metodologi ini membantu organisasi memahami dampak nyata yang dialami penerima manfaat. Selain itu, SROI juga memperlihatkan bahwa investasi sosial dapat menghasilkan multiplier effect yang signifikan, baik bagi masyarakat, pemerintah, maupun dunia usaha.
Namun, kita tidak boleh menutup mata terhadap tantangan dan kritik yang melekat. Proses kuantifikasi nilai sosial melalui financial proxy sering kali diperdebatkan karena mengandung unsur subjektivitas. Selain itu, risiko simplifikasi muncul ketika hasil SROI direduksi hanya menjadi angka rasio tanpa narasi kualitatif yang memadai. Di Indonesia, persoalan kapasitas teknis dan keterbatasan data juga menjadi hambatan serius. Oleh karena itu, SROI perlu ditempatkan sebagai bagian dari ekosistem evaluasi yang lebih luas, bukan sebagai satu-satunya ukuran kebenaran dampak sosial.
Dari sisi implikasi, ada tiga hal penting:
- Bagi pembuat kebijakan, SROI dapat menjadi alat yang mendukung kebijakan berbasis bukti. Dengan SROI, pemerintah dapat memastikan bahwa dana publik maupun kewajiban sosial perusahaan benar-benar memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat.
- Bagi perusahaan dan investor, SROI menawarkan kerangka untuk menilai investasi sosial sebagai sesuatu yang strategis, bukan sekadar biaya kepatuhan. Dalam era investasi berkelanjutan SROI membantu menjembatani kepentingan bisnis dengan kebutuhan masyarakat.
- Bagi masyarakat sipil dan komunitas lokal, SROI memberi ruang bagi suara mereka untuk diakui dalam evaluasi program. Dengan partisipasi aktif, pemangku kepentingan dapat memastikan bahwa hasil-keluaran (outcome) yang dianggap penting oleh mereka juga dihitung dan dihargai.
Secara keseluruhan, SROI adalah pendekatan yang terus berevolusi. Ia menawarkan potensi besar untuk memperkuat legitimasi dan efektivitas program pembangunan, sekaligus mendorong transformasi cara kita menilai keberhasilan. Namun, keberhasilannya tetap bergantung pada sejauh mana prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, dan keberlanjutan dijalankan secara konsisten. Dengan demikian, SROI bukan hanya tentang menghitung nilai, melainkan juga tentang mengubah cara kita memahami nilai itu sendiri.
📚 Ingin memahami lebih dalam bagaimana cara menghitung dan menerapkan SROI dalam program Anda?
👉 Ikuti Training SROI bersama Social Investment Indonesia (SII)!
Agenda training SROI terdekat: https://socialinvestment.id/events/sroi-batch35/
Daftar Pustaka
Arvidson, M., & Lyon, F. (2014). Social impact measurement and non-profit organisations: Compliance, resistance, and promotion. Voluntas: International Journal of Voluntary and Nonprofit Organizations, 25(4), 869–886. https://doi.org/10.1007/s11266-013-9373-6
Arvidson, M., Lyon, F., McKay, S., & Moro, D. (2013). Valuing the social? The nature and controversies of measuring social return on investment (SROI). Voluntary Sector Review, 4(1), 3–18. https://doi.org/10.1332/204080513X661554
Banke-Thomas, A. O., Madaj, B., Charles, A., & van den Broek, N. (2015). Social return on investment (SROI) methodology to account for value for money of public health interventions: A systematic review. BMC Public Health, 15(1), 582. https://doi.org/10.1186/s12889-015-1935-7
Corvo, L., Pratesi, F., & Stefanini, S. (2022). Social return on investment in social policy evaluation: Theoretical and empirical challenges. Evaluation and Program Planning, 90, 102006. https://doi.org/10.1016/j.evalprogplan.2021.102006
Gosselin, V., Boccanfuso, D., & Laberge, S. (2020). Social return on investment (SROI): A new tool for evaluation of public health interventions? Health Economics Review, 10(1), 15. https://doi.org/10.1186/s13561-020-00274-w
Ministry of Environment and Forestry of Indonesia (KLHK). (2020). Panduan PROPER: Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan. Jakarta: KLHK.
New Economics Foundation (NEF). (2004). Social Return on Investment: Valuing what matters. London: NEF.
Nicholls, J., Lawlor, E., Neitzert, E., & Goodspeed, T. (2012). A guide to Social Return on Investment. London: Social Value UK.
Roberts Enterprise Development Fund (REDF). (1999). SROI Methodology Report. San Francisco: REDF.
Social Value International. (2017). Principles of Social Value. Retrieved from https://socialvalueint.org
Social Value International. (2022). Standards and Guidance for Applying the Principles of Social Value. Retrieved from https://socialvalueint.org
Social Value UK. (2016). Social Impact Report: Employment support for disabled people. Retrieved from https://socialvalueuk.org


