SIOLA: Investasi Sosial di Usia Emas
Jalal
Chairperson of Advisory Board
Social Investment Indonesia
Tak banyak lembaga swadaya masyarakat lokal yang ngotot untuk membuat program berdasarkan data yang kokoh. Namun, siapapun yang berkunjung ke kantor Yayasan Karampuang di Mamuju, Sulawesi Barat, akan mendapati kesan bahwa yayasan itu benar-benar hanya mau melakukan apa yang menurut data memang perlu dilakukan.
Dua hal yang mereka nyatakan sebagai pemicu mengapa mereka menjadi begitu. Pertama adalah kenyataan bahwa prioritas pembangunan di level desa kerap tidak tepat, lantaran data mikro memang tidak ada atau tidak handal. Kedua, partisipasi masyarakat sendiri dalam program pembangunan yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah mereka sangatlah minim.
Kedua tantangan itu tak membuat Yayasan Karampuang kemudian melancarkan protes, melainkan bekerja keras untuk memastikan ketersediaan data dan menjembatani partisipasi masyarakat. Maka, lahirlah apa yang mereka sebut sebagai Sistem Informasi Pembangunan Berbasis Masyarakat (SIPBM). Di dalam sistem itu, masyarakat diajarkan disiplin untuk mengumpulkan data kesehatan, sosial ekonomi, pendidikan, kependudukan, gender, air dan sanitasi, dan perumahan.
Mereka mulai dengan melakukan rekruitmen fasilitator di tingkat kabupaten, memberi pelatihan untuk pelatih, merekruit fasilitator kecamatan dan desa, melatih pengumpulan dan analisis data, mengumpulkan dan mengentri data, menganalisa, hingga memanfaatkannya untuk keperluan perencanaan pembangunan desa.
Dari proses itu, salah satu hasil paling menonjol yang diperoleh adalah soal kesehatan dan pendidikan anak usia emas, atau balita. Kalau sebelumnya data yang tercakup hanyalah mereka yang sudah mendapatkan layanan imunisasi dan bersekolah; dengan SIPBM terkuaklah kondisi sebenarnya, yaitu banyak anak yang belum mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan yang memadai. Padahal, kalau anak-anak itu melewati usia emasnya, maka lewatlah sudah peluang mengoptimalkan masa depan mereka.
Yayasan Karampuang kemudian memutar otak, bagaimana dalam keterbatasan sumberdaya kabupaten tersebut tantangan kesehatan dan pendidikan itu bisa dijawab. Kalau dalam pembuatan SIPBM itu mereka beroleh dukungan dari Pemkab Mamuju dan UNICEF, mereka membutuhkan mitra lainnya untuk mulai membuat program yang menjawab kebutuhan itu. Bertemulah Yayasan Karampuang dengan PTTEP, perusahaan migas asal Thailand, yang ketika itu memiliki projek eksplorasi di provinsi tersebut.
Keduanya dipertemukan karena memang pilar pengembangan masyarakat PTTEP mencakup kesehatan dan pendidikan—selain peningkatan ekonomi masyarakat. Bersama-sama mereka menemukan bahwa data SIPBM menunjukkan anak usia emas itu kerap tidak mendapatkan layanan pendidikan (PAUD) dan kesehatan (imunisasi dan lainnya) sekaligus. Maka, muncullah ide untuk menyatukan kedua layanan itu. Dari situ, mereka mengembangkan inisiatif Stimulasi, Intervensi, dan Optimalisasi Layanan Anak, yang disingkat SIOLA. Dalam bahasa setempat, siola sendiri memiliki arti ‘bersatu’.
Maka, di tahun 2012 SIOLA pertama mereka bangun di Kecamatan Tapalang Barat. Bulan Oktober 2017 sudah berdiri 9 SIOLA dan 1 sedang dalam konstruksi di seluruh Kabupaten Majene. Melihat manfaat yang timbul, PTEEP juga mengembangkan konsep yang sama di kabupaten tetangga, yaitu Majene dan Polewali Mandar (Polman). Di kedua kabupaten itu, telah selesai 4 SIOLA—di Majene disebut Taman Siarendengan, di Polman disebut Taman Siwaliparri—dan sedang dibangun 1 lagi.
Apa ciri yang paling menonjol dari penggabungan layanan pendidikan dan kesehatan untuk anak usia emas itu? Secara kasat mata, bangunannya sangat bagus. Jauh lebih bagus daripada sekolah-sekolah TK, SD, bahkan bila dibandingkan dengan bangunan sekolah menengah sekalipun. Lantaran masing-masing dibangun di atas tanah yang dihibahkan—sebagai bentuk partisipasi—oleh instansi atau masyarakat, anggaran bisa dioptimalkan untuk bangunan.
Tapi, bukan itu yang membuat SIOLA menjadi lokasi belajar banyak PAUD se-Indonesia, mendapatkan beragam penghargaan nasional, dan internasional—SIOLA diganjar Platinum Award for Best Community Program di The 9th Global CSR Summit 2017 dan Bronze Award for Innovation in Community Relations (Energy Sector) pada Stevie Awards 2017. SIOLA punya program peningkatan kapasitas untuk pengelolanya, forum untuk berbagi pengalaman antar-SIOLA, kampanye kesehatan dan nutrisi, juga ajang unjuk kreativitas dan perlombaan.
Secara keseluruhan, program itu sudah dievaluasi dengan alat ukur canggih, Social Return on Investment (SROI) dengan hasil 1,03 dalam dua tahun (2014-2016), yang berarti sudah kembali kembali modal, dan diprojeksikan akan menghasilkan SROI 2,87 antara 2017-2019. Sebuah hasil investasi sosial yang sangat tinggi! Bagaimana cara return sebesar itu diperoleh, dan hendak terus ditingkatkan oleh Yayasan Karampuang dan PTTEP? Itu akan menjadi pokok bahasan tulisan berikutnya.
Tulisan ini telah terbit di harian Kontan pada tanggal 23 November 2017.