Skip to content

Hotline : +62 813-1724-5657

Email: [email protected]

  • BERANDA
  • Tentang Kami
    • Sambutan Direktur
    • Visi dan Misi
    • Prinsip dan Nilai
    • Kepemimpinan dan Tim Kami
    • Download Profil SII
    • Klien Kami
  • Layanan
    • Asesmen
    • Strategi
    • Implementasi
    • Monitoring, Evaluation dan Learning
    • Komunikasi dan Pelaporan
  • Agenda
  • Pengetahuan
    • Artikel
    • Berita
    • E-book
    • Resensi
    • Presentasi
    • Studi Kasus
    • Jurnal Canting
  • Foundation
    • Yayasan Social Investment Indonesia
    • Yayasan Negeri Ternak Indonesia
  • Hubungi Kami

← Seluruh Artikel

Lima Tingkat Kematangan Keberlanjutan Perusahaan: Kerangka Komprehensif untuk Mengawal Perjalanan ESG Perusahaan

  • Kategori : Artikel
[debug_author_post]

Daftar Isi

Oleh:

Jalal – Chairperson of Advisory Board
Social Investment Indonesia

 

Setidaknya dalam dua dekade terakhir, dalam pengamatan saya, lanskap keberlanjutan perusahaan telah berevolusi secara dramatis. Kalau tadinya ia didominasi oleh tindakan-tindakan filantropis serta daftar periksa (checklist) kepatuhan, kini ia menjadi inti dari strategi, resiliensi, dan penciptaan nilai jangka panjang di perusahaan-perusahaan yang progresif. Perusahaan kini juga tidak lagi dinilai semata-mata dari kinerja keuangannya, tetapi juga dari bagaimana mereka mengelola dampak terhadap lingkungan dan masyarakat, serta seberapa kuat fondasi tata kelola yang mereka miliki.  Lembaga jasa keuangan—terutama investor institusional dan bank besar—karenanya menggunakan kriteria Environmental, Social and Governance (ESG) untuk pengambilan keputusan pembiayaan dan investasi yang mereka lakukan.  Perusahaan kemudian meresponsnya dengan integrasi ESG, dan emangku kepentingan lainnya juga semakin memanfaatkan kriteria yang sama untuk mengambil keputusan terhadap perusahaan.

Oleh karena itu, bila di tahun 2004 ESG hanya berarti dasar penapisan investasi dan pembiayaan, kini kita menyaksikan makna yang lebih luas.  Elizabeth Pollman (2024) menyatakan bahwa ESG kemudian juga bermakna manajemen risiko, dan lebih luas lagi menjadi seperti sinonim untuk keberlanjutan perusahaan dan CSR (yang sebetulnya bermakna tanggung jawab perusahaan atas dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat dan lingkungan).  Makna ESG yang keempat, yaitu makna kulturalnya, terutama hanya relevan di Amerika Serikat.  Di tulisan ini, ESG secara konsisten digunakan untuk ESG ketiga makna pertama saja.  Konsekuensinya, menurut hemat saya, niscaya membuat pergeseran fundamental dalam bisnis yang menuntut para pemimpinnya untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana perusahaan bisa relevan untuk masa depan berkelanjutan yang kita inginkan bersama?”

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perusahaan memerlukan sebuah peta dan sebuah kompas untuk menavigasi kompleksitas dan mengukur kemajuan. Berdasarkan analisis terhadap berbagai standar dan kerangka global, dan pengalaman praktis selama puluhan tahun, saya mencoba merumuskan sebuah model tingkat kematangan (maturity level) ESG yang terdiri dari lima tingkatan: Reaktif, Responsif, Proaktif, Integratif, dan Regeneratif.  Model ini tidak saya maksudkan sebagai label yang kaku, melainkan sebagai sebuah spektrum dinamis yang membantu organisasi mengidentifikasi posisi mereka saat ini, memahami langkah-langkah selanjutnya yang diperlukan, dan mengartikulasikan visi keberlanjutan mereka dengan lebih jernih. Perjalanan melintasi tingkatan ini merefleksikan evolusi cara pandang perusahaan—dari melihat ESG sebagai beban, menjadi sumber peluang, hingga akhirnya sebagai esensi dari eksistensi mereka.

Model yang saya ajukan ini disandarkan pada beberapa model yang sudah ada—yang sayangnya, menurut hemat saya, model-model itu belum cukup memuaskan dari sudut pandang fakta di lapangan maupun kebutuhan menuntun bisnis untuk benar-benar menjadi relevan di masa mendatang.  Saya memeriksa 26 pustaka yang relevan dengan NotebookLM, dan meminta ChatGPT, DeepSeek, Gemini, Perplexity dan Qwen untuk masing-masing membuat tingkat kematangan itu berdasarkan sumber-sumber otoritatif—dengan 10 komponen dan 5 tingkatan yang sepenuhnya saya tentukan.  Hasil konsolidasinya, masing-masing lebih baik daripada satu per satu model yang sudah ada di dalam pustaka tentang tingkat kematangan ESG.  Di sisi lain, terdapat penekanan yang berbeda juga pertautan di antara hasil-hasil yang ada.  Hasil yang saya ajukan berikut ini adalah penggabungan dari yang dihasilkan oleh keenam mesin AI itu.

Tingkat 1: Reaktif (Compliance-Driven).  Pada tingkat paling dasar ini, perusahaan memandang ESG sebagai sebuah kewajiban eksternal yang harus dipenuhi, bukan sebagai bagian dari strategi bisnis. Motivasi utamanya adalah kepatuhan dan penghindaran risiko hukum, denda, atau pemenuhan tekanan pemangku kepentingan tertentu. Inisiatif ESG, jika ada, bersifat ad-hoc dan sering kali dipicu oleh insiden negatif, tekanan regulasi yang tetiba mendesak penegakannya, atau pemberitaan buruk di media. Di sini, ESG masih dipandang sebagai cost center, seperti ‘pajak’ yang harus dibayar untuk dapat terus beroperasi. Tidak ada strategi keberlanjutan yang koheren, dan tanggung jawab sosial dijalankan dengan reduksionis, sering kali terisolasi di departemen komunikasi atau pengembangan masyarakat, dengan peran utama sebagai ‘pemadam kebakaran’. Laporan yang dibuat cenderung minimalis, hanya untuk memenuhi persyaratan regulasi tanpa ada upaya sungguh-sungguh untuk transparan. Pola pikir dominan di tingkat ini adalah, “Apa tindakan minimum yang harus kita lakukan agar terhindar dari masalah?”

Tingkat 2: Responsif (Risk-Driven).  Perusahaan pada tingkat Responsif mulai menyadari bahwa mengabaikan ESG dapat merusak dukungan masyarakat untuk operasi perusahaan (social license to operate) mereka. Motivasi utama bergeser dari sekadar kepatuhan menjadi manajemen risiko—termasuk risiko reputasi dengan memfokuskan diri pada pemenuhan ekspektasi pemangku kepentingan utama, seperti investor dan pelanggan. Perusahaan mulai mendengarkan dan menanggapi tekanan dari luar dengan lebih bersungguh-sungguh. Mereka mungkin mulai mengembangkan kebijakan formal terkait lingkungan dan/atau sosial, meluncurkan program-program CSR yang lebih terstruktur, dan memublikasikan laporan keberlanjutan awal yang terutama masih berfokus pada narasi positif. Namun, berbagai inisiatif ini sering kali masih bersifat periferal dan belum terhubung dengan strategi bisnis inti. ESG dipandang sebagai alat manajemen risiko dan pencitraan, di mana departemen keberlanjutan, jika sudah ada, bekerja secara terpisah dari unit bisnis utama. Pola pikirnya adalah, “Apa yang diharapkan oleh pemangku kepentingan dari kita, dan bagaimana bisa menunjukkan bahwa kita sudah berusaha atau telah memenuhinya?”

Tingkat 3: Proaktif (Opportunity-Driven). Tingkatan papan tengah ini merupakan titik balik krusial. Perusahaan di tingkat Proaktif mulai melihat ESG bukan lagi sekadar sebagai risiko yang harus dimitigasi, tetapi sebagai sumber peluang dan keunggulan kompetitif. Motivasi bergeser ke arah penciptaan nilai bisnis. Perusahaan secara aktif mencari cara untuk meningkatkan efisiensi operasional melalui inisiatif lingkungan (misalnya, efisiensi energi dan air), memerkuat rantai pasok dengan standar lingkungan dan sosial yang lebih baik, dan/atau mengembangkan produk dan layanan yang lebih ramah lingkungan untuk merebut pangsa pasar baru. Di tingkat ini, business case untuk keberlanjutan menjadi semakin jelas dan terukur—walau belum melingkupi semua yang material.  Target-target ESG mulai ditetapkan, meskipun mungkin belum mencakup seluruh fungsi dalam organisasi. Inovasi menjadi pendorong, dan kolaborasi lintas-fungsi mulai terjadi karena unit bisnis melihat manfaat nyata di awal—penghematan biaya, peningkatan loyalitas pelanggan, dan daya tarik dalam rekrutmen talenta baru—dari praktik dan kinerja ESG yang baik. Pola pikir di tingkat ini adalah, “Bagaimana kita bisa memanfaatkan ESG untuk menjadi lebih efisien, inovatif, dan menguntungkan dalam bisnis?”

Tingkat 4: Integratif (Strategy-Driven).  Pada tingkat Integratif, ESG bukan lagi sebuah program atau inisiatif terpisah; ia telah menyatu sepenuhnya ke dalam praktik, atau sebagai DNA, perusahaan. Keberlanjutan adalah strategi bisnis itu sendiri. Kepemimpinan di tingkat Dewan Komisaris dan Direksi tidak hanya mendukung, tetapi secara aktif mendorong dan memiliki akuntabilitas atas kinerja ESG. Pertimbangan ESG tertanam dalam setiap proses pengambilan keputusan utama—mulai dari alokasi modal, pengembangan produk, manajemen risiko perusahaan, hingga remunerasi eksekutif dan tingkatan manajemen di bawahnya. Perusahaan tidak lagi berpikir dalam kerangka untung-rugi finansial jangka pendek semata, melainkan mengadopsi pendekatan blended value, yang secara simultan menghasilkan keuntungan ekonomi melalui bisnis yang mengatasi masalah ekonomi, sosial dan lingkungan yang dihadapi masyarakat. Mereka secara mendalam melibatkan seluruh spektrum pemangku kepentingan untuk bersama-sama menciptakan solusi. Transparansi bersifat radikal, dengan pelaporan yang tidak hanya menyoroti keberhasilan tetapi juga mengakui tantangan bahkan kegagalan sebagai bagian dari proses pembelajaran. Pola pikir perusahaan di tingkat ini adalah, “Bagaimana kita dapat memastikan bahwa setiap keputusan bisnis yang kita ambil menciptakan nilai jangka panjang bagi perusahaan, masyarakat, dan Bumi secara bersamaan?”

Tingkat 5: Regeneratif (Purpose-Driven).  Ini adalah garda terdepan kepemimpinan keberlanjutan, sebuah puncak aspirasi yang melampaui konsep ‘berkelanjutan’ itu sendiri. Jika keberlanjutan sering kali diartikan sebagai ‘tidak melakukan kerusakan’ atau mencapai dampak netral (net-zero), maka regenerasi berarti secara aktif memulihkan, memerbarui, dan menyuburkan sistem sosial dan ekologis di mana perusahaan beroperasi. Motivasi perusahaan Regeneratif didorong oleh tujuan luhur (purpose) yang jauh melampaui sekadar laba. Mereka melihat bisnis sebagai kekuatan untuk penyembuhan dan perbaikan dunia (business as a force for good). Model bisnis mereka secara inheren bersifat sirkular dan restoratif. Rantai pasok mereka tidak hanya etis, tetapi secara aktif meregenerasi ekosistem dan memberdayakan komunitas lokal. Tujuan tertinggi perusahaan bukan lagi untuk menjadi ‘yang terbaik di dunia,’ melainkan menjadi ‘yang terbaik bagi dunia.’ Perusahaan pada tingkat ini tidak hanya memitigasi dampak negatif, atau memastikan tidak adanya kerusakan, tetapi secara terukur menghasilkan dampak bersih yang positif (net-positive impact). Mereka menjadi katalisator bagi transformasi sistemik di industri mereka dan dunia usaha secara luas. Pola pikir dominannya adalah, “Bagaimana bisnis kita dapat menjadi wahana untuk memulihkan kesehatan ekosistem dan meningkatkan kesejahteraan generasi sekarang, dan meninggalkan warisan yang lebih baik bagi generasi mendatang?”

Perjalanan dari Reaktif ke Regeneratif adalah maraton, bukan sprint. Setiap tingkatan memiliki tantangan dan peluangnya sendiri. Dengan memahami di mana posisi perusahaan dalam spektrum ini—melalui pemanfaatan lima tingkat kematangan ini sebagai evaluasi diri—perusahaan dapat membangun strategi yang lebih cerdas, mengalokasikan sumberdaya secara lebih efektif, dan pada akhirnya, membangun organisasi yang tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dan memberikan kontribusi positif dalam menghadapi tantangan terbesar abad ke-21.

Secara lebih detail, berikut adalah penjelasan model kematangan keberlanjutan perusahaan dalam bentuk tabel:

Komponen

Level 1 – Reaktif Level 2 – Responsif Level 3 – Proaktif Level 4 – Integratif

Level 5 – Regeneratif

Kepemimpinan ESG dianggap sebagai beban biaya atau tanggung jawab departemen kecil (mis., CSR/HR). Tidak ada komitmen atau visi dari manajemen puncak. Manajemen senior mulai sadar akan pentingnya ESG, terutama untuk kepatuhan hukum dan reputasi. Dibentuk tim ESG, namun sumberdaya dan pengaruhnya terbatas. CEO dan direksi serta dewan komisaris secara aktif mendukung ESG. Komite ESG formal dibentuk di tingkat dewan komisaris. ESG mulai diintegrasikan ke dalam beberapa proses bisnis inti. ESG adalah pilar strategi utama. CEO dan direksi serta dewan komisaris adalah advokat publik. Kinerja ESG terikat langsung dengan remunerasi eksekutif. Budaya perusahaan mencerminkan nilai keberlanjutan. ESG adalah DNA dan tujuan inti perusahaan. Pemimpin menjadi panutan global, memimpin koalisi industri, dan mendorong kebijakan untuk mentransformasikan sistem ekonomi menjadi regeneratif.
Uji Materialitas Tidak ada proses formal. Isu ESG dipilih secara subjektif, reaktif, atau hanya berdasarkan keluhan terbaru. Proses materialitas dasar dilakukan, seringkali hanya untuk memenuhi persyaratan pelaporan. Fokus pada risiko hukum dan reputasi jangka pendek. Proses materialitas terstruktur dan berkala, melibatkan pemangku kepentingan internal dan eksternal. Hasilnya digunakan untuk memprioritaskan inisiatif. Pendekatan materialitas ganda (dampak finansial & dampak eksternal) yang dinamis. Digunakan untuk inovasi produk dan model bisnis. Materialitas bersifat prediktif dan sistemik, memertimbangkan dampak jangka panjang dan intergenerasional. Menjadi dasar untuk merancang ulang model bisnis demi keberlanjutan Bumi dan segala isinya.
Strategi ESG Tidak ada strategi formal. Aktivitas ESG bersifat sporadis, filantropis, dan tidak terkait dengan strategi bisnis inti. Strategi ESG mulai dirumuskan namun terpisah dari strategi bisnis utama. Fokus pada mitigasi risiko dan low-hanging fruits. Strategi ESG terintegrasi penuh ke dalam strategi korporat. Tujuan ESG sejajar dengan tujuan keuangan dan memiliki roadmap yang jelas. ESG menjadi pendorong utama inovasi, keunggulan kompetitif, dan penciptaan nilai jangka panjang. Perusahaan menetapkan target berbasis sains (SBTi) atau yang sesuai dengan ekspektasi pemangku kepentingan global. Strategi berbasis regenerasi: tujuan perusahaan adalah menciptakan nilai positif bersih (net-positive impact) bagi masyarakat dan lingkungan. Model bisnis dirancang untuk memerbaiki sistem yang rusak.
Manajemen Risiko ESG Risiko ESG tidak diidentifikasi atau dikelola secara sistematis. Pendekatan bersifat reaktif setelah krisis terjadi. Risiko ESG (terutama kepatuhan dan reputasi) mulai diidentifikasi secara kualitatif, namun dikelola secara terpisah dari kerangka risiko utama. Risiko ESG terintegrasi penuh ke dalam Enterprise Risk Management (ERM). Dilakukan analisis kuantitatif dan skenario (misalnya, TCFD) untuk menguji ketahanan. Manajemen risiko bersifat proaktif dan prediktif. Perusahaan menggunakan data canggih untuk mengantisipasi risiko dan mengidentifikasi peluang. Fokus pada ketahanan rantai pasok. Perusahaan memimpin dalam mengelola risiko sistemik global (iklim, ketimpangan sosial). Membangun kemitraan lintas sektor untuk mitigasi risiko dan menciptakan model bisnis yang antifragile.
Manajemen Pemangku Kepentingan Interaksi minimal dan transaksional, biasanya hanya saat terjadi krisis atau untuk kepatuhan dasar. Komunikasi satu arah. Mulai melakukan konsultasi periodik (misalnya, survei tahunan) dengan pemangku kepentingan utama, namun umpan balik jarang ditindaklanjuti secara sistematis. Dialog dua arah yang terstruktur dan berkelanjutan dengan kelompok pemangku kepentingan strategis. Umpan balik digunakan untuk perbaikan operasional dan strategis. Kemitraan strategis jangka panjang dibangun dengan LSM, komunitas, dan pemasok untuk menyelesaikan masalah kompleks secara kolaboratif. Perusahaan menjadi fasilitator ekosistem multi-pemangku kepentingan. Model bisnis dikembangkan secara ko-kreasi untuk menciptakan manfaat untuk seluruh pemangku kepentingan (stakeholder capitalism) dan mengatasi ketidakadilan sistemik.
Penentuan KPI & Target Tidak ada KPI atau target ESG yang formal. Jika ada, bersifat anekdot atau hanya mengukur output. KPI dasar diadopsi (misalnya, intensitas energi, angka kecelakaan kerja) dari standar eksternal seperti GRI. Target bersifat inkremental dan jangka pendek. KPI yang komprehensif (lagging & leading indicators) ditetapkan untuk isu material. Target terukur (SMART) dan mulai dikaitkan dengan evaluasi kinerja manajerial. Target ambisius berbasis sains (SBTi, dll.) untuk isu kunci. KPI mengukur outcome dan mencakup emisi Scope 3. Terikat erat dengan insentif eksekutif. Target regeneratif: fokus pada dampak positif bersih (net-positive) dan kontribusi pada SDGs serta memulihkan sesuai batas-batas planetari. Mencakup seluruh rantai nilai dan ekosistem. Menjadi tolok ukur untuk industrinya.
Kinerja Lingkungan Fokus pada kepatuhan minimum terhadap regulasi. Tidak ada pengukuran atau pelaporan data emisi/limbah yang sistematis. Program efisiensi sumberdaya dasar (misalnya, pemanfaatan lampu LED) diimplementasikan. Mulai mengumpulkan data emisi Scope 1 & 2 untuk pelaporan. Penerapan sistem manajemen lingkungan (misalnya, ISO 14001). Target pengurangan emisi dan limbah yang konsisten. Program sirkularitas mulai diperkenalkan. Investasi besar dalam teknologi hijau dan energi terbarukan. Mengejar netralitas karbon sesuai sains. Transparansi penuh atas emisi Scope 3 dan rantai pasok hijau. Operasi memberikan dampak positif bersih bagi lingkungan: carbon negative, water positive, biodiversity net-gain. Desain produk biomimetik, nol limbah, dan memulihkan modal alam.
Kinerja Sosial Program sosial bersifat karitatif (donasi) dan tidak terstruktur. Fokus hanya pada kepatuhan hukum ketenagakerjaan minimum. Program K3 yang lebih terstruktur. Kebijakan dasar tentang keragaman dan inklusi (DEI) ada di atas kertas. Mulai ada pelatihan sukarela. Program DEI, pengembangan karyawan, dan kesejahteraan yang terstruktur. Manajemen rantai pasok bertanggung jawab (audit pemasok). Program komunitas berbasis pengembangan kapasitas. Diakui sebagai employer of choice. Menerapkan upah layak untuk seluruh pekerja dan kontraktor. Rantai pasok dikelola dengan prinsip HAM. Program sosial menciptakan manfaat bersama yang terukur. Perusahaan menjadi agen perubahan sosial: secara aktif menghapus ketimpangan struktural, memberdayakan komunitas marginal, dan memerjuangkan hak asasi manusia di luar operasinya melalui advokasi.
Kinerja Tata Kelola Struktur tata kelola ESG tidak jelas atau tumpang tindih dengan tata kelola tradisional. Transparansi rendah, akuntabilitas minim. Kode etik dan kebijakan anti-korupsi formal ada. Ditunjuk seorang direktur atau SVP yang membidangi ESG. Pelatihan kepatuhan dilakukan. Komite ESG dibentuk di tingkat dewan komisaris dengan mandat jelas. Kebijakan ESG formal (HAM, anti-korupsi) diterapkan. Sistem whistleblowing efektif. ESG tertanam dalam charter dewan komisaris dan kebijakan remunerasi. Due diligence ESG diterapkan pada M&A. Tata kelola yang sangat transparan dan adaptif. Tata kelola partisipatif dan inklusif: melibatkan pekerja, komunitas, dan pemangku kepentingan lain dalam pengambilan keputusan strategis (stakeholder governance). Standar etika dan integritas tertinggi.
Transparansi & Akuntabilitas Tidak ada pelaporan ESG publik. Informasi hanya disediakan jika diminta secara hukum. Data tidak dapat diandalkan. Menerbitkan laporan keberlanjutan pertama atau bagian sederhana dalam laporan tahunan. Konten naratif, tanpa verifikasi pihak ketiga. Laporan keberlanjutan tahunan komprehensif berbasis standar global (GRI/SASB). Data mulai diverifikasi pihak ketiga untuk asersi terbatas (limited assurance). Pelaporan terintegrasi yang menghubungkan informasi keuangan dan non-keuangan. Mendapat verifikasi tingkat keyakinan tinggi (reasonable assurance) untuk data inti. Transparansi radikal: pelaporan real-time melalui dashboard digital. Akuntabilitas penuh atas dampak eksternal. Audit dampak sosial-lingkungan dilakukan berkala dengan data terbuka untuk publik.

Depok, 5 November 2025

 

Penulis memanfaatkan mesin Kecerdasan Buatan (AI) untuk pencarian data serta penulisan kerangka dan draft awal.  Tanggung jawab atas kebenaran informasi serta substansi pendapat tetap melekat pada penulis.

PrevSebelumnyaPerang Keberlanjutan Dimenangkan (Juga) Lewat Pertempuran-pertempuran di Dalam Perusahaan – Resensi Buku Santoso, dkk [2025]
SelanjutnyaKerangka Integrasi ESG Holistik: Penciptaan Nilai Perusahaan BerkelanjutanNext

Ditulis Oleh

Jalal

Chairperson of Advisory Board

Social Investment Indonesia

Unduh Artikel Disini

Unduh

Bagikan Artikel Ini

Artikel Lainnya

Memilih Jalan Pembangunan Berkelanjutan
Dari Kepatuhan Regulasi Menuju Panduan ESG Kelas Dunia: Membayangkan Skenario Terbaik untuk Masa Depan PROPER KLH
Pokok-Pokok Pikiran Tentang Regulasi CSR
Pusat Pengetahuan
Linkedin Youtube Instagram Facebook

TENTANG Social Investment Indonesia

Menjadi mitra pilihan dalam pengembangan dan pelaksanaan program investasi sosial yang berkelanjutan dengan Menyediakan layanan konsultasi dan pendampingan, pelatihan dan pengembangan kapasitas, tenaga alihdaya yang handal hingga layanan penelitian terkait pelaksanaan CSR (tanggung jawab sosial) dan pengembangan masyarakat

Langganan Artikel dan Berita Keberlanjutan dari Kami

WAWASAN KEBERLANJUTAN
  • Artikel Keberlanjutan
  • Kabar Terbaru
  • Social Investment Roundtable Discussion
  • E-book
  • Download
LAYANAN
Asistensi Teknis dan Advisori
  • Technical Assisstance for Program Implementation
  • Technical Assisstance for ESG
  • Grant Making Strategy Development
  • System Monitoring & Evaluation
  • Conflict Management & Resolution
  • Strategic Communication
  • Reporting Development (CSR Reports, Sustainability Reports, Thematic Reports)
LAYANAN
Riset Pengembangan Sosial
  • Community Needs & Assets Assessment (Social Mapping)
  • Strategic Issues & Stakeholder Mapping
  • Study Multiflier Effect (Social Economic Impact)
  • Indeks Persepsi Masyarakat (IPM)
  • Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM)
  • Social License to Operate Indeks (SLTO Index)
  • Social Baseline Study
  • Impact Measurement Study – Social Return on Investment (SROI) Method
  • Impact Measurement Study – Sustainable Livelihood Impact Assessment (SLIA) Methods
PENGEMBANGAN KAPASITAS
Pelatihan Perencanaan Program
  • ISO 26000 SR
  • Sustainability & CSR Masterclass
  • Designing Social Investment Program Based-On Corporate Risk & Opportunity Assessment
  • Social Assessment and Stakeholders Management For Strategic Social Investment
  • Logical Framework Approach (LFA)
PENGEMBANGAN KAPASITAS
Pelatihan Pelaksanaan Program
  • Project Management for Social Investment Program
  • Social Investment for SDGs
  • Creating Shared Value (CSV)
Pelatihan Evaluasi Program
  • Social Return On Investment (SROI)
  • Social Livelihood Impact Assessment (SLIA)
  • Environmental, Social and Governance (ESG)
  • Technics Measuring the Impact of Social Investment Program
TENTANG KAMI
  • Sambutan Direktur
  • Visi dan Misi
  • Prinsip dan Nilai
  • Tim Kami
  • Profil Kami
  • Klien Kami
BERANDA
TENTANG KAMI
  • Sambutan Direktur
  • Visi dan Misi
  • Prinsip dan Nilai
  • Kepemimpinan dan Tim SII
  • Klien Kami
LAYANAN
  • Asesmen
  • Strategi
  • Implementasi
  • Monitoring, Evaluasi dan Learning
  • Komunikasi dan Pelaporan
PENGETAHUAN
  • Artikel
  • Berita
  • Ebook
  • Presentasi
  • Studi Kasus
FOUNDATION
  • Yayasan Social Investment Indonesia
HUBUNGI KAMI

© 2025 Social Investment Indonesia

Go to Top
  • BERANDA
  • Tentang Kami
    • Sambutan Direktur
    • Visi dan Misi
    • Prinsip dan Nilai
    • Kepemimpinan dan Tim Kami
    • Download Profil SII
    • Klien Kami
  • Layanan
    • Asesmen
    • Strategi
    • Implementasi
    • Monitoring, Evaluation dan Learning
    • Komunikasi dan Pelaporan
  • Agenda
  • Pengetahuan
    • Artikel
    • Berita
    • E-book
    • Resensi
    • Presentasi
    • Studi Kasus
    • Jurnal Canting
  • Foundation
    • Yayasan Social Investment Indonesia
    • Yayasan Negeri Ternak Indonesia
  • Hubungi Kami