Jalal dan Fajar Kurniawan
Social Investment Indonesia
Apakah benar bahwa PKBL bisa mempertahankan atau bahkan meningkatkan nilai perusahaan? Demikian pertanyaan yang banyak terlontar di berbagai seminar, lokakarya, dan pertemuan tentang PKBL BUMN. Sebagai program yang digagas oleh Kementerian BUMN sejak lama, sangat wajar pertanyaan itu terlontar, terutama untuk memastikan bahwa apa yang dilakukan itu tidak sia-sia. Mengapa? Karena PKBL sendiri memang memanfaatkan sumberdaya finansial BUMN, dari penyisihan laba, untuk suatu tujuan tertentu. Tentu, pemanfaatan sumberdaya finansial tersebut harus dipertanggungjawabkan.
Menurut hemat kami, jawaban untuk itu tidak bisa dicari dalam praktik yang telah dilaksanakan oleh kebanyakan BUMN, melainkan dengan melihat potensi yang mungkin. Dan, potensi yang mungkin itu bisa dijelaskan melalui konsep dua konsep CSR strategis, yaitu first-mover advantage dan creating shared value (CSV).
CSR strategis didefinisikan sebagai tanggung jawab perusahaan atas dampak negatif dan positif yang ditimbulkannya dengan membawa manfaat bagi perusahaan serta pemangku kepentingannya. Hal ini sangat penting untuk dipegang erat-erat, mengingat kebanyakan BUMN hingga sekarang tidak menjalankan PKBL sebagai program yang disengaja menguntungkan kedua belah pihak. Banyak BUMN yang melihat PKBL sebagai bentuk pengeluaran belaka, yang perlu dipertanggungjawabkan dalam bentuk kesesuaian rencana dengan realisasi pengeluaran (untuk BL) dan tingkat pengembalian (untuk PK). Padahal, kalau PKBL mau dilihat sebagai bagian dari CSR strategis, maka perusahaan bisa mendapatkan keuntungan operasional, reputasional, bahkan finansial dari menjalankannya.
Salah satu teori yang menjelaskan tentang CSR strategis adalah first-mover advantage dari Sirsly dan Lamertz (2008). Di situ dinyatakan bahwa untuk juga membawa keuntungan bagi perusahaan, CSR seharusnya bersifat central, specific dan visible. Central berarti pengelolaan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan perusahaan itu ditempatkan pada kebijakan tertinggi, sehingga tetap dijalankan secara konsisten dalam kondisi apapun, termasuk krisis. Ini juga berarti bahwa PKBL haruslah dilihat sebagai salah satu saja komponen sumberdaya dan inisiatif terkait CSR, karena kebanyakan BUMN juga memiliki tanggung jawab sosial yang lebih luas—di bawah aturan UU Perseroan Terbatas, maupun standar internasional tertentu. Hanya menjalankan PKBL saja tak akan bisa membuat CSR bersifat central.
Sifat specific berarti dua hal. Pertama, terkait dengan bisnis inti perusahaan; kedua, ditujukan kepada pemangku kepentingan yang tepat. PKBL yang sesuai dengan bisnis inti sebetulnya sudah dicontohkan oleh beberapa BUMN. Telkom sebagai misal, memanfaatkan PKBL-nya untuk hal-hal yang terkait dengan teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini bisa dicontoh oleh banyak BUMN lain. BUMN karya bisa membuat banyak kegiatan PKBL yang terkait dengan green infrastructure atau BUMN perbankan bisa membuat sebanyak mungkin kegiatan PKBL yang terkait dengan melek finansial serta bisnis yang inklusif. Dan, kegiatan-kegiatan tersebut harus ditujukan kepada pemangku kepentingan yang tepat, bukan diberikan kepada siapa saja yang mengirimkan proposal. Untuk mengetahui kepada pemangku kepentingan mana itu dapat diberikan, tentu BUMN harus berinvestasi dalam pemetaan pemangku kepentingan terlebih dahulu.
Sifat visible mengandung pengertian bahwa seluruh inisiatif PKBL itu diketahui oleh pemangku kepentingan internal dan eksternal. Pengetahuan kedua jenis pemangku kepentingan itu merupakan prasyarat agar inisiatif tersebut dikomunikasikan kepada khalayak yang lebih luas lagi, serta bisa mendapatkan dukungan dari mereka yang merasa terkait dengan tujuan inisiatif tersebut. Kebanyakan inisitif PKBL yang ada sekarang masih dikomunikasikan secara alakadarnya, atau bahkan tidak dikomunikasikan sama sekali. Kalaupun dikomunikasikan, banyak yang sekadar memanfaatkan medium yang selintasan, seperti iklan di media massa cetak. Padahal, komunikasi yang kontinumlah yang memungkinkan suatu inisiatif PKBL mendapatkan perhatian dan dukungan pemangku kepentingan.
Para pengelola PKBL juga bisa memanfaatkan wawasan yang diajukan oleh Porter dan Kramer (2012) tentang CSV. Kalau tadinya PKBL dipandang sebagai perwujudan dari tujuan sosial BUMN, sudah saatnya para pengelolanya melihat potensi manfaat secara langsung PKBL untuk perusahaan. Dalam CSV, terdapat tiga kelompok aktivitas yang dinyatakan bisa membawa manfaat untuk perusahaan dan pemangku kepentingannya, yaitu reconceiving products and markets, redefining productivity in value chains, dan enabling local cluster development.
Kelompok aktivitas yang pertama menyarankan agar perusahaan bisa melihat apa saja permasalahan yang dihadapi masyarakat yang sesungguhnya bisa dilayani melalui mekanisme pasar tertentu. Salah satu pendekatan yang sangat banyak mendatangkan keuntungan bagi banyak perusahaan adalah base of the pyramid (BoP), di mana kelompok-kelompok marginal yang selama ini tak bisa menjangkau produk perusahaan tertentu kemudian dilayani. Hasilnya sangatlah mengagetkan karena potensi pasar BoP ini sangatlah besar. PK sesungguhnya sangat bisa diubah menjadi gerakan kredit mikro yang sungguh-sungguh memanfaatkan pendekatan BoP ini, sementara BL juga bisa dipikirkan penyesuaiannya agar bisa terkait dengan produk yang diciptakan setiap BUMN pelaksananya. Lagi-lagi, ini akan mendorong kesesuaian antara jenis inisiatif PKBL dengan bisnis inti perusahaan.
Pada kelompok aktivitas yang kedua, perusahaan disarankan untuk memikirkan ulang bagaimana permasalahan produktivitas yang ada di sepanjang rantai nilainya bisa diselesaikan secara bersama-sama. Kalau berbisnis dengan masyarakat belum dimungkinkan secara langsung, maka BL bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka yang berpotensi menjadi mitra bisnis perusahaan. PK maupun BL bisa dimanfaatkan untuk membuat BUMN menjalankan bisnisnya dengan lebih inklusif, menampung mereka yang tadinya belum layak berbisnis dengan perusahaan, lalu ditingkatkan statusnya menjadi lebih mendekati prasyarat kelayakan.
Terakhir, bagaimanapun rantai nilai perusahaan itu akan menjadi jauh lebih kokoh bila perusahaan membangun hubungan bisnis yang erat dengan masyarakat lokal. Jadi, bukan sekadar inklusif seperti pada kelompok aktivitas kedua, melainkan juga inklusif dengan perhatian lebih pada lokalitas. Bagaimana produktivitas perusahaan bisa ditingkatkan dengan bantuan bisnis-bisnis lokal yang timbul, bagaimana keduanya bisa mencari katalis untuk peningkatan-peningkatan produktivitas yang drastis, serta bagaimana benar-benar mengaitkan antara kesuksesan perusahaan dengan kesuksesan masyarakat, merupakan tema-tema penting yang perlu dipikirkan pada kelompok aktivitas yang ketiga ini.
Tentu, menjalankan kedua pendekatan itu tidaklah mudah, teruama bagi BUMN yang terbiasa melihat PKBL sebagai sumberdaya finansial yang bisa dihabiskan begitu saja. Namun, dalam era persaingan yang lebih ketat, yang akan segera dihadapi BUMN-BUMN Indonesia mulai berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN, sudah saatnya PKBL dipandang sebagai sumberdaya untuk CSR strategis, yang selain menguntungkan pemangku kepentingan, juga membawa keuntungan bagi perusahaan.
Jalal adalah ketua dewan penasihat (chairperson of advisory board) pada Social Investment Indonesia. Ia juga merupakan fellow dalam ekonomi hijau pada program IDEAS di Massachussetts Institute of Technology.
Fajar Kurniawan adalah pendiri dan managing partner Social Investment Indonesia dan alumni program social enterprise pada Mosaic Summer School, Cambridge University.

