Kesimpulan The Indonesian Social Investment Forum 2013
Oleh :
Jalal – Pendiri, A+ CSR Indonesia
Fajar Kurniawan – Pendiri dan Managing Partner, Social Investment Indonesia
Apa yang bisa kita simpulkan dari diskusi sepanjang hari tentang investasi sosial di Indonesia? Banyak, tentu saja. Dengan satu pidato pembuka, satu pidato penutup, dua sesi panel dan dua sesi breakout, ada banyak pembicara berkaliber baik yang memaparkan gagasannya, sehingga banyak sekali gagasan bernas yang terlontar sepanjang sehari penuh. Namun di antara banyak sekali butir pemikiran yang terlontar sepanjang penyelenggaraan ISIF 2013 ini, sepuluh tema yang dituliskan di bawah ini adalah yang paling menonjol dibicarakan baik oleh para pembicara maupun oleh para delegasi yang hadir.
Pertama, soal pengertian dan genealogi investasi sosial. Beberapa pembicara memulai pembicaraan mengenai hel ini dengan membicarakan soal apa sebenarnya peran perusahaan di masyarakat, CSR, dan CSR strategis. Pembicara yang sangat dekat benak dan hatinya dengan masyarakat, seperti Jeffry Mulyono, sangat menekankan mengenai keharusan kita berpikir soal bagaimana sesungguhnya peran perusahaan di masyarakat. Ia menekankan pada hak masyarakat atas pembangunan dan sumberdaya yang diambil dari tempat-tempat di mana masyarakat tinggal. Oleh karena itu, perusahaan sesungguhnya hadir untuk mengejawantahkan pembangunan di masyarakat, menegakkan hak masyarakat atas peningkatan kesejahteraan, dengan menggunakan sumberdaya yang memang diambil dari tempat masyarakat hidup. CSR, untuk Jeffry Mulyono adalah soal bagaimana mewujudkan hal tersebut, dan ukuran keberhasilan CSR yang sah adalah kesejahteraan dan keberlanjutan masyarakat tempat perusahaan beroperasi.
Tentu, tak semua pembicara mendekati persoalan ini dari sudut pandang rights-based seperti di atas. Kenyataannya, walaupun rights-based mulai menguat lagi di tataran internasional selama setidaknya dua tahun terakhir, di Indonesia cara berpikir tersebut masih langka. Bahkan, pengertian CSR sebagai tanggung jawab perusahaan atas dampak yang ditimbulkan oleh keputusan dan aktivitas perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan—sebagaimana yang diajukan dalam ISO 26000—juga belum menjadi arus utama di kalangan pembicara. Padahal, ISO 26000 telah resmi menjadi pedoman tanggung jawab sosial sejak akhir 2010. Sementara, yang cukup menggembirakan adalah banyaknya pembicara yang sudah berbicara mengenai bentuk-bentuk CSR yang strategis, yaitu CSR yang menguntungkan perusahaan dan pemangku kepentingannya. Dengan pendekatan yang strategis tersebut, maka seluruh unsur CSR bisa dilaksanakan tanpa menjadi beban untuk perusahaan, melainkan menjadi sumber keuntungan perusahaan, baik keuntungan operasional, reputasional, maupun finansial.
Salah satu unsur CSR yang bisa menjadi sumber keuntungan itu adalah pengembangan masyarakat. Perusahaan-perusahaan di Indonesia sesungguhnya telah lama menjalankan pengembangan masyarakat, bahkan jauh sebelum istilah CSR menjadi popular di Indonesia, sebagaimana yang banyak dinyatakan oleh para pembicara. Namun, menaruh pengembangan masyarakat oleh perusahaan sebagai bagian dari CSR memang relatif merupakan fenomena baru. Sebagian peserta diskusi bahkan masih terdengar menyamakan saja antara pengembangan masyarakat dengan CSR. Kebingungan ini memang tidak separah hingga beberapa tahun lalu, namun tetap saja penting untuk dicatat dan diselesaikan. Mengapa? Karena kita tak akan pernah sampai pada pengertian investasi sosial sebagai paradigma pengembangan masyarakat sepenuhnya manakala tidak menaruh posisinya dengan tepat. Investasi sosial memang bisa ditujukan untuk pemangku kepentingan manapun—atau masyarakat dalam pengertiannya yang paling luas—namun yang paling relevan untuk dibicarakan adalah kelompok masyarakat yang relatif tinggal dan mengupayakan kesejahteraannya di dalam atau wilayah dampak perusahaan.
Secara garis besar, pendekatan investasi sosial adalah perwujudan CSR strategis dalam bidang pengembangan masyarakat. Oleh karena itu, ada kepentingan untuk memberikan manfaat bagi perusahaan serta pemangku kepentingan, khususnya penerima manfaat; serta fokus terhadap kelompok-kelompok rentan di dalam masyarakat. Hal ini kemudian mensyaratkan pencarian apa yang dinamakan oleh IFC sebagai “community investment area”, di mana kepentingan perusahaan, aset dan kebutuhan masyarakat serta prioritas pembangunan pemerintah dicari titik temunya. Penggunaan istilah investasi sosial serta pendekatan pencarian titik temu tersebut sangat menonjol di dokumen IFC, namun semangatnya jelas terbaca di berbagai standar lainnya, seperti ISO 26000. Sangat jelas dalam pernyataan-pernyataan para pembicara bahwa perkawinan antara konsep CSR strategis dan pengembangan masyarakat memang membawa paradigma baru yang menjanjikan semakin kokohnya pengembangan masyarakat oleh perusahaan.
Tema kedua yang sangat penting adalah soal perubahan mindset yang diperlukan dalam mengemban paradigma investasi sosial ini. Sebagai sebuah paradigma pengembangan masyarakat yang baru, tentu terdapat berbagai hal dalam investasi sosial yang menandai cara berpikir baru. Dan, seperti halnya perubahan dalam paradigma ilmu pengetahuan, cara berpikir yang baru juga tak mudah untuk mendapatkan tempat, sebagaimana yang dibincangkan Thomas Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolution. Beberapa pembicara, dan delegasi yang hadir, bercerita mengenai kesulitan-kesulitan internal yang mereka hadapi ketika mencoba menggunakan paradigma investasi sosial, serta yang lebih luas, CSR strategis. Mereka bukan saja menghadapi tantang dari bawah dan samping, yang kerap dianggap wajar karena memang pengetahuannya belum memadai; mereka juga menghadapi tantangan dari atasan, yang sangat mengherankan karena sebetulnya paradigma baru ini menjanjikan manfaat bisnis juga bagi perusahaan.
Apa saja perubahan dalam cara berpikir yang sangat penting dalam paradigma investasi sosial? Dari para pembicara, tampaknya ada empat hal yang paling menonjol. Pertama, dari “membuang uang” menjadi mengembangkan sumberdaya. Bagaimanapun, kebanyakan perusahaan masih memandang pengembangan masyarakat sebagai cost center, yang penting dikeluarkan manakala masyarakat menjadi ancaman bagi bisnis. Yang tidak memandangnya sebagai upaya memadamkan kebakaran juga tidak memandangnya sebagai hal yang produktif, sehingga sumberdaya finansial yang dipergunakan untuk pengembangan masyarakat dianggap habis begitu saja. Sementara, sebagai investasi sosial, sumberdaya yang dipergunakan perlu dipertanggungjawabkan. Kedua, dari sekadar peduli kepada masyarakat menjadi meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perusahaan. Kepedulian adalah hal yang banyak dinyatakan sebagai motivasi menjalankan pengembangan masyarakat, namun kepedulian tersebut sesungguhnya harus ditunjukkan dengan bukti yang lebih konkret, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, investasi sosial juga menekankan pada keuntungan yang diperoleh investornya—yaitu perusahaan—bukan hanya keuntungan yang diterima oleh penerima manfaat.
Ketiga, para pembicara juga menekankan bahwa sebagai konsekuensi dari logika investasi, maka pengukuran menjadi sangat penting. Ini merupakan hal yang secara metodologis tak begitu rumit, namun lantaran kebanyakan perusahaan di masa lalu alpa mendisiplinkan diri dalam pengukuran, terutama dalam hasil tak langsung (outcome) dan dampak (impact), maka keharusan mengukur kini menjadi tantangan tersendiri. Masih juga banyak manajer perusahaan yang berpikir bahwa kegiatan mengukur tingkat keberhasilan dalam pengelolaan sosial itu mustahil. Namun, sebagaimana yang ditunjukkan dalam berbagai literatur yang menganut paradigma investasi sosial, hal itu sama sekali tak benar. Terakhir, perubahan yang terpenting adalah sifat jangka panjang dari investasi sosial, yang membuat perusahaan harus mengecilkan jumlah sumberdaya yang tadinya lebih banyak digunakan untuk projek-projek jangka pendek. Kalau tadinya perusahaan banyak sekali menaruh sumberdaya finansialnya untuk projek berjangka pendek, yang terbukti manfaatnya sangat kecil untuk masyarakat, dan tak pernah ada manfaat untuk perusahaan kecuali citra baik sesaat. Seperti investasi lainnya, hanya dalam jangka panjang saja kecenderungan hasil bisa dilihat dengan jelas. Dan, tak seperti investasi finansial yang bisa menguntungkan lantaran volatilitas harga, investasi sosial lebih menguntungkan bila volatilitas di masyarakat terredam.
Dr. Indra Cahya Uno dalam pidato pembukanya menekankan bahwa perubahan-perubahan dalam cara berpikir tersebut harus dipersiapkan dengan baik.
“Perubahan mindset memerlukan prasyarat change readiness,” demikian pesan terpenting pidatonya. Kebanyakan perusahaan yang melakukan manajemen perubahan ternyata mengalami kegagalan, bukan keberhasilan. Berbagai penelitian ilmiah dalam ilmu manajemen menunjukkan hal tersebut ternyata disebabkan karena perusahaan tidak mengelola kesiapan internal untuk berubah. Berbagai syarat pengetahuan, keterampilan dan sikap harus dipersiapkan dengan matang agar perusahaan bisa benar-benar memeluk erat, dan menjadikan investasi sosial sebagai logika pengembangan masyarakatnya. Hal tersebut tidak bisa diperoleh dalam waktu sebentar. “Perubahan membutuhkan kegigihan, dan membutuhkan waktu rata-rata 6 tahun untuk menjadi benar-benar matang,”
demikian paparan Dr. Uno. Artinya, perusahaan yang memang serius dalam mengubah dirinya menjadi investor sosial harus mempersiapkan semacam grace period, untuk mematangkan investasinya dalam kurun waktu tersebut. Tentu, hal itu tidak berarti bahwa perusahaan tidak bisa memetik keuntungannya sebelum periode itu berakhir.
Perubahan tersebut membutuhkan berbagai investasi di dalam perusahaan adalah tema ketiga yang sangat menonjol. Dari paparan para pembicara sangatlah tegas bisa kita dapati bahwa seluruh perusahaan yang melakukan perubahan itu memang berinvestasi dalam jumlah yang tidak sedikit untuk memastikan bahwa tujuan perubahannya bisa dicapai.
1. Investasi dalam pengembangan kapasitas SDM internal dan eksternal
2. Investasi dalam pengembangan organisasi
3. Investasi dalam prasyarat pengetahuan yang lengkap terkait pemangku kepentingan
4. Level perubahan adalah tema keempat yang banyak didiskusikan.
5. Perilaku
6. Pengelolaan dampak
7. Berbagi manfaat
Kelima, soal jenis aktivitas yang masuk ke dalam kategori investasi sosial.
1. Projek komunitas (community project)
2. Kesempatan kerja untuk masyarakat lokal (local employment)
3. Pengembangan bisnis lokal (local business development)
Keenam, pembicaraa yang cukup banyak dilontarkan oleh para pembicara adalah manfaat yang diperoleh perusahaan
1. Operasional
2. Reputasional
3. Finansial
4. Berbagai pendekatan CSR strategis menekankan pada keuntungan yang berbeda-beda.
5. CSV, yang kini paling popular, tanpa malu-malu, menekankan pada keuntungan finansial.
Ketujuh, terkait dengan langkah pertama manajemen investasi sosial, yaitu perencanaan investasi sosial.
1. Perencanaan strategis
2. Perencanaan setahunan
3. Perencanaan adaptif: kontingensi
4. Penguasaan ide dasar pengembangan masyarakat
5. Penguasaan kondisi kemasyarakatan
6. Penguasaan standar/norma CSR/pengembangan masyakat dan modifikasinya untuk Indonesia
Kedelapan, melampaui pembicaraan mengenai pelaksanaan program dan projek investasi sosial, para pembicara sangat menekankan pada disiplin pemantauan dan evaluasi. Mungkin lantaran pelaksanaan program sendiri tak jauh berbeda dengan pengembangan masyarakat yang ‘tradisional’, atau lantaran kebanyakan pembicaraan di forum lainnya sudah banyak membahas soal ini.
1. Metodologi yang kokoh
2. Pemanfaatan berbagai metode yang telah dikenal 5 Capitals, SROI, LBG, CSR Asia SI Scorecard
3. Belajar yang keras, membandingkan berbagai metode yang telah tersedia
4. Modifikasinya untuk konteks Indonesia
Komunikasi investasi sosial adalah tema kesembilan.
1. Bentuk transparensi dan akuntabilitas kepada pemangku kepentingan
2. Ketidakjelasan standar pelaporan di Indonesia
3. Kejelasan standar pelaporan global, penting terutama untuk perusahaan yang memiliki klien asing
Kesepuluh, dan terakhir, adalah soal masa depan investasi sosial.
1. Kesediaan untuk berkolaborasi dengan pihak-pihak yang memiliki kepentingan peningkatan kesejahteraan
dan pemandirian masyarakat.
2. Kesediaan untuk terus belajar mengenai pembangunan berkelanjutan, CSR, dan pengembangan masyarakat
3. Tekad untuk terus menjadi bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang, terutama kelompok rentan