← Seluruh

Sustainable Livelihood Approach (SLA) sebagai Pilar Investasi Sosial: Kerangka, Aplikasi, dan Evaluasi

[debug_author_post]

Daftar Isi

Oleh:
W. Aris Darmono – Senior Advisor Social Investment Indonesia

 

I. Pendekatan Mata Pencaharian Berkelanjutan (SLA)

Pendekatan Mata Pencaharian Berkelanjutan (Sustainable Livelihood Approach – SLA) merupakan kerangka kerja pembangunan yang berpusat pada masyarakat, dirancang untuk menganalisis dan memahami kompleksitas kehidupan masyarakat miskin dan rentan. SLA melampaui metrik pembangunan tradisional, menekankan pada keberlanjutan jangka panjang dan ketahanan terhadap berbagai tantangan.

 

1.1. Definisi dan Karakteristik Mata Pencaharian Berkelanjutan (Sustainable Livelihood)

Secara operasional, mata pencaharian (livelihood) didefinisikan sebagai kombinasi dari kapabilitas, aset (sumber daya material dan sosial), dan aktivitas yang dibutuhkan individu atau rumah tangga untuk melangsungkan kehidupan.1  Kriteria utama yang menentukan keberlanjutan (sustainability) sebuah mata pencaharian adalah kemampuannya untuk: (1) mengatasi dan pulih dari tekanan (stresses) dan guncangan (shocks); (2) mempertahankan atau meningkatkan kapabilitas dan asetnya, baik saat ini maupun di masa depan; dan (3) melaksanakan semua itu tanpa merusak basis sumber daya alam yang mendukungnya.1 Dengan demikian, tujuan utama SLA dalam program pembangunan adalah untuk memperkuat ketahanan (resilience) rumah tangga miskin dalam menghadapi ketidakpastian.2

Program-program yang dirancang berdasarkan SLA memiliki karakteristik yang membedakannya dari intervensi sektoral konvensional. Pendekatan ini memandu formulasi kegiatan pembangunan yang secara inheren bersifat people-centered (berpusat pada masyarakat), responsive and participatory (responsif dan partisipatif), multilevel (menghubungkan tingkat mikro dan makro), dynamic (bersifat adaptif), dan sustainable (berkelanjutan).1 Karakteristik ini memfasilitasi identifikasi prioritas praktis yang secara langsung didasarkan pada pandangan dan kepentingan kelompok sasaran.

 

1.2. Prinsip-prinsip Filosofis dan Kebijakan Inti SLA

SLA didukung oleh serangkaian prinsip filosofis yang memaksa lembaga pembangunan untuk mengadopsi pandangan yang lebih holistik dan adil. Salah satu prinsip kuncinya adalah promosi ekuitas di antara dan dalam generasi, ras, gender, dan etnis.3 SLA secara eksplisit mengakui bahwa pemberdayaan perempuan adalah sentral bagi pencapaian tujuan sosial-ekonomi yang luas.3 Selain itu, pendekatan ini menuntut investasi yang tidak hanya terfokus pada modal fisik, tetapi juga pada manusia dan lingkungan.3

Dalam konteks ekonomi, SLA menekankan pentingnya kebijakan yang mengakar pada ekonomi lokal (localized economies).3 Hal ini memerlukan adopsi full-cost accounting (akuntansi biaya penuh), sebuah metodologi yang mengintegrasikan biaya dan manfaat sosial dan lingkungan yang seringkali diabaikan dalam perhitungan ekonomi tradisional.3 Penerapan akuntansi biaya penuh ini menjadi sebuah mekanisme audit filosofis yang sangat penting dalam investasi sosial. Jika sebuah program investasi sosial—misalnya, pembangunan infrastruktur—gagal memperhitungkan dampak lingkungan atau peningkatan modal sosialnya, SLA akan menilai bahwa investasi tersebut belum mencapai keberlanjutan mata pencaharian yang sejati, melampaui metrik PDB atau pendapatan standar semata. Kebijakan perdagangan dan pajak juga harus dirancang untuk mendukung kebutuhan lokal, mendorong produksi dan konsumsi berkelanjutan, serta memprioritaskan teknologi sumber daya terbarukan.3

Prinsip lain yang menonjol adalah kebutuhan untuk menghasilkan hasil sosial (social returns) selain hasil ekonomi, serta menghargai kontribusi dan aktivitas yang tidak dimonetisasi.3 Ini memastikan bahwa nilai jaringan sosial, pengetahuan lokal, dan layanan lingkungan dimasukkan dalam kerangka keberhasilan program.

 

1.3. Kerangka Kerja Mata Pencaharian Berkelanjutan (Sustainable Livelihoods Framework – SLF)

SLF berfungsi sebagai alat visual dan analitis untuk memahami bagaimana masyarakat menghasilkan mata pencaharian mereka. Kerangka ini memvisualisasikan rumah tangga atau komunitas yang beroperasi dalam Konteks Kerentanan (Vulnerability Context).2 Konteks Kerentanan mencakup faktor-faktor eksternal yang tidak dapat dikendalikan secara langsung oleh rumah tangga, seperti guncangan (shocks), tekanan (stresses), dan musiman (seasonality).4 Oleh karena itu, analisis kerentanan, seperti penilaian dampak iklim pada sistem produksi agro-pastoral, wajib dilakukan sebagai bagian dari perencanaan program awal.5

SLF kemudian menghubungkan konteks kerentanan ini dengan akses masyarakat terhadap aset atau faktor tertentu, yang memungkinkan mereka untuk mengurangi kerentanan dan memperkuat ketahanan.2 Akses terhadap aset ini dimediasi oleh Struktur dan Proses Transformasi (Transforming Structures and Processes). Struktur ini—yang meliputi institusi formal dan informal, kebijakan, dan proses pengambilan keputusan—dapat membatasi (constrain) atau meningkatkan (enhance) peluang mata pencaharian. SLA dengan demikian secara efektif menghubungkan realitas mikro-masyarakat dengan lingkungan makro yang memfasilitasi.1

 

II. SLA sebagai Kerangka Kerja Utama untuk Investasi Sosial

Investasi sosial yang efektif memerlukan kerangka yang multidimensi untuk memastikan dana yang diinvestasikan menghasilkan dampak yang berkelanjutan. SLA, dengan fokusnya pada Lima Modal (The Five Capitals), menawarkan landasan yang kuat untuk desain investasi sosial.

 

2.1. Analisis Komprehensif Lima Jenis Modal (The Five Capitals / Asset Pentagon)

Inti dari SLA adalah Pentagon Aset, yang berfungsi sebagai blok bangunan (livelihood building blocks) bagi mata pencaharian.7 Pentagon ini memvisualisasikan tingkat akses masyarakat terhadap modal yang berbeda, dan variasi dalam bentuk pentagon menunjukkan kebutuhan investasi yang spesifik.7

Lima jenis modal tersebut adalah:

  1. Modal Manusia (Human Capital): Meliputi sumber daya yang diwujudkan dalam individu, seperti kesehatan, gizi, tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan, kapasitas kerja, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan.1
  2. Modal Sosial (Social Capital): Merujuk pada jaringan dan koneksi (misalnya, kekerabatan, patronase, lingkungan), relasi kepercayaan, kelompok formal dan informal, nilai dan perilaku bersama, serta mekanisme partisipasi dalam pengambilan keputusan lokal.1 Penting untuk dicatat bahwa modal sosial adalah salah satu aset yang menimbulkan tantangan metodologis terbesar karena sulit untuk diukur dan dibandingkan secara standar.7
  3. Modal Alam (Natural Capital): Meliputi sumber daya lingkungan yang disediakan alam, seperti tanah dan produknya, air, sumber daya akuatik, produk hutan, keanekaragaman hayati, dan layanan lingkungan.1 Peningkatan keamanan dan kepastian hukum atas kepemilikan tanah (
    tenure security) secara langsung berkontribusi pada penguatan modal alam.2
  4. Modal Fisik (Physical Capital): Mencakup infrastruktur dasar (transportasi, jalan, komunikasi, energi, sanitasi, dan perumahan aman) serta alat dan teknologi produksi (peralatan, benih, pupuk).1
  5. Modal Finansial (Financial Capital): Meliputi sumber daya keuangan seperti tabungan, akses kredit dan utang (formal dan informal), remitansi, dan upah. Modal finansial seringkali merupakan aset yang paling sulit diakses oleh masyarakat miskin.1

 

2.2. Interaksi Aset dan Peran Sentralnya dalam Investasi Sosial

Program investasi sosial yang sukses harus memanfaatkan interdependensi antar aset. SLA secara tegas menunjukkan bahwa aset saling terkait dalam hubungan yang kompleks, seringkali melalui sinergi atau trade-off.7 Sebagai contoh, jika seseorang memiliki akses yang aman ke lahan (Modal Alam), ia dapat menggunakan lahan tersebut sebagai jaminan (collateral) untuk mendapatkan pinjaman (Modal Finansial). Pinjaman ini kemudian dapat diinvestasikan untuk meningkatkan produktivitas aset fisik, yang menunjukkan bagaimana satu jenis modal dapat menghasilkan manfaat ganda atau memperkuat jenis modal lainnya.2

Pentagon Aset digunakan sebagai fokus utama untuk perdebatan perencanaan, membantu para praktisi mengidentifikasi entry points (titik masuk intervensi) yang paling efektif, sambil mempertimbangkan trade-off yang mungkin timbul antara berbagai aset.7 Visualisasi pentagon membantu manajer program melihat defisit aset terparah, memungkinkan investasi sosial yang terarah dan sinergis.10  Dalam konteks Investasi Sosial, kerangka SLA menyediakan alat justifikasi strategis yang vital. Studi kasus menunjukkan bahwa skema mikrokredit tradisional yang bersifat ‘memberi dan melupakan’ (give and forget) sering menghadapi masalah keberlanjutan.11 SLA dapat digunakan untuk merevisi skema kredit. Analisis SLA menunjukkan bahwa kredit harus ditargetkan secara eksplisit untuk tujuan yang secara nyata dapat meningkatkan mata pencaharian rumah tangga.11 Proses analisis berbasis bukti ini, yang menghubungkan investasi (kredit) dengan peningkatan aset yang terstruktur, memberikan kredibilitas yang tinggi di mata badan donor internasional yang menuntut intervensi berbasis bukti.11 SLA, oleh karena itu, tidak hanya menjadi alat perencanaan internal, tetapi juga alat penting untuk penguatan tata kelola program dan legitimasi pendanaan eksternal.

 

2.3. Integrasi SLA dalam Perancangan Program Investasi Sosial Multilevel

Karena SLA bersifat multilevel, program investasi sosial harus dirancang untuk secara eksplisit menghubungkan tindakan di tingkat rumah tangga (mikro) dengan kerangka kebijakan yang lebih luas (makro).1 Program harus mendefinisikan kelompok sasaran mereka dan menunjukkan dampak yang diharapkan terhadap kemiskinan dan perubahan distribusi pendapatan.12

Penggunaan SLA memastikan program investasi sosial bersifat dinamis, adaptif, dan memerlukan kemitraan yang kuat antara sektor publik dan swasta. Hal ini juga mendorong kontrol lokal terhadap sumber daya, sejalan dengan prinsip-prinsip ekonomi SLA yang mendukung pemenuhan kebutuhan lokal.1

 

 

III. Aplikasi SLA dalam Perencanaan dan Desain Program

Penerapan SLA dalam perencanaan program investasi sosial melibatkan serangkaian langkah metodologis yang berfokus pada pemahaman mendalam tentang kebutuhan masyarakat dan konteks kerentanan mereka.

 

3.1. Metodologi Analisis Kebutuhan Berbasis SLA (Needs Assessment)

Proses aplikasi SLA harus bersifat partisipatif dan membutuhkan fasilitasi yang baik.1 Metode seperti Participatory Rural Appraisal (PRA) sering digunakan, bahkan teknik inovatif seperti Appreciative Inquiry dapat diterapkan untuk memaksimalkan pandangan positif masyarakat dan menghindari pendekatan yang berfokus pada masalah semata.1

Langkah awalnya melibatkan analisis aset dan kerentanan. Hal ini dilakukan melalui survei individu dan Focus Group Discussion (FGD).5 Survei mencakup pertanyaan terperinci mengenai kelima modal SLA.5 FGD, yang melibatkan pemerintah lokal, asosiasi, dan pihak terkait, digunakan untuk menilai dampak konteks kerentanan, misalnya, bagaimana faktor iklim memengaruhi sistem produksi agro-pastoral.5 Hasil analisis aset ini kemudian dikuantifikasi. Dalam studi tertentu, kriteria dikembangkan di bawah setiap kategori modal, yang kemudian dievaluasi menggunakan skala berbasis poin (misalnya, satu hingga tiga poin).5 Data ini kemudian divisualisasikan menggunakan Pentagon Aset. Bentuk spesifik dari pentagon yang dihasilkan secara visual menunjukkan variasi akses masyarakat terhadap aset, dengan pusat mewakili akses nol. Visualisasi ini menjadi panduan penting dalam menentukan di mana kebutuhan investasi paling mendesak.7

 

3.2. Perencanaan Strategis dan Penentuan Strategi Mata Pencaharian

Portofolio aset rumah tangga yang teridentifikasi memberikan indikasi jenis strategi mata pencaharian yang saat ini dipraktikkan.5 Berdasarkan pemahaman ini, perencanaan intervensi dirancang untuk meningkatkan kapabilitas dan mendiversifikasi arus pendapatan, sehingga memperkuat ketahanan.11 Analisis mata pencaharian harus dilihat sebagai bagian intrinsik dari program, bukan hanya sebagai tahap awal yang terpisah.10

Meskipun SLA telah menjadi pendekatan yang dominan bagi banyak lembaga internasional sejak tahun 1990-an 11, terdapat risiko signifikan dalam penerapannya. Salah satu kritik utama adalah bahwa banyak studi hanya menggunakan SLA sebagai daftar periksa (check-list) aset.6 Praktik ini gagal menghubungkan secara dinamis kelima modal dengan Transforming Structures and Processes dan Vulnerability Context, sehingga menghilangkan nilai analitis inti dari kerangka kerja ini.6 Oleh karena itu, perencanaan harus secara tegas menghindari fokus sektoral yang sempit, sebaliknya mencari titik masuk berganda yang selaras dengan pandangan para pemangku kepentingan.1

Pengalaman implementasi menunjukkan kompleksitas antara analisis SLA dan pengambilan keputusan. Dalam kasus revisi skema mikrokredit, evolusi program baru dapat terjadi secara paralel dengan analisis SLA, bukan setelahnya.11 Hal ini menunjukkan bahwa keputusan strategis (misalnya, kebutuhan untuk menargetkan kredit secara lebih spesifik) terkadang sudah ada berdasarkan pengetahuan lokal yang luas (organisasi pelaksana memiliki pengalaman lebih dari 30 tahun).11 Dalam skenario ini, SLA berfungsi sebagai alat untuk memvalidasi intuisi berbasis pengalaman dengan bukti yang terstruktur, sekaligus menyediakan dasar yang kredibel untuk mendapatkan dukungan dari lembaga donor.11 SLA bertindak sebagai kerangka evidence-based untuk intervensi yang dirancang secara logis.

 

3.3. Integrasi SLA dalam Siklus Perencanaan Program Investasi Sosial

Tabel di bawah ini menguraikan peran SLA di setiap fase program investasi sosial, menekankan pergeseran dari diagnosis hingga desain intervensi.

Table 1: Integrasi SLA dalam Siklus Perencanaan Program Investasi Sosial

Fase Program Fokus Analisis SLA Tujuan dalam Program Alat Analisis Kunci
Diagnosis Awal (Needs Assessment) Menentukan portofolio aset (5 Capitals) dan tingkat kerentanan. Mengidentifikasi defisit modal kritis dan faktor eksternal (shocks) utama. Survei 5 Modal, Pembuatan Asset Pentagon (Kuantifikasi skor), FGD Partisipatif.5
Desain Intervensi Mengidentifikasi entry points sinergis dan strategi diversifikasi livelihood. Merancang investasi multidimensi (non-sektoral) untuk meningkatkan ketahanan. Analisis interdependensi antar modal 7, Pemodelan trade-off aset.
Implementasi dan Aksi Memfasilitasi partisipasi dan penguatan kapasitas (Human/Social Capital). Memastikan program people-centered dan adaptif terhadap perubahan konteks kerentanan. Mekanisme feedback berkelanjutan, Penggunaan teknologi yang tepat (appropriate technology).3

 

IV. Mekanisme Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Livelihood (M&E)

Evaluasi program investasi sosial yang menggunakan SLA harus melampaui pelacakan output (misalnya, jumlah kredit yang diberikan) dan fokus pada pengukuran hasil livelihood jangka panjang (keberlanjutan dan ketahanan).

 

4.1. Tujuan Evaluasi Berbasis SLA: Mengukur Perubahan Kapabilitas dan Ketahanan

M&E dalam kerangka SLA harus menilai kontribusi intervensi yang ada terhadap keberlanjutan mata pencaharian.1 Pengukuran harus berfokus pada kemampuan rumah tangga untuk mempertahankan atau meningkatkan kapabilitas dan aset, serta seberapa cepat mereka dapat pulih dari guncangan.2

Contoh spesifik dapat ditemukan dalam program administrasi lahan. Kerangka evaluasi rumah tangga didasarkan pada SLA untuk menilai efek peningkatan keamanan dan kepastian hukum kepemilikan (security and legal certainty of tenure).2 Peningkatan kepastian tenurial dianggap memperkuat kelima modal dan, pada gilirannya, meningkatkan ketahanan.2 Dengan kepastian tenurial yang lebih besar, keluarga dapat membuat keputusan yang lebih tepat tentang aset mereka, seperti berinvestasi untuk membuat modal mereka lebih produktif, mengurangi sengketa lokal, dan memperkuat keterlibatan dalam pengambilan keputusan.2

 

4.2. Tantangan dan Metodologi Kuantifikasi Aset

Meskipun SLA menekankan pentingnya aset, ada kesulitan yang diakui dalam pengukuran. Secara umum, para ahli tidak menyarankan untuk mencoba mengukur semua aset atau mengembangkan mata uang umum yang memungkinkan perbandingan langsung antara semua jenis modal.7 Modal sosial, khususnya, sulit untuk diukur dan dibandingkan karena sifatnya yang kualitatif dan terikat konteks.9

Namun, pengembangan indikator spesifik yang dapat diukur untuk setiap modal sangat mungkin dilakukan.7 Beberapa metodologi kuantifikasi lanjutan telah dikembangkan:

  1. Skoring Berbasis Poin (Point-based values): Metode ini, seringkali dipandu oleh pedoman lembaga pembangunan, menetapkan nilai numerik pada setiap modal.13 Skor mean per wilayah dapat dicatat dan divisualisasikan dalam pentagon aset.5
  2. Teknik TOPSIS (Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution): Teknik multi-kriteria ini digunakan untuk membangun model evaluasi holistik keberlanjutan mata pencaharian rumah tangga. TOPSIS memungkinkan program untuk menghasilkan skor keberlanjutan tunggal (misalnya, 0,43 untuk tingkat keberlanjutan menengah) yang mencakup semua modal dan faktor yang memengaruhinya.14
  3. Analisis Ekonometrik: Untuk mengukur dampak kausal investasi sosial terhadap kesejahteraan dan modal rumah tangga, dapat diterapkan kerangka ekonometrik yang didasarkan pada metodologi yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga seperti Bank Dunia.2

Karena SLA menuntut akuntansi biaya penuh (termasuk biaya sosial dan lingkungan) dan evaluasi multilevel, M&E yang efektif tidak dapat bergantung pada alat tunggal. Evaluasi harus mengadopsi pendekatan campuran (mixed methods). Analisis kualitatif (FGD/PRA) sangat penting untuk mengidentifikasi konteks kerentanan, guncangan, dan trade-off aset. Kuantifikasi aset (melalui skoring pentagonal) memberikan data input terstruktur. Akhirnya, analisis lanjutan seperti TOPSIS atau ekonometrik mengukur outcome keberlanjutan dan dampaknya terhadap pendapatan riil.2 Struktur pengukuran yang kompleks dan berlapis ini diperlukan untuk mencerminkan sifat SLA yang dinamis dan multi-dimensi.1

 

4.3. Indikator Kinerja dan Pengukuran Hasil (Livelihood Outcomes)

Evaluasi harus fokus pada indikator yang spesifik untuk setiap jenis modal, seperti yang diuraikan dalam tabel di bawah ini.

Table 2: Indikator Kunci untuk Pengukuran Aset dan Hasil Livelihood dalam Evaluasi Program

Kategori Modal/Hasil Aspek yang Diukur Contoh Indikator Kuantitatif/Kualitatif Referensi Data
Human Capital Kapasitas, Kesehatan, Pendidikan Tingkat pendidikan, Akses terhadap layanan kesehatan, Tingkat partisipasi pelatihan teknis, Kapasitas untuk beradaptasi.1 Survei rumah tangga.
Social Capital Jaringan, Kepercayaan, Partisipasi Jumlah keanggotaan kelompok (formal/informal), Mekanisme partisipasi pengambilan keputusan, Skor kepercayaan, Kapasitas pengurus desa.1 FGD, Analisis Jaringan Sosial.
Natural Capital Akses dan Kualitas Sumber Daya Akses aman ke lahan, Produktivitas lahan (misalnya rangeland productivity), Kualitas air, Komposisi spesies.1 Survei sumber daya alam, Data tenurial.2
Physical Capital Infrastruktur, Alat, Teknologi Akses jalan/transportasi, Ketersediaan komunikasi, Kepemilikan alat produksi (benih, pupuk, alat), Kapasitas/aksesibilitas lumbung biji-bijian.1 Survei infrastruktur, Inventarisasi aset.
Financial Capital Keamanan Finansial, Akses Kredit Tingkat tabungan, Akses ke kredit formal/informal, Upah/Remitansi, Pengeluaran rumah tangga.1 Laporan keuangan mikro, Analisis ekonometrik.
Livelihood Outcomes Keberlanjutan dan Ketahanan Skor Keberlanjutan Livelihood (TOPSIS Score), Waktu pemulihan dari guncangan (shocks), Perubahan distribusi pendapatan.12 Evaluasi dampak, Analisis Time-Series.

 

V. Tinjauan Kritis dan Rekomendasi Strategis

Meskipun SLA adalah kerangka kerja yang logis dan kuat untuk intervensi berbasis bukti 11, penerapannya dalam program investasi sosial menghadapi tantangan praktis yang signifikan.

 

5.1. Tantangan Implementasi Praktis SLA

Salah satu tantangan terbesar adalah kompleksitas, waktu, dan biaya yang dibutuhkan untuk menerapkan SLA secara komprehensif. Studi kasus menunjukkan bahwa analisis mendalam dapat memakan waktu hingga dua tahun.11 Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kelayakan SLA sebagai basis intervensi praktis, terutama bagi organisasi yang beroperasi dengan sumber daya terbatas, meskipun ada keraguan bahwa pendekatan yang lebih cepat (quick and dirty) akan berhasil.11

Risiko operasional lainnya adalah kecenderungan para praktisi untuk menyederhanakan SLA menjadi sekadar daftar periksa aset statis.6 Ketika SLA tidak secara dinamis mengaitkan modal dengan konteks kerentanan, kebijakan, dan proses transformasi, kerangka ini kehilangan kemampuan analitisnya untuk merancang intervensi yang benar-benar transformatif.6

Secara filosofis, SLA telah dikritik karena mewujudkan dorongan pembangunan teknokratis, yang muncul dari lembaga donor. Hal ini berpotensi bertentangan dengan prinsip, etos, dan praktik pengembangan komunitas berbasis lokal yang mengutamakan otonomi dan nilai-nilai lokal.16

 

5.2. Rekomendasi Strategis untuk Integrasi SLA yang Efektif dalam SIP

Untuk memaksimalkan efektivitas SLA dalam program investasi sosial, diperlukan perubahan dalam praktik perencanaan dan pelaksanaan:

  1. Prioritaskan Analisis Livelihood: Desain intervensi harus secara ketat didasarkan pada hasil analisis livelihood yang sudah selesai. Hal ini mencegah program terbatasi oleh keputusan pendanaan atau fokus sektoral yang telah ditetapkan sebelumnya.11 SLA harus menjadi alat utama untuk desain, bukan hanya alat pelengkap untuk memvalidasi kebijakan yang sudah ada.
  2. Adopsi Pendekatan Konteks-Spesifik: SLA secara eksplisit menyerukan jenis penilaian kebijakan baru yang beralih dari resep universal ke pendekatan spesifik konteks, yang memungkinkan perspektif lokal alternatif terungkap dalam kerangka kebijakan.1 Program investasi harus bersifat responsif terhadap kekhasan lokal.
  3. Investasi dalam Kapasitas Fasilitasi Multi-Dimensi: Mengingat sifat proses SLA yang partisipatif dan multi-dimensi 13, investasi signifikan harus diarahkan pada peningkatan kapasitas fasilitator program. Fasilitator harus mampu menghubungkan data mikro-level (portofolio aset rumah tangga) dengan kerangka kebijakan makro.1

 

Kegagalan yang sering terjadi dalam penerapan SLA adalah ketidakmampuan untuk menjembatani kesenjangan antara analisis mikro-level dan kerangka kebijakan makro. Program investasi sosial yang berfokus pada reformasi institusional, seperti administrasi lahan, harus secara eksplisit mendefinisikan dan mengukur bagaimana perubahan institusional (misalnya, peningkatan legalitas tenurial) secara kausal diterjemahkan menjadi peningkatan aset yang nyata di tingkat rumah tangga (seperti kemampuan berinvestasi yang lebih tinggi dan pengurangan sengketa lokal).2 SLA menyediakan bahasa analitis yang diperlukan untuk mengartikulasikan dan membuktikan rantai kausalitas ini, memastikan bahwa investasi sosial benar-benar menghasilkan hasil mata pencaharian yang berkelanjutan dan ketahanan jangka panjang.

 

Karya yang dikutip

  1. The Sustainable Livelihoods Approach – Asian Development Bank, diakses September 28, 2025, https://www.adb.org/sites/default/files/publication/27638/sustainable-livelihoods-approach.pdf
  2. Sustainable livelihoods: analysis at household level – Food and …, diakses September 28, 2025, https://www.fao.org/in-action/herramienta-administracion-tierras/module-1/proposed-methodology/sustainable-livelihoods/en/
  3. PRINCIPLES OF SUSTAINABLE LIVELIHOODS – David Korten, diakses September 28, 2025, https://davidkorten.org/princsl/
  4. Investigation of Livelihoods Asset Pentagon: The SLF Core | Request PDF – ResearchGate, diakses September 28, 2025, https://www.researchgate.net/publication/361443258_Investigation_of_Livelihoods_Asset_Pentagon_The_SLF_Core
  5. Application of Sustainable Livelihood Approach (SLA) to Address …, diakses September 28, 2025, https://www.mdpi.com/2225-1154/11/3/65
  6. effectiveness of the sla for understanding access to natural resource issues and for developing strategies to target these – Food and Agriculture Organization of the United Nations, diakses September 28, 2025, https://www.fao.org/4/ad683e/ad683e05.htm
  7. SUSTAINABLE LIVELIHOODS GUIDANCE SHEETS FRAMEWORK INTRODUCTION 2.1 – World Fisheries Trust, diakses September 28, 2025, https://worldfish.org/GCI/gci_assets_moz/Livelihood%20Approach%20-%20DFID.pdf
  8. The five capitals considered in the sustainable livelihood approach. – ResearchGate, diakses September 28, 2025, https://www.researchgate.net/figure/The-five-capitals-considered-in-the-sustainable-livelihood-approach_fig1_264372680
  9. THE SUSTAINABLE LIVELIHOODS APPROACH – Humanitarian Library |, diakses September 28, 2025, https://www.humanitarianlibrary.org/sites/default/files/2014/02/SLA_Gamper_Kollmair.pdf
  10. chapter 1: the sustainable livelihoods approach, diakses September 28, 2025, https://www.fao.org/4/ad682e/ad682e04.htm
  11. Sustainable Livelihood Approach: A critical analysis of theory and …, diakses September 28, 2025, https://www.reading.ac.uk/ges/-/media/project/uor-main/schools-departments/ges/geographical-papers/gp189-sustainable-livelihood.pdf?la=en&hash=0130BAB348A4FB3E0BAE2450BE83AD26
  12. The Sustainable Livelihood Approach to Poverty Reduction | CommDev, diakses September 28, 2025, https://commdev.org/wp-content/uploads/pdf/publications/The-Sustainable-Livelihood-Approach-to-Poverty-Reduction-SIDA.pdf
  13. GUIDANCE NOTE – Application of the Sustainable Livelihoods Framework in Development Projects, diakses September 28, 2025, https://files.acquia.undp.org/public/migration/latinamerica/UNDP_RBLAC_Livelihoods-Guidance-Note_EN-210July2017.pdf
  14. Sustainable Livelihood Evaluation and Influencing Factors of Rural Households: A Case Study of Beijing Ecological Conservation Areas – MDPI, diakses September 28, 2025, https://www.mdpi.com/2071-1050/15/13/10743
  15. Sustainable livelihood approach for assessing community resilience to climate change – START.org, diakses September 28, 2025, http://www.start.org/Projects/AIACC_Project/working_papers/Working%20Papers/AIACC_WP_No017.pdf
  16. Community development in sustainable livelihoods approaches – an introduction, diakses September 28, 2025, http://starr.tamu.edu/files/2013/01/03_Brocklesby-et.pdf