Yang Bukan-bukan dalam CSR
Wacana dan Praktik CSR Mutakhir serta Konsekuensinya untuk Perusahaan
Jalal Chairperson of Advisory Board Social Investment Indonesia
“There is one and only one social purpose of business . . . to increase profits so long as it stays within the rules of the game.” – Milton Friedman
“The purpose of business is to produce profitable solutions to the problems of people and planet, and not to profit from producing problems for people and planet.” – Colin Mayer
CSR adalah tanggung jawab perusahaan atas dampak negatif maupun positifnya. Dampak tersebut ditimbulkan oleh keputusan dan tindakan perusahaan terhadap masyarakat (dalam pengertian luas) dan lingkungan. Makna tanggung jawab sendiri mencakup pengertian aktif yaitu melaksanakan pengelolaan dampak, juga pengertian menanggung akuntabilitas atas hasil pengelolaan tersebut. CSR bukan soal donasi perusahaan.
Cakupan dampak itu mencakup dampak terhadap HAM, ketenagakerjaan, lingkungan, praktik operasi yang adil, konsumen, serta pelibatan dan pengembangan masyarakat—sebagaimana yang dinyatakan dalam ISO 26000. Perusahaan tak bisa memilih sebagian saja, melainkan harus mengelola keseluruhannya, untuk benar-benar bisa bertanggung jawab sosial. CSR bukan pula sinonim pengembangan masyarakat.
Cara perusahaan bertanggung jawab atas dampak negatif adalah dengan memetakan seluruh potensi dampak, menghindari, meminimumkan, merestorasi, dan mengompensasinya—dan dalam urutan yang demikian. Cara perusahaan bertanggung jawab atas dampak positif adalah dengan memetakan seluruh potensi dampak, lalu memaksimumkannya. CSR bukan soal pamer ‘dampak’ positif.
Dengan logika yang demikian, perusahaan seharusnya menjadikan dampak positifnya maksimal, dan jauh melampaui dampak negatifnya (yang minimal, atau bahkan tidak ada). Dampak bersih perusahaan, yaitu dampak positif dikurangi dampak negatif, harus dihitung dengan hati-hati dan transparen. Perusahaan yang bisa menunjukkan dampak bersihnya positif disebut Paul Polman dan Andrew Winston, sebagai perusahaan net positive. CSR bukannya menyembunyikan dampak negatif.
Tanggung jawab sosial itu bertujuan berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan, yang pada konteks sekarang berarti SDGs. Oleh karena itu, setidaknya hingga 2030, tujuan perusahaan ber-CSR adalah membantu seluruh pemangku kepentingan lokal, nasional, dan global untuk mencapai SDGs. CSR bukan bertujuan utama meningkatkan, apalagi memaksimalkan, keuntungan.
Kontribusi tersebut terwujud dalam tiga ranah: bisnis inti, investasi sosial, dan advokasi kebijakan publik yang seluruhnya harus sesuai dengan SDGs. Lagi-lagi, perusahaan tidak bisa memilih sebagiannya saja untuk bisa membuat dirinya benar-benar berkontribusi terhadap SDGs. Perhitungan dampak positif dan negatif perusahaan juga mencakup ketiga ranah tersebut. Ketiga ranah itu diajukan oleh Jane Nelson. CSR bukan memilih ranah intervensi yang mudah, melainkan seluruh yang diperlukan untuk mencapai keberlanjutan.
Perusahaan perlu memetakan dampaknya terhadap setiap Tujuan SDGs, baik yang positif maupun negatif, membuat prioritisasi pengelolaan pada Tujuan-tujuan paling material, menentukan bentuk intervensi paling tepat, mengeksekusi bentuk-bentuk intervensi itu, memonitor dan mengevaluasi hasilnya dengan Target dan Indikator SDGs yang sesuai, serta melaporkan kinerjanya—dalam bentuk hasil langsung, hasil ikutan, dan dampak. CSR bukan box ticking Tujuan SDGs atau pameran stiker SDGs.
Apabila perusahaan melaksanakan hal tersebut, maka peluang bagi perusahaan untuk memeroleh keuntungan lebih tinggi dalam jangka panjang akan meningkat, karena setiap pemangku kepentingan akan melihat perusahaan benar-benar membawa manfaat kepada mereka masing-masing. Pemangku kepentingan yang puas terhadap kinerja perusahaan akan cenderung membalas secara resiprokal, yang mewujud dalam berbagai bentuk dukungan. CSR bukan untuk membeli dukungan atau memanipulasi pemangku kepentingan.
Manfaat bagi seluruh pemangku kepentingan itulah yang sebetulnya merupakan makna dari value. Perusahaan yang membawa manfaat kepada seluruh pemangku kepentingan itu disebut melakukan value creation. Alternatifnya, perusahaan hanya melakukan value extraction, bahkan value destruction. Pembedaan ini diajukan oleh Mariana Mazzucato. CSR bukan cara untuk melakukan value extraction apalagi menutupi value destruction.
Bila perusahaan hanya mendapatkan keuntungan lewat cara-cara yang meningkatkan manfaat bagi seluruh pemangku kepentingan, maka perusahaan itu menerapkan apa yang disebut—di antaranya oleh Edward Freeman dan Klaus Schwab—sebagai kapitalisme pemangku kepentingan. Perusahaan yang demikian tidak akan mengorbankan pemangku kepentingan lainnya untuk mendapatkan keuntungan bagi pemilik modalnya. Namun demikian, perbedaan besaran manfaat dan trade-off dalam jangka pendek pasti terjadi. CSR bukan mengabdi pada kepentingan pemilik modal, atau sebagian pemangku kepentingan saja.
Alex Edmans mengubungkan antara profitabilitas dengan tujuan mulia (purpose) perusahaan, lewat penjelasan pieconomics. Purpose, menurut Edmans, adalah jawaban atas pertanyaan bagaimana dunia menjadi lebih baik dengan kehadiran dan operasi perusahaan. Untuk bisa mencapainya, perusahaan perlu mengetahui apa saja masalah yang dihadapi oleh masyarakat, di antara masalah itu apa yang bisa dipecahkan oleh kompetensi inti perusahaan, dan bagaimana perusahaan bisa memobilisasi dukungan pemangku kepentingan untuk mencapai purpose itu. Sikap yang sama dinyatakan oleh Colin Mayer. CSR bukan berarti menerima saja tujuan perusahaan, melainkan memerbaikinya bila perlu.
Apa yang diajukan oleh Edmans itu membuat perusahaan berubah dari sekadar pengelolaan dampak secara defensif, menjadi sengaja memecahkan masalah atau ofensif. Pemecahan masalah yang tepat, dengan model bisnis yang tepat, adalah sumber keuntungan perusahaan dalam jangka panjang. Namun, keuntungan seperti itu hanya bisa dicapai bila perusahaan bersungguh-sungguh mengupayakan pencapaian purpose-nya. Hal ini misalnya dikemukakan oleh Hubert Joly dan Ranjay Gulati. CSR bukan sekadar mengelola dampak secara pasif atau defensif.
Upaya agar CSR mendatangkan keuntungan bagi perusahaan (CSR strategis) sebelumnya sudah banyak diajukan oleh para pakar. Perubahan dalam sikap pemangku kepentingan eksternal, terutama konsumen, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga jasa keuangan telah membuat kinerja perusahaan—baik secara objektif maupun perseptif—dalam mengelola dampak sosial dan lingkungannya menjadi salah satu penentu kinerja ekonomi perusahaan. Kinerja CSR yang tinggi cenderung mendorong kinerja finansial yang tinggi pula. Pada strategi tertentu, seperti CSV, keuntungan bisa diperoleh dalam waktu relatif singkat. CSR bukannya tidak bisa langsung mendatangkan keuntungan—ada bermacam strategi yang bisa dimanfaatkan untuk itu.
Perubahan sikap investor dan lembaga jasa keuangan yang makin memerhatikan aspek-aspek lingkungan, sosial dan tata kelola (environmental, social, and governance, disingkat ESG) yang material terhadap kinerja finansial membuat perhatian banyak bergeser dari pengelolaan dampak yang ditimbulkannya ke pengelolaan isu-isu yang dianggap material terhadap keuntungnnya. Walaupun tampak mengelola isu-isu yang sebutannya sama, namun perkembangan ESG tidak membuat dampak perusahaan atas masyarakat dan lingkungan terkelola secara optimal, bahkan bisa sebaliknya. CSR bukannya digantikan oleh ESG—hubungannya tidak sederhana.
Bagaimanapun, pembicaraan tentang CSR akan jauh lebih bermakna bagi perusahaan dan pemangku kepentingannya bila dimulai dari pertanyaan: apa sesungguhnya tujuan perusahaan itu? Pembicaraan ini bisa menyatukan antara CSR dengan ESG. Untuk perusahaan yang sudah menemukan purpose-nya—yang jauh lebih dalam dibandingkan sekadar meningkatkan keuntungan bagi pemilik modal—CSR menjadi satu-satunya jalan bisnis agar perusahaan bisa dan pantas mendapatkan keuntungan. CSR bukan berhenti di level projek, program dan strategi.
Pertanyaan di ujung tulisan ini adalah apakah perusahaan dengan purpose yang benar, dan CSR yang bersifat net positive akan menjamin perusahaan menjadi berkelanjutan? Dalam pengertian sempit dan berjangka pendek hingga menengah, tentu demikian. Namun, keberlanjutan dalam jangka panjang akan ditentukan di level sistem. Mustahil perusahaan berkelanjutan dalam sistem yang tidak berkelanjutan. Dengan demikian, kalau mau benar-benar berkelanjutan, perusahaan memiliki CSR yang sangat menantang: melakukan advokasi dan berkolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan untuk mewujudkan keberlanjutan di level sistem. CSR bukan juga berhenti di wilayah organisasi dan pemangku kepentingan terdekatnya, melainkan mengupayakan perubahan sistemik.
Untuk bisa melakukan perubahan sistemik, perusahaan perlu untuk mengubah cara pandang tentang dirinya dan keberlanjutan. John Elkington menjelaskan bahwa kalau dalam model shareholder value perusahaan melihat dirinya lebih penting daripada masyarakat dan lingkungan, lalu pada model shared value perusahaan melihat dirinya setara dan berkelindan dengan kepentingan masyarakat dan lingkungan, dalam system value perusahaan perlu melihat dirinya sebagai bagian dari masyarakat dan lingkungan dan mengabdi pada tujuan menciptakan masa depan yang flourishing. Dahulu, konsep Triple Bottom Line (TBL) mengacu kepada shared value, namun sejak 2018 Elkington menegaskan bahwa TBL itu menganut system value. CSR bukanlah konsep yang mati, sehingga perusahaan serta pemangku kepentingannya selalu perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan terbaru.
Tulisan ini dibuat sebagai pemantik diskusi pada acara Social Investment Roundtable Discussion ke-32 (SIRD #32) yang diselenggarakan oleh Social Investment Indonesia pada tanggal 11 Maret 2022.
Tinggalkan Balasan