← Seluruh ,

Daftar Isi

Di tengah maraknya penerapan Social License to Operate (SLO) oleh perusahaan, minimnya referensi yang praktis dan aplikatif menjadi hambatan bagi para praktisi, penggiat keberlanjutan yang baru akan terjun ke dunia SLO dan peneliti lapangan. Buku “Unboxing Social License to Operate (SLO)” hadir untuk menjawab kebutuhan tersebut dengan menghadirkan perspektif multi-stakeholder dan studi kasus yang beragam. Juga tentang adakah relevansi antara Corporate Social Responsibility atau CSR dengan SLO itu sendiri?

Tentang Buku : Unboxing Social License to Operate

Buku ini menyampaikan pengalaman lapangan saat konflik, keluhan, aksi sepihak dari pemangku kepentingan yang berimplikasi pada munculnya dampak tidak baik. Interaksi Penulis (Bapak Ditto Santoso Selaku Praktisi CSR dan Penulis Buku ini) dengan relasinya pada external dan CSR manager di perusahaan banyak berbicara bagaimana mereka menghadapi fenomen dan pengalaman dalam SLO

Dampak dari SLO yang tidak berjalan secara optimal

  1. Tidak terjadinya penerimaan sosial karena tidak berhasilnya beberapa kegiatan, seperti praktik stakeholder engagement minim dilaksanakan, yang berakibat penerimaan social benefit yang minim untuk stakeholder
  2. Dampak operasional perusahaan yang minim dikelola mengakibatkan banyaknya konflik, grievance, aksi sepihak, hingga blokade/portal jalan utama
Akibatnya modal yang harusnya digunakan untuk peningkatan produktivitas habis untuk memadamkan konflik. Tentu dampak kelanjutannya seperti aksi sepihak, gangguan Operasional, jatuhnya reputasi, hilangnya kepercayaan dan penurunan daya saing juga sulit untuk dihindari Salah satu hasil penelitian Ernst & Young mengindikasikan bahwa License to Operate merupakan hal paling krusial dan beresiko dalam isu sustainable untuk perusahaan tambang. Tidak hanya perusahaan tambang, sektor lain pun memiliki tingkat resiko yang tidak berbeda jauh.

Sejarah Singkat Social License to Operate

Konsep Social License to Operate pertama kali diperkenalkan oleh Jim Cooney pada tahun 1997, selaku petinggi dari perusahaan tambang besar Amerika yaitu Placer Dome, yang dibawakannya pada pertemuan di World Bank. Setelah konsep tersebut muncul ke perumkaan, SLO menjadi sering digunakan pada operasi pertambangan waktu itu, dengan membawa isu bagaimana relasi dengan pemangku kepentingan akan berdampak ke dinamika operasional perusahaan. Banyak Studi kasus dari pertambangan di amerika latin, eropa timur hingga asia. Tidak hanya di pertambangan namun sektor lain seperti kelapa sawit, hutan industri hingga dunia transportasi.

Perlunya pembahasan SLO dengan Multi-perspektif

Untuk menjelaskan secara detil tentang SLO, dan SLO yang baik setidaknya dibutuhkan kolaborasi berbagai pihak dari 3 sektor yang berbeda, Konsultan, Akademisi dan Praktisi. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa terbitan jurnal tentang SLO di Indonesia. Diantaranya Tesis Giwa Giwangkara selaku Community Development Head di ITM Group dan Disertasi dari Noviansyah Manap.
 
Untuk Jurnal paling top yang paling sering dijadikan referensi mengenai SLO adalah buku dari Robert Boutilier, dan Ian Thompson dengan bukunya yang berjudul “Social License : The Story of The San Cristobal Mine” di Amerika Latin.
 
Untuk buku ini, kolaborasi multi-perspektif perlu dilakukan agar menghasilkan kesimpulan yang dapat dilihat dari berbagai kacamata yang berbeda. Kolaborasi dilakukan bersama beberapa expert pada bidang SLO dan yang terkait dengan SLO diantaranya
  • Yuniati Gunawan – Head of Trisakti Sustainability Center
  • Rizal Primahendra – Berasal dari NGO ke Konsultan Perusahaan
  • Ito Ramida Siringoringo – Praktisi Lapangan SLO
  • Jalal – Sustainability Expert dan Chairperson of Advisory Board Social Investment Indonesia
  • Sam August – Sustainable Communication Expert
  • Arifardi Budiarjo – Stakeholder Engagement Manager 
 
Ulasan yang ditulis akan dikolaborasikan dari berbagai macam sudut pandang mulai dari pelaksanaan lapangan, ilmu komunikasi, stakeholder engagement, akademisi, praktisi, dengan berbagai study case di sektor perusahaan yang berbeda dan serta banyak narasi tentang SLO.
 

3 Pilar Social License to Operate

Setidaknya terdapat 3 hal yang perlu diperhatikan dalam struktur SLO. Diawali dengan legitimasi jika di tahap legitimasi kita berhasil maka perusahaan akan memperoleh acceptance dan jika tidak akan terjadi rejection.
 
Setelah terlegitimasi, tahapan selanjutnya haruslah memperoleh kredibilitas, hingga di titik tertinggi adalah Trust untuk memperoleh Social Acceptance. Akhirnya perusahaan akan teridentifikasi secara psikologis, dimana contohnya ketika perusahaan sudah tidak beroperasi maka stakeholder sekitar akan merasa ada hal baik yang hilang.
Tetralogi CSR

Relevansi Social License to Operate (SLO) dengan Corporate Social Responsibility (CSR)

CSR singkatan dari Corporate Social Responsibility, payung besar dari SLO, berdasarkan relevansi CSR dengan SLO yang diambil dari wikipedia tahun 2008 : terdapat 3 Manfaat yang diperoleh dari CSR diantaranya SLO akan termaintain dengan baik, rekrutmen talent yang berpotensi dan bagaimana kita mengelola dampak dari operasional perusahaan.
 
Apakah SLO cukup untuk CSR dalam suatu perusahaan? tentu tidak. CSR cenderung memiliki definisi mengenai social responsibility yang sudah terstandarisasi oleh ISO 26000 yang juga dapat merelevansikan SLO dengan CSR. 2 hal yang perlu digarisbawahi : quality of engagement or relations, dan how to synergize and synchronize the interest of stakeholders
 
Terdapat nasihat dari Edward Freeman seorang Filsuf dan Professor Administrasi Bisnis : Abad ke 21 adalah abadnya mengelola pemangku kepentingan, tugas dari Eksekutif adalah untuk menciptakan nilai sebanyak mungkin bagi stakehilder tanpa melakukan trade-off.

Referensi yang tepat untuk memulai, melihat lebih jauh, dan memahami lebih luas tentang SLO

Banyak Praktisi dan sustainable enthusiast baru yang berbicara tentang SLO namun masih belum tahu darimana asal muasalnya, belum membaca jurnal dan buku khusus tentang SLO.
 
Pentingnya untuk memahami suatu konsep secara menyeluruh, referensi dalam buku ini dikemas secara populer dengan membandingkan antara pemahaman dari pakar dengan apa yang dilakukan di lapangan, ditujukan untuk menjembatani SLO yang ideal yang diidamkan peneliti, dengan realita yang dilakukan di lapangan.