Oleh:
Jalal – Chairperson of Advisory Board Social Investment Indonesia
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2025 tentang PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan), yang baru diundangkan pada tanggal 28 Agustus 2025 lalu, merupakan instrumen kebijakan yang progresif. Regulasi ini dirancang untuk mendorong kinerja lingkungan dan sosial perusahaan di Indonesia agar melampaui sekadar kepatuhan terhadap seluruh regulasi yang ada.
Tetapi, saya membayangkan bahwa PROPER sebetulnya bisa menjadi lebih dahsyat lagi—dan untuk itu saya hendak menyajikan analisis terhadap kekuatan yang telah terbangun hingga sekarang, mengidentifikasi celah strategis yang masih ditemukan, kemudian memetakan peluang peningkatan PROPER dengan membandingkannya terhadap beragam standar Environmental, Social, and Governance (ESG) global yang dominan, seperti GRI, SASB, ISSB, TCFD, dan TNFD.
Tentu saja, hasil terpentingnya bukanlah tentang kesenjangan, melainkan rekomendasi untuk bisa benar-benar mewujudkan PROPER untuk menjadi panduan ESG kelas dunia, yang sekarang sangat dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Sangat mudah bagi mereka yang bergiat dalam isu-isu keberlanjutan perusahaan untuk melihat bahwa PROPER 2025 telah memiliki fondasi lingkungan (E) yang sangat kuat, dan mekanisme insentif reputasional yang efektif setidaknya untuk pemangku kepentingan nasional—namun, jelas PROPER masih tertinggal dalam aspek sosial (S) dan tata kelola (G) yang mendalam, integrasi dengan kerangka pelaporan internasional, serta ambisi iklim dan ekonomi sirkular.
Oleh karena itu, rekomendasi kebijakan yang hendak saya berikan akan difokuskan pada harmonisasi standar, penguatan pilar S dan G, integrasi dengan pasar modal, dan peningkatan transparansi untuk mentransformasi PROPER menjadi benchmark ESG nasional yang kemudian bisa diakui secara global dan mampu menarik investasi berkelanjutan.
Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) telah lama menjadi kebijakan garda depan Indonesia dalam mendorong kinerja lingkungan dan sosial perusahaan melampaui kepatuhan regulasi dasar (beyond compliance). Pada peringkat Hijau dan Emas, melampaui kepatuhan terhadap regulasi adalah prasyarat perolehannya. Revisi terbarunya, PROPER 2025, menunjukkan evolusi yang signifikan, menandakan keseriusan pemerintah untuk terus memerkuat peran perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan.
Kekuatan Kunci PROPER 2025
Konsensus dari berbagai analis yang saya ajak berdiskusi mengidentifikasi beberapa kekuatan utama yang membuat PROPER 2025 menjadi instrumen kebijakan yang efektif dan unik. Kekuatan yang paling kentara adalah fondasi lingkungan (E) yang kuat dan kontekstual. Cakupan aspek lingkungan dalam PROPER 2025 sangat detail, operasional, dan terukur. Regulasi ini tidak hanya mencakup aspek universal seperti air limbah, emisi udara, dan limbah B3/non-B3, tetapi juga mengintegrasikan isu-isu spesifik konteks Indonesia, seperti pengelolaan ekosistem gambut.
Aspek Beyond Compliance diwujudkan melalui sistem pemeringkatan yang berlapis (Hitam, Merah, Biru, Hijau, Emas). Skema ini secara efektif menciptakan insentif reputasi yang kuat dan mendorong kompetisi positif antarperusahaan untuk tidak hanya patuh, tetapi juga berinovasi hingga bisa memeroleh posisi di atas Biru. Lebih lanjut, mekanisme penilaian yang menggabungkan evaluasi dokumen dan Verifikasi Lapangan Langsung menjadi keunggulan krusial, sesungguhnya berfungsi meminimalkan risiko greenwashing dan memastikan akuntabilitas data yang dilaporkan.
Selain aspek lingkungan, PROPER 2025 juga menunjukkan Integrasi Awal Dimensi Sosial dan Tata Kelola. Kriteria untuk peringkat Hijau dan Emas sejak awal secara eksplisit memasukkan aspek sosial kontekstual, seperti program pemberdayaan masyarakat, tanggap kebencanaan, dan inovasi sosial—termasuk pemanfaatan metode Social Return on Investment (SROI)—yang seluruhnya sangat selaras dengan kebutuhan pembangunan daerah dan nasional.
Di sisi Tata Kelola, keberadaan Dewan Pertimbangan independen yang melibatkan multi-pemangku kepentingan, seperti akademisi, LSM, dan media, meningkatkan kredibilitas dan transparansi proses penilaian secara keseluruhan. PROPER 2025 didukung oleh Mekanisme yang Mendukung Akuntabilitas melalui Transparansi Publik hasil peringkat, yang menciptakan tekanan sosial. Penggunaan Sistem Informasi (SIMPEL) juga mendukung efisiensi dan disiplin dalam pelaporan data perusahaan.
Ruang Perbaikan dan Jarak dengan Standar Global
Meskipun memiliki fondasi yang kuat, sebagai orang yang banyak membantu perusahaan dalam meningkatkan kinerja keberlanjutan agar sesuai dengan ekspektasi pemangku kepentingan global, saya tahu bahwa PROPER 2025 menghadapi beberapa kesenjangan strategis jika dibandingkan dengan kerangka ESG global yang berkembang pesat. Ini juga yang saya peroleh dari percakapan dengan bermacam kolega yang bekerja di bidang yang sama.
Kesenjangan paling signifikan, tentu saja, terletak pada keterbatasan pada aspek sosial (S) dan tata kelola (G)—karena pada dasarnya PROPER memang didesain di atas fondasi lingkungan terlebih dahulu, sesuai bidang kerja KLH. Aspek S dalam PROPER 2025 masih cenderung umum dan kurang terukur dibandingkan dengan tuntutan global. Standar global seperti hak asasi manusia (HAM), due diligence rantai pasok, Free Prior and Informed Consent (FPIC) untuk masyarakat adat, metrik terukur untuk keselamatan dan kesehatan kerja (K3), seperti Lost-Time Injury Frequency Rate (LTIFR), serta aspek keragaman dan inklusi, belum terintegrasi secara kuat, terutama sebagai bagian dari kriteria kepatuhan dasar.
Pada aspek Tata Kelola (G), regulasi ini masih lemah dalam menilai sustainability governance yang mendalam, seperti oversight dari dewan komisaris (misalnya, keberadaan komite keberlanjutan atau komite ESG), integrasi ESG ke dalam strategi bisnis inti, manajemen risiko ESG, dan kebijakan anti-korupsi yang robust. Aspek-aspek ini merupakan inti dari standar batas bawah dari pelaporan global dan menjadi basis ekspektasi investor maupun bank yang menegakkan ESG dalam pengambilan keputusan investasi dan pembiayaan.
Lebih jauh lagi, kesenjangan krusial lainnya adalah kurangnya integrasi formal dengan kerangka pelaporan dan standar ESG global. Di tingkat Asia Pasifik, sebagaimana yang ditunjukkan oleh studi Sustainability Counts III dari NUS dan PwC, Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain dalam urusan pemanfaatan standar pelaporan. Saat ini, PROPER 2025 belum selaras secara formal dengan kerangka pelaporan internasional seperti GRI, SASB/ISSB, TCFD (yang melebur ke IFRS S2), TNFD, atau CDP. Kondisi ini menciptakan beban ganda (double burden) bagi perusahaan Indonesia yang harus menyusun laporan terpisah untuk memenuhi permintaan investor global. Ketiadaan peta jalan (crosswalk) yang jelas antara indikator PROPER dan standar internasional juga menghambat interoperabilitas data.
Selain itu, walaupun sudah meningkat dibandingkan versi sebelumnya, ambisi iklim dan ekonomi sirkular yang diusung PROPER 2025 masih tergolong rendah. Meskipun ada penghitungan emisi, PROPER belum mewajibkan target berbasis sains (SBTi), pembuatan peta jalan yang didukung program dan sumberdaya yang memadai, pengungkapan risiko iklim ala TCFD (IFRS S2), atau pelaporan emisi Scope 3 secara sistematis, yang seluruhnya kini merupakan standar global untuk kepemimpinan iklim. Konsep ekonomi sirkular yang holistik (desain berkelanjutan, penggunaan ulang, sistem loop tertutup) juga belum diintegrasikan sebagai kriteria inti, dan baru muncul secara sekilas dalam konteks inovasi.
Terakhir, penilaian PROPER masih didominasi pada dampak operasional langsung perusahaan. Ini, menurut hemat saya, benar-benar mengabaikan tuntutan standar global yang semakin mendesak uji tuntas dan pengelolaan dampak/risiko lingkungan dan sosial sepanjang seluruh rantai nilai (value chain). Itu semua bahkan masih perlu ditimbang lebih jauh mengingat tantangan terkait kapasitas dan kualitas data. Lantaran PROPER belum mewajibkan assurance (verifikasi) pihak ketiga independen, tentu saja masih ada isu kredibilitas data yang diajukan oleh perusahaan, sementara keterbatasan waktu dan kapasitas penilai lapangan yang tidak merata berpotensi menyebabkan inkonsistensi kalau bukan malah ketidakmampuan mendeteksi greenwashing.
Rekomendasi Kebijakan Terintegrasi dan Strategis
Pertanyaannya kemudian, apa yang perlu dilakukan oleh KLH? Untuk mentransformasi PROPER 2025 dari sekadar alat kepatuhan lingkungan menjadi kerangka ESG nasional yang diakui secara global, diperlukan serangkaian kebijakan yang terintegrasi dan strategis—yang bisa dijadikan pertimbangan untuk peningkatan standar PROPER di masa mendatang. Setidaknya ada enam yang bisa saya bayangkan sekarang—dan ini jelas bukan daftar yang ekshaustif.
Pertama, harmonisasi dengan Standar ESG Global & Digitalisasi Data. Langkah pertama yang harus diambil adalah membuat pemetaan resmi (official crosswalk) antara indikator PROPER 2025 dengan standar global utama, seperti GRI, ISSB (IFRS S1/S2), SASB, TCFD, TNFD, juga CDP. Dokumen pemetaan ini harus dipublikasikan dan diintegrasikan ke dalam sistem SIMPEL. Selanjutnya, adopsi taksonomi data digital (misalnya, XBRL/IFRS Sustainability Taxonomy) diperlukan untuk memungkinkan interoperabilitas data PROPER dengan laporan keuangan dan platform pelaporan global, secara signifikan mengurangi beban pelaporan ganda bagi perusahaan multinasional maupun perusahaan nasional yang menjadi objek penilaian dan pemeringkatan ESG rating agencies.
Kedua, memperkuat ekspektasi atas kinerja sosial (S) dan tata kelola (G) secara terukur. KLH perlu memerkuat kriteria S dengan menambahkan banyak indikator terukur untuk HAM (termasuk FPIC), K3 (LTIFR), keragaman & inklusi, serta due diligence untuk rantai pasok yang bertanggunhg jawab. Beragam aspek kunci ini harus diangkat statusnya menjadi bagian dari kriteria kepatuhan dasar, yang jika dilanggar dapat menyebabkan peringkat Merah/Hitam. Untuk pilar G, wajibkan pengungkapan mengenai oversight dewan komisaris atas seluruh ESG—misalnya dengan keberadaan komite keberlanjutan atau pembuktian charter komite manajemen risiko yang memasukkan seluruh isu ESG, integrasi ESG ke dalam strategi bisnis dan remunerasi eksekutif, serta kebijakan dan program anti-korupsi yang komprehensif, mencerminkan praktik tata kelola yang baik di level global. Setidaknya, ekspektasi G ini perlu sesuai dengan petunjuk OECD.
Ketiga, meningkatkan ambisi iklim dan mengadopsi ekonomi sirkular. Perusahaan perlu diwajibkan untuk melakukan pengungkapan berbasis TCFD (Governance, Strategy, Risk Management, Metrics & Targets) yang sudah disesuaikan ke dalam IFRS S2, juga pelaporan emisi Scope 1, 2, dan 3 (jika material) bagi kandidat peringkat Hijau dan Emas. Selain itu, berikan insentif yang nyata (fast track, bonus points) untuk perusahaan yang telah memiliki target emisi berbasis sains (SBTi) yang tervalidasi. Sebaliknya, bila tak ada target dan peta jalan penurunan emisi yang sesuai dengan sains, maka perusahaan tak layak untuk dipertimbangkan untuk memeroleh Hijau apalagi Emas. Integrasikan pula indikator ekonomi sirkular yang terukur (misalnya, persentase bahan daur ulang, intensitas limbah, desain produk sirkular) sebagai kriteria inti untuk peringkat beyond compliance Hijau dan Emas.
Keempat, memerluas cakupan penilaian ke seluruh rantai nilai. PROPER jelas perlu memerluas cakupan penilaian secara bertahap untuk mencakup aspek keberlanjutan rantai pasok (backward linkage) bahkan hingga pemanfaat produk hingga akhir atau, lebih baik lagi, bila terus bisa dimanfaatkan (forward linkage). Langkah awal adalah dengan mewajibkan perusahaan melakukan uji tuntas (due diligence) terhadap pemasok berisiko tinggi dan melaporkan hasil manajemen risikonya. LCA yang sekarang telah digunakan perlu untuk diperluas dengan penegakan aspek sosialnya (S-LCA) dan analisis sirkularitas. Dengan demikian, gambaran lengkap tentang dampak bisa ditunjukkan.
Kelima, menguatkan persyaratan atas assurance terhadap data dan kapasitas. Untuk peringkat Hijau dan Emas, PROPER perlu mewajibkan verifikasi (assurance) pihak ketiga independen minimal di tingkat limited assurance untuk memastikan kebenaran data pada indikator-indikator kunci lingkungan dan sosial—yang disesuaikan dengan materialitas menurut industri di mana perusahaan berada. Secara paralel, KemenLH/BPLH harus mengembangkan panduan teknis dan program pelatihan yang masif untuk perusahaan (terutama UMKM) dan penilai PROPER di semua level pemerintahan mengenai standar ESG dan metodologi pelaporan yang diperkuat ini.
Terakhir, menciptakan insentif pasar yang nyata. KLH perlu berkolaborasi erat dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI), mungkin juga dengan Danantara untuk memastikan beragam jenis insentif pasar bisa tersedia untuk perusahaan-perusahaan yang mendapatkan peringkat Hijau dan Emas. Peringkat PROPER (khususnya Hijau dan Emas) harus diintegrasikan ke dalam Taksonomi Hijau Indonesia, Sustainable Finance Roadmap OJK, dan IDX ESG Index sebagai salah satu kriteria untuk mendapatkan akses pembiayaan hijau yang lebih mudah dan murah atau listing badge di bursa. Di sisi lain, perusahaan yang mendapatkan penilaian Merah dan Hitam perlu mendapatkan pengawasan ketat, serta disinsentif dari sektor keuangan. Bagaimanapun, insentif finansial akan menjadi dorongan paling efektif untuk mengejar kinerja ESG kelas dunia—sebagaimana yang menjadi ide dasar sejak diajukannya istilah ESG pada dokumen Who Cares Wins di tahun 2004.
Menegakkan Asa Keberlanjutan Perusahaan
PROPER 2025 adalah sebuah kebijakan yang potensial dan progresif, dengan fondasi lingkungan (E) yang terbilang kokoh dan mekanisme insentif reputasi yang telah terbukti efektif—untuk tingkat nasional. Namun, menurut hemat saya, demi memenuhi tuntutan ekonomi global yang semakin menempatkan kinerja ESG sebagai arus utama dalam alokasi modal, PROPER harus berani berevolusi.
Transformasi dari alat kepatuhan lingkungan nasional menjadi kerangka ESG nasional yang komprehensif dan diakui secara internasional adalah suatu keniscayaan agar PROPER tetap relevan di masa depan (future-fit). Rekomendasi yang diusulkan di sini—yang berfokus pada harmonisasi standar, penguatan S dan G, peningkatan ambisi iklim, dan penciptaan insentif finansial—dirancang untuk mencapai tujuan tersebut.
Dengan implementasi rekomendasi ini, saya berharap, PROPER tidak hanya akan terus berkutat dalam membina perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk memenuhi regulasi nasional, tetapi juga menjadi katalis untuk menarik investasi berkelanjutan dan meningkatkan daya saing bangsa di panggung global, mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif yang sesungguhnya. Pertanyaannya sekarang bukan lagi apakah PROPER harus berubah, melainkan seberapa cepat pemerintah, terutama KLH, dapat mewujudkan transformasi ambisius ini.


