Oleh:
Jalal – Chairperson of Advisory Board Social Investment Indonesia
Kemajuan yang Signifikan
Bulan Juli lalu terbit dokumen yang berjudul Pedoman Tata Kerja tentang Pelibatan dan Pengembangan Masyarakat (PTK-017/SKKIA0000/2025/S9). Dokumen yang diterbitkan oleh SKK Migas dan dapat diunduh melalui tautan https://www.skkmigas.go.id/work-guidelines itu, merupakan kerangka resmi yang ditujukan bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di sektor hulu migas Indonesia untuk merencanakan, melaksanakan, memantau, dan melaporkan program-program sosial yang berkaitan dengan masyarakat di sekitar wilayah operasi mereka. Dokumen ini merupakan revisi ke-02 dari pedoman sebelumnya dan bertujuan untuk memberikan acuan yang sistematis terhadap pelaksanaan salah satu subjek inti tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam konteks khusus industri minyak dan gas bumi.
Pelibatan dan Pengembangan Masyarakat (PPM) adalah konsep yang digunakan dalam ISO 26000 Guidance on Social Responsibility untuk merujuk pada upaya melibatkan seluruh masyarakat yang potensial maupun yang sudah terkena dampak ke dalam pengambilan keputusan organisasi yang menyebabkan dampak tersebut, serta untuk meningkatkan kesejahteraan, kemandirian, ketangguhan dan keberlanjutan mereka melalui beragam upaya sistematis. Dulu, PPM kerap dinyatakan sebagai pengembangan dan pemberdayaan masyarakat atau program pengembangan masyarakat. Sebutan pertama sebetulnya redundant, karena pengembangan maupun pemberdayaan sebetulnya memiliki makna yang sama. Sementara, pengembangan masyarakat sebetulnya tak bisa direduksi menjadi program belaka, karena perlu ada kebijakan, strategi, juga curahan sumberdaya. Sebutan yang sekarang dipergunakan jelas menandai perbaikan pemahaman SKK Migas terhadap subjek inti yang sangat penting ini.
Pedomannya sendiri mencakup berbagai aspek teknis dan prosedural. Mulai dari penyusunan rencana program, penyusunan Logical Framework Analysis (LFA), pengajuan usulan anggaran, hingga mekanisme evaluasi, monitoring, dan pelaporan lengkap dinyatakan. Selain itu, dokumen ini juga mengatur aspek strategis seperti visi PPM, pilar program (sosial, ekonomi, lingkungan, dan tata kelola), strategi pendanaan (Cost Recovery atau Gross Split), serta indikator keberhasilan dan pengukuran dampak sosial melalui Social Return on Investment (SROI), Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM), dan Social License to Operate Index (SLO Index). Dokumen ini juga mencantumkan format-format standar seperti kertas kerja LFA, berita acara serah terima program, dan kertas kerja rencana exit strategy, yang menunjukkan upaya untuk memastikan konsistensi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan program.
Dengan isi yang demikian, alah satu kekuatan utama dari pedoman ini adalah pendekatan yang sangat terstruktur dan sistematis terhadap perencanaan dan pelaksanaan program PPM. Dengan mengadopsi LFA, SKK Migas menunjukkan komitmen terhadap metodologi perencanaan yang telah diakui secara internasional, termasuk oleh lembaga-lembaga pembangunan seperti Bank Dunia dan PBB. Pendekatan LFA memungkinkan KKKS untuk merancang program secara logis, dengan keterkaitan yang jelas antara tujuan, hasil, indikator, dan asumsi-asumsi yang mendasarinya. Hal ini sangat penting dalam memastikan bahwa program-program yang dijalankan tidak hanya reaktif atau bersifat karitatif, tetapi benar-benar strategis dan berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan.
Selain itu, pedoman ini juga menekankan pentingnya sinkronisasi antara rencana program PPM dengan dokumen perencanaan utama seperti Work Program & Budget (WP&B), yang menunjukkan integrasi CSR ke dalam proses bisnis inti perusahaan. Ini merupakan langkah maju dibandingkan dengan pendekatan PPM di masa lampau yang kerap terpisah dari operasi utama migas, sehingga sering kali mengakibatkan inkonsistensi dan kurangnya dampak jangka panjang.
Kekuatan lain dari dokumen ini adalah fokusnya pada pengukuran dampak sosial melalui tiga indikator utama: SROI, IKM, dan SLO Index. Penggunaan SROI menunjukkan kesadaran akan pentingnya mengkuantifikasi nilai sosial ke dalam bentuk monetisasi, yang sejalan dengan prinsip-prinsip social investment menurut IFC dan IPIECA. Dengan menghitung berapa nilai rupiah yang dihasilkan dari setiap rupiah yang diinvestasikan dalam program untuk masyarakat, perusahaan dapat menunjukkan efisiensi dan efektivitas dari program mereka kepada pemangku kepentingan. Karena SROI adalah metodologi yang diakui secara global, bukan hanya pemangku kepentingan lokal dan nasional saja yang bakal memahaminya, melainkan juga pemangku kepentingan global.
Sementara itu, IKM dan SLO Index memberikan dimensi kualitatif yang penting, yaitu kepuasan masyarakat dan legitimasi sosial untuk beroperasi. Kedua indikator ini sangat relevan dalam konteks industri hulu migas, yang rentan terhadap konflik sosial dan penolakan masyarakat jika tidak dikelola dengan baik. Dengan mengukur SLO, SKK Migas secara eksplisit mengakui bahwa dukungan masyarakat atas operasi migas bukanlah sesuatu yang diberikan secara otomatis dan ajeg, melainkan harus terus-menerus diraih, dipertahankan bahkan ditingkatkan, melalui kinerja yang bertanggung jawab dan transparan. Lagi-lagi, SLO adalah ukuran yang dipahami di seluruh dunia, sehingga bisa dikomunikasikan ke manapun.
Beragam kekuatan tersebut jelas menunjukkan kemajuan signifikan bila dibandingkan dengan PTK sebelumnya. Dan ini adalah alasan untuk percaya bahwa SKK Migas bersungguh-sungguh mendorong terwujudnya hubungan yang konstruktif di antara KKKS Migas dengan para pemangku kepentingan, khususnya masyarakat lokal.
Membayangkan yang Lebih Baik Lagi
Namun demikian, meskipun dokumen ini menunjukkan kemajuan yang signifikan dibandingkan dengan pedoman sebelumnya, masih terdapat beberapa ruang perbaikan yang signifikan jika dibandingkan dengan standar global seperti ISO 26000 sendiri, IFC Performance Standards, dan kerangka CSR strategis seperti Creating Shared Value (CSV) dari Porter dan Kramer. Beberapa hal berikut ini mungkin bisa ditimbang oleh perusahaan migas yang mau meningkatkan kinerja PPM-nya dan/atau ditimbang SKK Migas untuk perbaikan regulasi ke depannya.
Pertama, meskipun dokumen ini menyebutkan pilar-pilar seperti sosial, ekonomi, lingkungan, dan tata kelola, namun belum ada penjelasan yang mendalam mengenai bagaimana pilar-pilar tersebut saling terkait atau bagaimana prioritas ditentukan. Dalam praktik terbaik global, CSR tidak hanya dipandang sebagai serangkaian program terpisah, tetapi sebagai bagian dari strategi bisnis yang terintegrasi. Misalnya, ISO 26000 menekankan perlunya pendekatan holistik yang mencakup tujuh prinsip utama CSR: akuntabilitas, transparansi, perilaku etis, memperhatikan pemangku kepentingan, kepatuhan terhadap hukum, penghormatan terhadap norma internasional, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dalam dokumen SKK Migas, aspek hak asasi manusia dan kepatuhan terhadap norma internasional tidak secara eksplisit disebutkan, padahal ini merupakan fondasi penting dalam CSR global, terutama dalam konteks projek-projek infrastruktur besar yang berdampak langsung terhadap masyarakat lokal. SDGs, misalnya, juga sangat menekankan kesalingterkaitan antara Target dan Indikator di antara Tujuan—sehingga satu projek PPM bisa menyasar beragam Indikator, Target dan Tujuan SDGs sekaligus.
Kedua, meskipun pedoman ini menyediakan format LFA dan indikator keberhasilan, namun tidak cukup menekankan pentingnya stakeholder engagement yang bermakna sejak awal proses perencanaan. Dalam ISO 26000 dan IFC PS1, partisipasi pemangku kepentingan, terutama masyarakat lokal, harus dilakukan secara inklusif, berkelanjutan, dan berbasis hak. Namun, dalam dokumen ini, masyarakat masih terasa lebih diposisikan sebagai objek dari program, bukan sebagai mitra dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Ini ditunjukkan misalnya dalam tidak ada ketentuan yang mewajibkan KKKS untuk melakukan konsultasi publik dengan prinsip free prior informed consent (FPIC), atau mekanisme pengaduan yang independen. Tanpa mekanisme ini, ada risiko bahwa program PPM menjadi top-down dan tidak benar-benar menjawab kebutuhan nyata dari masyarakat. Selain itu, bagi sebagian pakar, penggunaan istilah “penerima manfaat” yang dominan dalam dokumen ini juga mencerminkan paradigma lama yang paternalistik, bukan pendekatan kemitraan yang sejajar. Ini juga menunjukkan bahwa pelibatan masyarakat mungkin kurang porsinya dibandingkan pengembangan masyarakat.
Ketiga, dokumen ini sangat berfokus pada aspek pengembangan masyarakat, namun masih sedikit sekali mengatur aspek manajemen risiko sosial, yang merupakan pilar utama dalam standar seperti IFC PS. Bagian pelibatan masyarakat juga lebih banyak membahas pelibatan dalam perencanaan program pengembangan, bukan pelibatan untuk mengidentifikasi, menghindari, meminimalkan, dan mengelola dampak sosial negatif dari operasional perusahaan. Sebuah pedoman yang benar-benar komprehensif perlu secara eksplisit mengintegrasikan uji tuntas (due dillegence) sosial ke dalam siklus projek, menuntut identifikasi dampak negatif potensial (seperti pemindahan penduduk, konflik atas sumberdaya dan dampak terhadap mata pencarian) dan merencanakan tindakan mitigasinya. Ini penting karena PPM tidak boleh dilihat sebagai kompensasi atas dampak negatif, melainkan sebagai bagian dari strategi manajemen dampak sosial yang lebih holistik.
Keempat, aspek keberlanjutan dan rencana alih kelola (exit strategy) meskipun telah disinggung dalam kertas kerja khusus, masih terasa lemah. Dalam investasi sosial yang baik, program tidak boleh menciptakan ketergantungan jangka panjang terhadap perusahaan. Namun, dokumen ini tidak memberikan panduan yang cukup kuat tentang bagaimana KKKS harus merancang program agar dapat dilepaskan secara bertahap kepada masyarakat, pemerintah lokal, dan/atau aktor pembangunan lainnya. Tidak ada penekanan yang eksplisit pada penguatan kapasitas lokal, pembentukan lembaga masyarakat, atau skema transfer aset. Dalam kerangka IFC, misalnya, setiap program pembangunan harus memiliki rencana alih kelola yang jelas sejak awal, dengan indikator keberlanjutan yang terukur. Tanpa ini, PPM berisiko menjadikan manfaatnya bersifat sementara yang tidak meninggalkan warisan positif setelah operasi perusahaan berakhir.
Kelima, meskipun dokumen ini menyebutkan pentingnya publikasi dan exposure, namun tidak ada panduan etika komunikasi PPM yang diberikan. Dalam praktik global, transparansi tidak hanya berarti mempublikasikan keberhasilan, tetapi juga mengakui kegagalan, tantangan, dan dampak negatif yang mungkin timbul gegara unintended consequences. Hingga bentuknya yang sekarang, pedoman ini lebih tampak berfokus pada pelaporan untuk keperluan administratif dan persetujuan anggaran, dan belum menekankan pada akuntabilitas publik. Tidak ada pewajiban untuk menerbitkan laporan PPM secara independen, diaudit oleh pihak ketiga, atau disesuaikan dengan ekspektasi standar pelaporan global seperti Global Reporting Initiative (GRI) atau Sustainability Accounting Standards Board (SASB), apalagi hingga menimbang kebutuhan transparensi dan akuntabilitas atas transisi yang adil (just transition) yang sangat penting dalam industri migas. Akibatnya, ada risiko bahwa pelaporan PPM menjadi ritual birokratis yang lebih mementingkan kelengkapan dokumen daripada kualitas dampak.
Menuju Kinerja PPM Unggul
Untuk memerbaiki dokumen ini agar semakin selaras dengan ekspektasi standar dan kerangka global, beberapa rekomendasi penting dapat diajukan. Pertama, SKK Migas perlu secara eksplisit mengintegrasikan seluruh prinsip dan subjek inti terkait dalam ISO 26000 ke dalam pedoman, terutama terkait tata kelola, hak asasi manusia, dan lingkungan—yang sangat terkait dengan PPM dan kontribusi terhadap pencapaian SDGs. Ini dapat dilakukan misalnya dengan menambahkan bab khusus tentang prinsip dasar PPM dan kewajiban perusahaan terhadap para pemangku kepentingan utama.
Kedua, pedoman perlu memerkuat aspek partisipasi masyarakat dengan mewajibkan KKKS untuk melakukan pemetaan pemangku kepentingan, membuat strategi pembinaan hubungan dengan pemangku kepentingan termasuk dan terutama masyarakat, konsultasi publik yang benar-benar bermakna, dan pembentukan forum dialog yang berkesinambungan sepanjang fase migas. Mekanisme pengaduan yang independen dan mudah diakses oleh masyarakat juga perlu diwajibkan, sesuai dengan IFC PS1 maupun petunjuk dari IPIECA.
Ketiga, SKK Migas dapat memertimbangkan untuk mendorong adopsi konsep-konsep CSR Strategis yang secara eksplisit membawa manfaat untuk masyarakat sekaligus perusahaan. ISO 26000 sendiri jelas menyatakan penggunaan investasi sosial di dalam subjek inti Pelibatan dan Pengembangan Masyarakat. Model Creating Shared Value (CSV), di mana PPM bisa dibuat sebagai strategi bisnis yang menciptakan nilai bersama bagi perusahaan dan masyarakat juga menarik untuk dinyatakan secara eksplisit. Dengan demikian, maka penilaian keberhasilan PPM akan perlu dinyatakan di kedua sisi, yaitu masyarakat dan perusahaan.
Keempat, strategi alih kelola (exit strategy) perlu menjadi bagian integral dari setiap proposal program, bukan sekadar ‘formulir tambahan’. KKKS harus diminta untuk menunjukkan bagaimana program akan ditransfer ke pemerintah daerah, aktor pembangunan lainnya, atau lembaga lokal, serta bagaimana kapasitas masyarakat akan diperkuat selama masa pelaksanaan program. Ini adalah hal yang esensial untuk bisa memastikan keberlanjutan manfaat program atau projek untuk masyarakat.
Kelima, sebagai sumberdaya tak terbarukan, migas di setiap lokasi kerja KKKS jelas akan habis. Oleh karenanya, dalam memastikan keberlanjutan masyarakat setelah KKKS pergi, perspektif penyiapan masyarakat haruslah dibuat dengan kehati-hatian dan pertimbangan transisi ekonomi-sosial-lingkungan yang benar-benar matang. Apalagi, migas adalah sektor yang rentan di hadapan berbagai risiko iklim. Oleh karenanya, PPM sebaiknya dibuat dengan mengadopsi perspektif transisi yang berkeadilan (just transition) sejak awal, atau untuk setidaknya mengoptimalkan waktu yang tersisa.
Keenam, dorongan untuk kemitraan dan kolaborasi dapat diperkuat. KKKS harus didorong, bukan hanya diizinkan, untuk membentuk kemitraan dengan organisasi lain dalam melaksanakan program PPM, dengan tujuan utama meningkatkan keberlanjutan dan efektivitas. Bagaimanapun, PPM adalah bagian dari CSR, dan CSR bertujuan untuk mendukung pencapaian SDGs, di mana kemitraan adalah satu-satunya peluang SDGs bisa dicapai. Dengan menekankan pada kemitraan, dengan petunjuk jelas bagaimana mengidentifikasi, membangun, dan mengevaluasi hasilnya, dokumen ini akan menjadi petunjuk yang lebih kuat dan semakin sesuai dengan SDGs.
Ketujuh, pengukuran dampak sosial mungkin perlu diperluas melampaui SROI, IKM, dan SLO Index. SROI adalah monetisasi manfaat sebagaimana yang dirasakan oleh masyarakat maupun perusahaan; sementara IKM dan SLO Index mengukur aspek relasional sebagai hasil dari PPM. Alat-alat ukur lainnya seperti pengurangan kemiskinan, peningkatan akses pendidikan dan kesehatan, serta kontribusi terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) sebaiknya diintegrasikan ke dalam kerangka monitoring dan evaluasi. Kalau usulan soal CSR Strategis diterima, maka—sekali lagi—pengukuran perlu dilakukan di kedua sisi.
Kedelapan dan terakhir, SKK Migas sebaiknya mendorong KKKS untuk mengadopsi bagian masyarakat lokal, pengembangan masyarakat atau hubungan dengan masyarakat dalam standar-standar seperti GRI, SASB, atau Sustainability Reporting Guidance dari IPIECA—untuk memastikan laporannya memang dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh perusahaan dalam laporan keberlanjutan dan/atau laporan ESG-nya. Laporan tahunan PPM seharusnya tidak hanya harus diserahkan ke SKK Migas, tetapi juga dipublikasikan secara terbuka dan diaudit secara independen, baik sebagai laporan tersendiri atau tergabung di dalam laporan keberlanjutan. Ini akan meningkatkan kredibilitas dan akuntabilitas program.
Secara keseluruhan, PTK Revisi-02 ini adalah langkah yang sangat positif dan maju dalam memformalkan dan meningkatkan kualitas program pengembangan masyarakat di industri hulu migas Indonesia. Dokumen ini telah menangkap banyak elemen penting dari praktik global. Namun, untuk benar-benar menjadi pedoman kelas dunia, ia perlu bergerak melampaui pendekatan yang bersifat administratif dan compliance-oriented menuju pendekatan yang lebih prinsipil, adaptif, dan berfokus pada penciptaan dampak sosial yang berkelanjutan dan pengelolaan risiko yang komprehensif. Dengan menyempurnakan aspek-aspek tersebut, SKK Migas tidak hanya dapat meningkatkan efektivitas program PPM tetapi juga memerkuat dukungan masyarakat terhadap operasi industri hulu migas di Indonesia dalam jangka panjang.


