Oleh: Jalal – Chairperson advisory board, Social Investment Indonesia
Perkembangan di Tingkat Global dan Asia Pasifik
Kalau pelaporan keuangan perusahaan adalah praktik yang telah berusia beberapa abad, dan standar internasionalnya telah disepakati sejak beberapa dekade lampau, pelaporan keberlanjutan tidaklah demikian. Usianya jauh lebih muda. Baru pada penghujung dekade 1990an perbincangannya menguat, dan standar pertama datang di awal dekade berikutnya. Di wilayah Asia Pasifik, praktik pelaporan keberlanjutan datang beberapa tahun kemudian, terutama lewat perusahaan-perusahaan asing yang berkantor pusat di Eropa dan Amerika Serikat, dan disusul oleh perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor.
Oleh karena itu, sebagai praktik yang baru berusia dua dekade, kemajuan-kemajuannya sangat patut untuk diapresiasi. Namun, di sisi lain, standar maupun praktiknya sangatlah penting untuk terus didorong agar sesuai dengan tuntutan keberlanjutan perusahaan dan keberlanjutan dunia secara umum. Oleh karena itu, menurut hemat saya, laporan seperti Sustainability Counts II: State of Sustainability Reporting in Asia Pacific, yang diterbitkan oleh PwC pada tanggal 19 Juli 2023 lalu menjadi sangat penting bagi siapapun yang ingin mendorong kemajuan pelaporan keberlanjutan di wilayah ini—termasuk di Indonesia.
Laporan tersebut menegaskan bahwa dunia sedang berupaya untuk meningkatkan kinerja keberlanjutan perusahaan, dan di antara upaya yang dianggap sangat penting untuk mencapai tujuan tersebut adalah harmonisasi standar pelaporan keberlanjutan. Hal ini sangatlah penting untuk bisa meningkatkan transparensi dari investor, regulator, perusahaan dan pemangku kepentingannya. Laporan yang disusun bersama-sama dengan National University of Singapore Centre for Governance and Sustainability ini berfokus pada 50 perusahaan terdaftar teratas berdasarkan kapitalisasi pasar di 14 jurisdiksi di Asia Pasifik, yaitu: Australia, Tiongkok, Hong Kong SAR, India, India, Jepang, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Dengan demikian, ada 700 perusahaan, dalam 11 industri, yang menjadi sumber data laporan tersebut.
Bagian awal laporan itu menyatakan bahwa ada banyak kemajuan dalam lanskap pelaporan keberlanjutan pada tahun 2023, terutama yang terkait dengan pengembangan proposal Pedoman Pelaporan Keberlanjutan Perusahaan di Eropa (Corporate Sustainability Reporting Directive in Europe, disingkat CSRD), standar pengungkapan keberlanjutan internasional oleh Dewan Standar Keberlanjutan Internasional (International Sustainability Standards Board, disingkat ISSB) dan proposal pengungkapan iklim oleh Komisi Sekuritas dan Pasar Modal Amerika Serikat (United States Securities and Exchange Commission, disingkat SEC).
Selanjutnya, laporan juga menekankan bahwa jaminan kebenaran informasi (assurance) keberlanjutan menjadi semakin penting di dunia saat ini lantaran banyak pemangku kepentingan yang semakin memanfaatkan informasi keberlanjutan perusahaan. Proses ini jelas membantu membangun keyakinan dan kepercayaan terhadap informasi keberlanjutan yang diberikan kepada pemangku kepentingan. Hal ini sangat jelas merupakan respons atas banyaknya kasus greenwashing yang terungkap di berbagai negara selama beberapa tahun terakhir.
Sementara, di di Asia Pasifik, laporan ini melihat peningkatan fokus pada pelaporan keberlanjutan oleh regulator di seluruh negara yang diteliti. Ada juga peningkatan penggunaan kerangka dari Taskforce for Climate-related Financial Disclosure (TCFD) untuk pelaporan yang mengaitkan antara kebijakan, strategi, dan kinerja pengelolaan dampak perubahan iklim dengan prospek keuangan perusahaan. Jaminan eksternal atas informasi keberlanjutan dinyatakan masih buruk di seluruh Asia Pasifik, dengan kekecualian Korea Selatan dan Taiwan.
Dengan 81% perusahaan yang diteliti di Asia Pasifik mengadopsi kerangka GRI, ini menandakan bahwa GRI terus menjadi standar pelaporan keberlanjutan yang dominan di wilayah tersebut. Fokusnya sekarang adalah bagaimana masing-masing jurisdiksi akan mengadopsi atau memersiapkan diri untuk menyambut keberlakuan standar-standar dari ISSB, CSRD dan SEC. Di kawasan ini juga terjadi peningkatan 21% dalam penggunaan kerangka TCFD termasuk pengungkapan risiko dan peluang terkait iklim menjadi 88% pada tahun 2022.
Sekitar 89% perusahaan juga telah melakukan analisis skenario iklim—yang harus diakui merupakan kemajuan yang impresif. Sementara itu, dari sekitar 80% perusahaan yang telah memelajari cara pengungkapan emisi mereka, pengukuran emisi Lingkup 1 dan 2 agaknya telah mencapai kematangan. Dengan kekecualian di Jepang yang telah sangat maju, sebagian besar perusahaan di kawasan ini masih sangat perlu melakukan upaya tambahan untuk transparansi dan akurasi pengukuran emisi Cakupan 3 mereka yang lebih baik.
Laporan ini juga menekankan tentang bagaimana perusahaan bisa mengatasi berbagai tantangan dalam melaporkan komitmen dan kinerja lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social and governance, disingkat ESG) perusahaan. Buat PwC dan NUS yang menerbitkan laporan ini, sangatlah tegas bahwa memahami tujuan perusahaan, strategi ESG yang lebih luas—yang bisa berarti keberlanjutan perusahaan—dan aspirasi terkait pelaporan serta keterkaitan itu semua adalah titik awal yang baik untuk mencapai pelaporan yang seimbang dan komprehensif.
Kualitas data yang baik, ditegaskan laporan ini, sangatkah penting dalam menyajikan informasi dengan cara yang berguna bagi para pengambil keputusan di perusahaan. Karena sesungguhnya mengumpulkan dan memverifikasi informasi keberlanjutan itu bukanlah hal yang mudah, perusahaan perlu memikirkan sistem informasi secara komprehensif, bukan hanya untuk kepentingan pembuatan laporan.
Lebih jauh lagi, integrasi ESG ke dalam strategi bisnis, proses manajemen risiko, serta pengukuran kinerja melalui pelaporan yang lebih baik dinyatakan oleh laporan ini akan dapat menghemat biaya perusahaan, selain menghasilkan penciptaan nilai dalam jangka panjang. Oleh karena itu, tidak seharusnya perusahaan melihat pelaporan, apalagi laporan, keberlanjutan sebagai kepentingan yang terpisah. Ia merupakan bagian tak terpisahkan dari pengelolaan keberlanjutan perusahaan. Di satu sisi adalah bentuk akuntabilitas dan transparensi, dan di sisi lain adalah informasi untuk pengambilan keputusan bisnis berkelanjutan yang komprehensif.
Masalah dengan Pelaporan Keberlanjutan
Namun, di titik tersebut kemudian persoalan yang lebih luas menjadi penting untuk disadari. Pada tahun 2021 Kenneth Pucker, mantan COO Timberland yang kemudian menjadi profesor dalam keberlanjutan perusahaan menulis artikel di Harvard Business Review dengan tajuk Overselling Sustainability Reporting. Setelah meneliti banyak makalah ilmiah tentang ESG, dia menyatakan bahwa tidak diragukan lagi perhatian terhadap isu-isu ESG yang material memamng dapat memberikan kinerja sosial, lingkungan, dan keuangan yang lebih baik bagi masing-masing perusahaan. Kinerja tersebut kemungkinan besar dihargai dengan biaya modal yang lebih rendah, lantaran risiko yang lebih rendah pula. Fokus pada kinerja ESG juga dapat meningkatkan keuntungan dan meningkatkan nilai merek dan perusahaan.
Namun, Pucker menegaskan, hal itu juga berarti bahwa upaya keberlanjutan perusahaan, secara keseluruhan, sesungguhnya bisa berarti belum cukup membuat banyak perbedaan positif bagi masyarakat atau planet ini. Kalau memang perubahan positif itu ada, maka makalah-makalah ilmiah belum bisa menangkap dan mengungkapnya dengan memadai. Selain itu, menurut Pucker, pelaporan keberlanjutan itu sendiri mengalami beberapa masalah yang sangat nyata.
Pertama, kurangnya mandat dan audit. Pucker menyatakan bahwa seebagian besar perusahaan memiliki keleluasaan penuh atas badan pembuat standar yang harus diikuti dan informasi apa yang harus disertakan dalam laporan keberlanjutan mereka. Selain itu, meskipun 90% perusahaan terbesar di dunia kini membuat laporan keberlanjutan, hanya sebagian kecil dari laporan tersebut divalidasi oleh pihak ketiga. Akibatnya, banyak data yang menyesatkan dan tidak lengkap. Sebaliknya, pelaporan keuangan mengikuti standar yang disepakati, dan kepatuhan dipastikan oleh lembaga yang memiliki mandat legislasi yang kokoh.
Kedua, soal target yang ditetapkan tanpa perhatian pada batas-batas ekologis. Pucker mengutip sebuah studi tahun 2016 yang meneliti lebih dari 40.000 laporan keberlanjutan, yang hasilnya adalah bahwa kurang dari 5% perusahaan pelapor menyebutkan batas-batas ekologis yang harus dipatuhi. Bahkan lebih sedikit lagi, kurang dari 1%, yang menyatakan bahwa saat mengembangkan produk mereka, mereka mengintegrasikan tujuan lingkungan yang sejalan dengan batas-batas planetari. Sebagian besar perusahaan menetapkan target lingkungan hanya berdasarkan kemampuan atau aspirasi mereka. Target berbasis sains, misalnya untuk alokasi emisi perusahaan yang sesuai dengannya, masih terlampau sedikit dipergunakan.
Ketiga, belum melihat dampak sepanjang rantai pasokan, apalagi rantai nilai. Keputusan yang dibuat untuk mengejar tenaga kerja berbiaya rendah telah menyebabkan rantai pasokan yang sangat terdistribusi, sehingga produsen barang seringkali tidak berada di dekat pengguna akhir. Dalam industri yang paling Pucker kenali, yaitu alas kaki dan pakaian jadi, rantai pasokan seperti hilang dari pandangan. Saat ini setidaknya 85% dari produksi barang-barang yang dikenakan di Amerika Serikat berada di luar negeri, terutama di Asia. Lantaran di seluruh industri rantai pasokan menjadi multitingkat, dan kontraktor semakin banyak melakukan outsourcing ke banyak subkontraktor, membuat ketertelusuran sangatlah bermasalah. Audit yang kebanyakan dilakukan hanya di tingkat kontraktor telah gagal membendung pelanggaran sosial dan lingkungan di mana barang-barang benar-benar diproduksi. Dan laporan keberlanjutan tidak memuat dampak-dampak tersebut.
Keempat, kompleksitas yang tinggi dan belum bisa dipahami secara menyeluruh. Kemajuan teknologi kecerdasan buatan, satelit, sensor, blockchain, dan sebagainya, menurut Pucker, telah membuat perusahaan memiliki beragam alat baru untuk mengukur dan memantau dampak lingkungan mereka. Namun berbagai ukuran yang dipergunakan dalam pelaporan keberlanjutan masih bermasalah. Sebagai misal, jejak karbon perusahaan dalam Lingkup 1 dan 2 memang sudah banyak dilaporkan. Tetapi, sebagian besar emisi karbon sesungguhnya ada di Lingkup 3, dan di sini pula perusahaan masih kesulitan mengumpulkan data dan melaporkannya. Kompleksitas, ketiadaan alat, dan kurangnya pengukuran oleh pemasok di hulu dan pengguna di hilir—yang seharusnya bekerjasama dengan perusahaan pelapor—membuat kesulitan luar biasa untuk melengkapi profil emisi yang komprehensif.
Kelima, informasi yang membingungkan. Bahkan bagi konsumen yang peduli dengan isu keberlanjutan dan gigih mengejar informasi keberlanjutan, laporan keberlanjutan perusahaan seringkali membingungkan. Menurut Pucker, majoritas konsumen tidaklah mampu menafsirkan pernyataan bahwa satu jaket menghasilkan emisi sebesar 20 pon karbon dioksida, atau produksi dan perawatan (pencucian) dari sepasang celana akan menambahkan 48,9 gram fosfor ke lingkungan air tawar atau laut? Konsumen tidaklah memiliki titik acuan intuitif yang bisa membantu mereka memahami banyak ukuran dampak lingkungan yang dinyatakan di dalam laporan keberlanjutan—sebagaimana yang diminta oleh standar pelaporan.
Terakhir, pelaporan keberlanjutan di negara-negara berkembang belum mendapatkan perhatian yang memadai. Dalam dorongan para pemangku kepentingan atas pelaporan keberlanjutan, fokus utama agaknya masih pada perusahaan di AS dan Eropa, terutama yang sahamnya diperdagangkan secara publik. Namun, menurut Pucker, peningkatan konsumsi, emisi, dan dampak sosial terbesar dalam beberapa dekade mendatang akan terjadi di Tiongkok, India, dan Afrika. Apalagi, produsen di negara berkembang lebih beralih ke pasar domestik mereka sendiri untuk pertumbuhan. Karenanya, kalau sumberdaya global harus dilindungi dari beragam kerusakan, perusahaan di pasar-pasar tersebut perlu menjadi pengelola sumberdaya yang jauh lebih baik, dengan tata kelola yang lebih kuat. Itu juga berarti pengungkapan dampak lingkungan dan sosial perusahaan harus ditekankan di wilayah-wilayah tersebut.
*****
Dua tahun sejak Pucker menulis kritiknya yang tajam itu laporan PwC tersebut hadir. Dengan gambaran yang bias—yaitu hanya 50 perusahaan terbesar di setiap negara—saja kita bisa membaca bahwa pelaporan keberlanjutan masih sangat tertinggal. Mungkin kecuali butir pertama dan terakhir, seluruh kritik Pucker masih bisa dinyatakan berlaku. Memang kini bisa disaksikan negara-negara di Asia Pasifik menggunakan legislasi dan regulasi untuk menekan perusahaan untuk melakukan pelaporan keberlanjutan. Ini membuat perusahaan pelapor meningkat di setiap negara yang diteliti PwC. Tetapi soal batas ekologis, rantai pasokan/nilai, kompleksitas pengukuran, dan informasi yang membingungkan, tetap saja masih menjadi isu yang penting untuk diselesaikan.
Juga sangat penting untuk diperhatikan bahwa kecenderungannya adalah bahwa perusahaan-perusahaan yang tidak melantai di bursa, dan berukuran lebih kecil, cenderung lebih abai pada kinerja dan komunikasi keberlanjutan. Tentu saja dengan perkecualian bisnis-bisnis sosial. Tetapi, lantaran majoritas perusahaan di semua negara adalah bisnis komersial, dengan jumlah yang jauh lebih banyak daripada 50 teratas yang diteliti PwC itu, maka gambaran pelaporan keberlanjutan jelaslah lebih suram dibandingkan yang dipaparkan oleh laporan tersebut.
Bagaimana dengan di Indonesia? Perusahaan-perusahaan yang diteliti PwC di sini terutama menyebutkan bahwa mereka memanfaatkan standar dan kerangka GRI (80%), SDGs (86%), dan ISO (78%). Tetapi, sebagaimana yang saya amati, penyebutan itu tidaklah menjamin bahwa perusahaan benar-benar menggunakannya sebagaimana yang ditetapkan di dalam standar dan kerangka itu. Pengalaman saya memeriksa beragam laporan keberlanjutan perusahaan Indonesia mengajarkan bahwa prinsip-prinsip yang mendefinisikan isi dan kualitas laporan dari GRI tidaklah ditegakkan dengan disiplin. Perusahaan-perusahaan di Indonesia juga di antara yang paling sedikit memanfaatkan standar dan kerangka TFCD, SASB, UNGC, CDP dan IIRC. Demikian yang terungkap dari laporan PwC.
Perusahaan pelapor keberlanjutan sesungguhnya diminta untuk mengungkap target-target keberlanjutan jangka pendek, menengah, dan panjang. Di antara perusahaan dari ke-14 negara, perusahaan-perusahaan di Indonesia adalah di antara yang paling sedikit mengungkap itu. Untuk target jangka panjang, perusahaan Indonesia benar-benar berada di papan paling bawah. Dalam soal target Net Zero Emissions, proporsi perusahaan Indonesia yang mengungkapkannya berada di nomor 3 dari bawah—hanya menang dari Tiongkok dan Vietnam. Dan, ketika target tersebut dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan Science-based Target Initiative (SBTi), perusahaan Indonesia kembali menempati dasar klasemen.
Pekerjaan rumah di negeri sendiri untuk mendorong pelaporan keberlanjutan—apalagi yang mengatasi sejumlah isu yang diungkapkan Pucker—memang masih sangat berat. Tetapi tak ada jalan lain yang bisa ditempuh para promotor keberlanjutan perusahaan kalau kita ingin perusahaan-perusahaan dan Indonesia menjadi semakin mendekati cita-cita keberlanjutan. Pelaporan keberlanjutan harus diwajibkan untuk semakin banyak perusahaan, semakin dipastikan kebenaran isinya, dan semakin dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan oleh perusahaan dan para pemangku kepentingannya.
–##–
artikel ini juga dirilis di: https://hijauku.com/2023/07/28/tantangan-membangun-pelaporan-keberlanjutan-perusahaan/