← Seluruh

Keadilan Iklim: Konsep, Konteks, dan Kerjasama

Array
(
    [ID] => 33102
    [id] => 33102
    [title] => Jalal - Pembicara SIRD-1
    [filename] => Jalal-Pembicara-SIRD-1.webp
    [filesize] => 138404
    [url] => https://socialinvestment.id/wp-content/uploads/2024/07/Jalal-Pembicara-SIRD-1.webp
    [link] => https://socialinvestment.id/presentasi/materi-presentasi-sird-64/attachment/jalal-pembicara-sird-1/
    [alt] => 
    [author] => 1
    [description] => 
     => 
    [name] => jalal-pembicara-sird-1
    [status] => inherit
    [uploaded_to] => 33079
    [date] => 2024-07-05 02:17:25
    [modified] => 2024-07-05 02:17:25
    [menu_order] => 0
    [mime_type] => image/webp
    [type] => image
    [subtype] => webp
    [icon] => https://socialinvestment.id/wp-includes/images/media/default.png
    [width] => 1080
    [height] => 1418
    [sizes] => Array
        (
            [thumbnail] => https://socialinvestment.id/wp-content/uploads/2024/07/Jalal-Pembicara-SIRD-1-150x150.webp
            [thumbnail-width] => 150
            [thumbnail-height] => 150
            [medium] => https://socialinvestment.id/wp-content/uploads/2024/07/Jalal-Pembicara-SIRD-1-228x300.webp
            [medium-width] => 228
            [medium-height] => 300
            [medium_large] => https://socialinvestment.id/wp-content/uploads/2024/07/Jalal-Pembicara-SIRD-1-768x1008.webp
            [medium_large-width] => 768
            [medium_large-height] => 1008
            [large] => https://socialinvestment.id/wp-content/uploads/2024/07/Jalal-Pembicara-SIRD-1-780x1024.webp
            [large-width] => 780
            [large-height] => 1024
            [1536x1536] => https://socialinvestment.id/wp-content/uploads/2024/07/Jalal-Pembicara-SIRD-1.webp
            [1536x1536-width] => 1080
            [1536x1536-height] => 1418
            [2048x2048] => https://socialinvestment.id/wp-content/uploads/2024/07/Jalal-Pembicara-SIRD-1.webp
            [2048x2048-width] => 1080
            [2048x2048-height] => 1418
        )

)

Daftar Isi

oleh: Jalal – Chairperson Advisory Board, Social Investment Indonesia

 

Apa yang dimaksud dengan konsep keadilan iklim?

Keadilan iklim mengacu pada prinsip bahwa dampak perubahan iklim harus ditanggung secara adil dan merata, dengan mempertimbangkan tanggung jawab historis, kerentanan, dan kapasitas masing-masing pihak.

Konsep ini lahir dari ketidakadilan yang mendalam dalam krisis iklim. Negara-negara maju, yang telah mengeluarkan emisi gas rumah kaca (GRK) selama berabad-abad, dan mengalami kemajuan ekonomi yang luar biasa karena model pembangunan yang tinggi emisi itu, jelas lebih bertanggung jawab atas pemanasan global. Namun, negara-negara berkembang, dan negara-negara kepulauan-lah yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti kenaikan permukaan laut, kekeringan, dan badai ekstrem.

Keadilan iklim sangat penting dalam konteks mitigasi dan adaptasi iklim karena beberapa alasan.  Pertama, tanggung jawab yang adil.  Negara maju harus bertanggung jawab atas emisi masa lalu mereka dan membantu negara-negara berkembang dalam transisi menuju ekonomi rendah karbon. Ini termasuk pendanaan iklim, transfer teknologi, dan pembangunan kapasitas. 

Kedua, perlindungan bagi kelompok rentan.  Kebijakan mitigasi dan adaptasi iklim harus mempertimbangkan kebutuhan dan kerentanan kelompok yang paling terpinggirkan, seperti masyarakat adat, perempuan, dan anak-anak.  Pendekatan yang inklusif dan partisipatif sangat penting untuk memastikan bahwa semua suara didengar dan hak-hak dilindungi.

Ketiga, efektivitas yang lebih besar.  Upaya mitigasi dan adaptasi iklim akan lebih efektif jika dilakukan secara adil dan merata.  Ketika semua pihak merasa dilibatkan dan diuntungkan, mereka lebih cenderung untuk bekerja sama dan mengambil tindakan.

Keempat, keadilan sosial dan lingkungan yang lebih luas.  Keadilan iklim terkait erat dengan keadilan sosial dan lingkungan lainnya. Menangani perubahan iklim secara adil dapat membantu membangun masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan.

Beberapa hal bisa disebutkan sebagai contoh bagi penerapan keadilan iklim di level global.  Negara maju harus mengurangi emisi GRK mereka secara signifikan dan memberikan bantuan keuangan kepada negara-negara berkembang untuk melakukan hal yang sama; Investasi dalam energi terbarukan dan teknologi hemat energi/rendah emisi harus diprioritaskan di negara-negara berkembang; Sistem peringatan dini untuk bencana alam harus diperkuat di komunitas yang rentan, dan; Program adaptasi iklim harus dirancang dengan pelibatan penuh dari komunitas lokal.

Keadilan iklim jelas adalah prinsip fundamental dalam mengelola dampak perubahan iklim. Dengan memastikan transisi yang adil, kita dapat menghindari krisis iklim yang membahayakan, serta membangun masa depan yang lebih berkelanjutan dan tangguh bagi seluruh manusia.

Bagaimana perubahan iklim mempengaruhi berbagai komunitas atau individu?

Perubahan iklim membawa dampak yang beragam di berbagai komunitas dan individu di seluruh dunia, termasuk di Asia Tenggara dan Indonesia yang oleh IPCC telah dinyatakan sebagai salah satu wilayah yang paling rentan di hadapan krisis iklim. Dampak ini tidak hanya berbeda antar-wilayah, tetapi juga antar-kelompok masyarakat dalam wilayah yang sama.

Di daerah pesisir, kenaikan permukaan laut mengancam komunitas pesisir dengan abrasi pantai, banjir rob, dan intrusi air laut. Hal ini berakibat pada hilangnya tempat tinggal, lahan pertanian, dan infrastruktur. Contohnya di Indonesia, pulau-pulau kecil seperti di Kepulauan Seribu dan Nusa Tenggara terancam tenggelam.

Daerah pegunungan kini banyak mengalami kekeringan, mengganggu pasokan air bersih dan irigasi untuk pertanian. Di Indonesia, kekeringan yang berkepanjangan di Jawa dan Bali dapat berakibat pada krisis air dan kegagalan panen—yang sebetulnya sudah kita rasakan beberapa tahun belakangan.  Tidak sepenuhnya dijelaskan dengan perubahan iklim, namun jelas perubahan iklim menjadikannya bertambah parah.

Secara umum, perubahan pola curah hujan terkait perubahan iklim dapat menyebabkan kekeringan di beberapa wilayah dan banjir di wilayah lain. Hal ini berakibat pada kerusakan tanaman, infrastruktur, dan hilangnya mata pencaharian. Di Indonesia, pola musim yang tidak menentu di Indonesia dapat membingungkan para petani dalam bercocok tanam.  Kalender pranata mangsa tradisional yang tadinya efektif dipergunakan para petani untuk memandu waktu bercocok tanam sekarang tidak lagi bisa diandalkan.

Dampak yang berbeda terhadap kelompok-kelompok masyarakat juga jelas.  Petani adalah salah satu kelompok yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Kekeringan, banjir, dan hama yang terkait dengan perubahan iklim dapat menyebabkan gagal panen dan hilangnya pendapatan dan turunnya kesejahteraan dalam jangka panjang. Karenanya, program ketahanan pangan dan adaptasi iklim untuk petani perlu ditingkatkan.

Kenaikan permukaan laut dan perubahan pola arus laut dapat mengganggu aktivitas nelayan dan hasil tangkapan mereka. Komunitas nelayan di pesisir Jawa hingga Papua  perlu dibantu untuk beradaptasi dengan kondisi laut yang berubah ini.

Perempuan seringkali memiliki peran paling penting dalam ketahanan pangan dan pengelolaan air di komunitas mereka, namun peran penting tersebut kerap gagal diapresiasi dengan memadai, misalnya karena kepemilikan properti yang jauh lebih banyak atas nama lelaki.  Dampak perubahan iklim dapat memerparah ketidaksetaraan gender ini dan membuat perempuan lebih rentan terhadap kemiskinan dan kelaparan. Jelas sekali diperlukan perspektif pemberdayaan perempuan dalam hal adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Masyarakat adat memiliki ketergantungan yang kuat pada sumberdaya alam dan memiliki  pengetahuan tradisional yang luar biasa tentang pengelolaan lingkungan.  Dampak perubahan iklim bisa menggerogoti sumberdaya alam yang menjadi sumber penghidupan mereka, sehingga dapat mengancam budaya dan cara hidup mereka.  Perlu ada pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dalam menghadapi perubahan iklim.

Sangatlah penting untuk memahami keragaman dampak ini dan mengembangkan solusi yang adil dan efektif untuk mengatasinya. Solusi ini harus mempertimbangkan kebutuhan dan konteks spesifik dari setiap komunitas dan kelompok masyarakat.  Penting juga untuk terus meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang perubahan iklim kepada seluruh pihak, serta mendorong aksi kolektif untuk mengatasinya.

Bagaimana keadilan iklim berkaitan dengan masalah sosial?

Seperti yang telah saya sampaikan ketika menjawab pertanyaan pertama, keadilan iklim bukan hanya tentang perubahan iklim, tetapi juga tentang keadilan sosial, termasuk kesetaraan di antara berbagai kelompok.  Konsep ini menegaskan bahwa tanpa intervensi yang serius dampak perubahan iklim tidak ditanggung secara merata, sehingga kelompok rentan seperti negara miskin, komunitas adat, dan masyarakat miskin menjadi yang paling menderita. Keadilan iklim berusaha untuk menganalisa dan mengatasi ketidakadilan ini dengan memastikan bahwa semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk selamat dari dan beradaptasi dengan perubahan iklim.

Bagaimana keadilan iklim terkait dengan isu kemiskinan? Negara miskin dan komunitas rentan memiliki kapasitas yang lebih rendah untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim seperti kekeringan, banjir, dan kenaikan permukaan laut.   Hal ini, tentu saja, dapat memerparah kemiskinan dengan mengganggu mata pencaharian, merusak infrastruktur, dan meningkatkan kerawanan pangan.      Keadilan iklim menuntut negara-negara kaya untuk membantu negara-negara miskin dalam membangun ketahanan terhadap perubahan iklim, termasuk dengan menyediakan dana untuk adaptasi dan mitigasi.  Contohnya, dana adaptasi perubahan iklim yang membantu negara-negara berkembang dalam melaksanakan projek-projek adaptasi yang konkret, serta terkait perlindungan kesejahteraan, di tingkat lokal.

Keadilan iklim jelas juga terkait dengan ketimpangan ekonomi.  Negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan raksasa—terutama yang memroduksi batubara, minyak, gas, dan semen—adalah penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar.  Namun, dampak dari perubahan iklim paling banyak ditanggung negara-negara dan masyarakat miskin.  Hal ini memerparah ketimpangan ekonomi global yang sebetulnya sudah sangat memrihatinkan sebelum krisis iklim membuatnya semakin buruk.     Oleh karenanya, konsep keadilan iklim menyerukan transisi yang adil menuju ekonomi rendah karbon, dengan melindungi masyarakat yang paling rentan dari dampak ekonomi dari transisi ini.   Masyarakat, pekerja di sektor energi, serta daerah penghasil batubara dan migas, yang paling terdampak oleh transisi ke energi terbarukan, perlu mendapatkan sumber kesejahteraan, pelatihan dan dukungan untuk beralih ke pekerjaan baru, dan penghasilan daerah yang baru.

Akses terhadap sumberdaya juga menjadi perhatian penting dalam keadilan iklim.  Perubahan iklim dapat membatasi dan menurunkan akses terhadap sumberdaya alam seperti air, tanah, dan hutan, yang penting untuk kelangsungan hidup masyarakat miskin dan komunitas adat.   Hal ini dapat memicu  perpindahan penduduk (climate refugee) dalam skala besar, bahkan konflik sumberdaya.  Karenanya, keadilan iklim sangat menekankan hak yang setara atas sumberdaya alam dan memastikan bahwa masyarakat yang paling rentan tidak terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumberdaya alam dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam pengelolaan itu.  Melibatkan masyarakat adat, dan masyarakat lokal secara umum, dalam pengambilan keputusan tentang projek pembangunan yang dapat berdampak pada tanah dan sumberdaya mereka, karenanya menjadi semakin penting di hadapan krisis iklim.

tantangan utama yang dihadapi dalam mewujudkan keadilan iklim

Mewujudkan keadilan iklim di Indonesia menghadirkan berbagai tantangan kompleks yang saling terkait.  Tantangan pertama terkait dengan kesenjangan emisi dan dampak krisis iklim.  Indonesia, sebagai negara berkembang, memiliki emisi gas rumah kaca (GRK) per kapita yang lebih rendah dibandingkan negara-negara maju.  Namun, dampak perubahan iklim di Indonesia lebih parah, seperti kenaikan permukaan laut, kekeringan, dan banjir.  Kesenjangan juga terjadi di dalam negeri.  Kelompok-kelompok masyarakat rentan—seperti masyarakat adat, mereka yang tinggal di pulau-pulau kecil, dan nelayan—lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim. Mereka seringkali memiliki sumberdaya dan akses yang terbatas untuk beradaptasi dan membangun ketahanan.

Tantangan kedua terkait dengan beban ekonomi dan pembangunan.  Transisi dari energi fosil ke energi terbarukan jelas membutuhkan investasi yang sangat besar.  Walaupun dalam jangka panjang manfaatnya tidaklah terbantahkan, namun investasi ini dapat membebani ekonomi dalam jangka pendek dan menengah, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia.  Peningkatan emisi seringkali terkait dengan agenda-agenda pembangunan yang sedang giat dilaksanakan, seperti industrialisasi dan pembangunan infrastruktur. Menyeimbangkan upaya pengurangan emisi dengan kebutuhan industrialisasi dan infrastruktur menjadi tantangan besar di Indonesia, apalagi mengingat beragam teknologi rendah emisi majoritasnya berasal dari negara-negara maju, yang harganya tidaklah murah.

Kurangnya kesadaran dan kapasitas secara umum adalah tantangan ketiga.  Masih banyak masyarakat Indonesia yang belum memahami dampak serius perubahan iklim dan urgensi untuk bertindak sesuai dengan posisinya masing-masing.  Konsumen di Indonesia, misalnya, majoritasnya belum menimbang dampak iklim ketika melakukan pembelian.  Demikian juga, produsen-produsen di Indonesia—termasuk perusahaan-perusahaan berskala besar—belum juga melakukan mitigasi dan adaptasi yang sesuai dengan tanggung jawab dan kapasitas mereka.  Keterbatasan sumberdaya, pengetahuan teknis, dan SDM di tingkat lokal, bahkan nasional, bagaimanapun, menghambat upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang efektif.

Keempat, terkait dengan sumber ekonomi dan tata kelolanya.  Ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada industri ekstraktif seperti batubara dan kelapa sawit, yang merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca yang signifikan.  Untuk bisa menurunkan emisi dari beragam sektor tersebut, sangatlah dibutuhkan orkestrasi pembangunan rendah karbon yang rapi.  Sayangnya, kurangnya koordinasi antar-sektor dan antar-tingkatan pemerintahan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan iklim yang terpadu dan berkeadilan.  Kerjasama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil juga masih harus sangat ditingkatkan.  Demikian juga, komitmen dan dukungan dari negara-negara maju dalam pendanaan dan transfer teknologi untuk membantu Indonesia dalam mencapai target emisi—sehingga bisa benar-benar sesuai dengan Persetujuan Paris yaitu NZE di tahun 2050—masih perlu ditingkatkan perwujudannya.

Mengingat beragam tantangan tersebut, mewujudkan keadilan iklim di Indonesia membutuhkan upaya kolektif, terstruktur, dan serius dari seluruh pihak. Beberapa hal berikut mungkin diperlukan.  Meningkatkan kesadaran dan pemahaman melalui edukasi publik tentang perubahan iklim dan pentingnya transisi menuju pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan.  Memerkuat kapasitas lokal.  dengan pelatihan dan dukungan kepada masyarakat lokal dan pemerintah daerah untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.  Transisi energi yang adil dengan memertimbangkan dampak sosial dan ekonomi bagi kelompok-kelompok rentan, serta memberikan akses energi yang merata bagi semua.

Berikutnya, kebijakan dan tata kelola Iklim yang berkeadilan, yang dapat dicapai dengan merumuskan dan menerapkan kebijakan iklim yang bukan saja komprehensif, namun juga berkeadilan, di seluruh sektor dan tingkatan, dengan mempertimbangkan kebutuhan dan masukan beragam kelompok rentan.  Memerkuat kerjasama internasional untuk meningkatkan pendanaan, transfer teknologi, dan akses terhadap sumberdaya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam upaya penanggulangan perubahan iklim.

Penting untuk selalu mengingatkan para pemangku kepentingan bahwa keadilan iklim bukan hanya tentang pengurangan emisi GRK, tetapi juga tentang memastikan bahwa transisi menuju masa depan yang berkelanjutan dan berketahanan iklim dilakukan secara adil dan bermanfaat bagi semua orang.

Upaya-upaya lokal dan global untuk mewujudkan keadilan iklim

Upaya-upaya lokal dan global untuk mencapai keadilan iklim menawarkan banyak pelajaran berharga dalam melindungi kelompok rentan seperti masyarakat adat, perempuan, dan anak-anak. Mungkin ada lima hal yang paling menonjol buat siapapun yang ingin memerjuangkan keadilan iklim di Indonesia.

Pertama, pengakuan dan penghormatan terhadapa hak-hak masyarakat.  Upaya lokal seperti pemetaan wilayah adat dan pengakuan hak-hak tradisional oleh pemerintah menunjukkan pentingnya pengakuan hak asasi manusia sebagai dasar keadilan iklim.  Di tingkat global, Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan Lingkungan Hidup (2012) bisa menjadi landasan penting bagi partisipasi kelompok rentan dalam pengambilan keputusan terkait iklim.  Tanpa pengakuan dan alas hak ini, keadilan iklim mustahil diwujudkan.  

Kedua, pendekatan partisipatif dan inklusif.  Prakarsa kesetaraan gender dalam mitigasi dan adaptasi iklim di tingkat lokal, seperti yang ditunjukkan melalui kelompok-kelompok tani perempuan di Indonesia, menunjukkan kekuatan partisipasi perempuan dalam meningkatkan ketahanan pangan sekaligus pertanian ramah iklim.  Sementara itu, berbagai forum pemuda internasional tentang perubahan iklim telah mendorong partisipasi aktif anak-anak dan pemuda dalam merumuskan solusi.

Ketiga, pengetahuan lokal dan kearifan tradisional.  Praktik pertanian tradisional yang dijalankan oleh masyarakat adat di seluruh dunia, seperti sistem agroforestri dan pengelolaan air, sebetulnya telah menawarkan solusi berkelanjutan yang perlu dilestarikan dan diintegrasikan dengan pendekatan yang lebih modern untuk membentuk pertanian cerdas iklim (climate-smart agriculture). 

Keempat, akses yang adil terhadap sumberdaya, termasuk sumberdaya finansial.  Mekanisme pendaan global untuk Iklim perlu didesain dengan mempertimbangkan kebutuhan dan prioritas kelompok rentan, memastikan akses yang adil terhadap pendanaan adaptasi—yang sangat diperlukan oleh masyarakat sesegera mungkin—dan mitigasi.  Di tingkat lokal, program pengembangan kapasitas dan pemberdayaan ekonomi bagi kelompok rentan seperti perempuan dan pemuda dapat meningkatkan ketahanan mereka terhadap dampak perubahan iklim.  Pendidikan iklim, yang banyak dibantu dengan pendanaan asing, menyasar anak-anak dan pemuda sangatlah diperlukan untuk menyiapkan generasi yang lebih mampu melakukan mitigasi dan adaptasi dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.

Terakhir, beragam bentuk kerjasama.  Kolaborasi di antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, sektor swasta, dan komunitas lokal sangat penting untuk merancang dan menerapkan solusi yang efektif dan adil.  Beragam kemitraan global memfasilitasi pertukaran pengetahuan dan menyalurkan berbagai bentuk sumberdaya lainnya untuk mendukung upaya adaptasi di negara-negara berkembang.  Dengan besarnya tantangan krisis iklim, mustahil penyelesaiannya bisa diperoleh dari hanya satu negara, sektor, apalagi individu.  Seluruh pihak harus mengikatkan diri dalam upaya kolektif mencapai keadilan iklim ini.

 

Tulisan ini adalah jawaban atas pertanyaan yang dikirimkan oleh Indonesia untuk Kemanusiaan dan akan disampaikan di dalam serial podcast Green Culture pada tanggal 14 Mei 2024.