← Seluruh

Bukan Cuma Hitungan Untung Rugi

Daftar Isi

Oleh: Jalal
Chairperson of Advisory Board – Social Investment Indonesia

 

Problema Keberlanjutan Perkotaan

Awal minggu lalu saya diundang untuk mendiskusikan bagaimana metodologi Social Return on Investment (SROI) dapat meningkatkan upaya membangun kota berkelanjutan. Sebagai seseorang yang telah menggunakan SROI selama lebih dari satu dekade untuk menganalisa dampak sosial dan lingkungan dari projek-projek yang dilakukan oleh perusahaan, pertanyaan yang diajukan dalam The Seventh Global Conference ESG Management and Sustainability sangatlah menarik. Saya perlu melakukan kajian atas berbagai literatur untuk dapat menjawab apakah SROI telah digunakan secara luas dalam evaluasi dan perencanaan pembangunan perkotaan berkelanjutan.

Pembangunan perkotaan yang berkelanjutan sangatlah penting karena mayoritas penduduk dunia kini tinggal di perkotaan. Dan, di masa depan proporsi tersebut akan terus bertambah karena pertumbuhan alami penduduk kota, perpindahan penduduk, maupun perubahan dari pedesaan menjadi perkotaan. Sebagaimana disoroti oleh Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), permasalahan keberlanjutan perkotaan dan komunitas sangatlah banyak dan kompleks. SDG11 mencakup 7 Target dan 3 Cara Implementasi, termasuk perumahan yang aman dan terjangkau, sistem transportasi berkelanjutan, urbanisasi inklusif, mengurangi dampak bencana alam, mengurangi dampak lingkungan perkotaan, dan ruang publik hijau yang inklusif.

Di Indonesia, jelas bahwa kota dan penduduknya mempunyai tantangan besar yang harus diatasi sebelum kota dianggap benar-benar berkelanjutan. Menurut laporan SDGs terbaru yang diterbitkan oleh SDG Index pada bulan Juni lalu, SDG11 termasuk di antara lima Tujuan dengan kinerja terendah di Indonesia, dan kecenderungannya stagnan. Situasi ini memerlukan perhatian segera, atau kita akan sangat kesulitan memerbaikinya di masa mendatang.

Jakarta, tempat saya menghabiskan sebagian besar waktu saya dan kemungkinan tidak lagi menjadi ibu kota Indonesia dalam waktu dekat, menghadapi banyak permasalahan mendesak. Kota ini merupakan salah satu kota dengan polusi udara terburuk di dunia, dan karenanya saya adalah salah satu dari 32 orang yang menggugat pemerintah untuk memerbaikinya. Kawasan kumuh masih terdapat di banyak tengah dan sudut kota. Jakarta juga terkenal dengan kemacetan lalu lintasnya, apalagi pada musim hujan ketika banjir memerburuk masalah ini. Sebagai pendukung Koalisi Pejalan Kaki (KoPK) dan salah satu pendiri Gerakan Disabilitas dan Lansia (DILANS), saya sadar betul bahwa Jakarta belum menjadi kota yang ramah bagi penyandang disabilitas. Permasalahan serupa juga terjadi di kota-kota lain di Indonesia, meskipun tingkatannya berbeda-beda.

Pada akhir Juli lalu berita di berbagai media massa mempertanyakan kelayakan projek kereta cepat Jakarta-Bandung. Alasannya, diperlukan waktu hampir 40 tahun untuk menutup investasi yang telah dikeluarkan berdasarkan perhitungan harga tiket dan jumlah penumpang saat ini. Walaupun saya punya banyak catatan atas pengelolaan lingkungan dan sosial atas projek tersebut, namun membahas projek infrastruktur perkotaan dari sudut pandang komersial semata seperti yang ditunjukkan pada berita-berita itu jelas sangat keliru.

Jika cara evaluasi seperti ini terus berlanjut, upaya kita untuk membangun perkotaan yang berkelanjutan jelas tidak akan berjalan bisa secepat yang kita perlukan. Untungnya, ada cara yang lebih baik untuk mengevaluasi manfaat projek pembangunan: dengan memahami social value atau manfaat sosial, yang mengacu pada keseluruhan manfaat yang dirasakan oleh berbagai pemangku kepentingan akibat perubahan yang ditimbulkan oleh sebuah projek atau program.

Kalau kita bertanya kepada para penumpang kereta berkecepatan tinggi itu apa saja jenis manfaat yang mereka rasakan, dan berapa nilai monetisasi atas setiap jenis manfaat itu, jelas kita akan menemukan bahwa manfaat sosial dari projek tersebut jauh melebihi harga tiket dikalikan jumlah penumpang seperti yang didiskusikan di Senayan. Manfaat tersebut antara lain setidaknya kecepatan sampai di tempat tujuan, berkurangnya stres akibat kemacetan yang selama ini dirasakan saat melakukan perjalanan antar dua kota tersebut, serta waktu yang lebih banyak untuk bekerja atau sekadar bersenang-senang di tempat tujuan. Dan itu baru manfaat yang dirasakan penumpangnya. Dengan memasukkan perspektif berbagai penerima manfaat lain, yang jenis dan jumlahnya sangatlah banyak, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai totalitas manfaat proyek tersebut.

 

Social Return on Investment

Social Value International (SVI) telah menetapkan delapan prinsip untuk mengukur nilai sosial. Prinsip-prinsip ini di antaranya adalah melibatkan konsultasi langsung dengan pemangku kepentingan, memahami perubahan, menilai hal-hal yang penting, dan memverifikasi hasil. Pada akhirnya, prinsip-prinsip ini memandu kita dalam mengoptimalkan manfaat sosial dengan menerapkan perubahan-perubahan penting berdasarkan informasi yang telah dikumpulkan.

SROI adalah kerangka kerja yang dirancang untuk memahami konsep nilai yang lebih luas. Hal ini bukan sekedar menghasilkan uang dari perubahan, seperti yang sering dirasakan di Indonesia, namun juga mendorong dampak positif terkait keadilan dan kesejahteraan masyarakat, serta kelestarian lingkungan. SROI dapat digunakan untuk memahami perubahan sosial baik dari dampak projek maupun operasional organisasi. SROI juga dapat digunakan baik sebagai alat evaluasi dan untuk peramalan selama perencanaan.

Kerangka kerja SROI melibatkan enam proses. Dimulai dari menentukan ruang lingkup, mengidentifikasi pemangku kepentingan, memetakan hasil, menilai hasil, menentukan dampak, menghitung SROI, dan pada akhirnya melaporkan dan memanfaatkan hasil untuk perbaikan. Dan saya harus menekankan bahwa SROI sesungguhnya lebih kompleks daripada yang selama ini banyak disangka oleh kita di Indonesia. Dalam menggunakan SROI kita memerlukan pertimbangan terhadap berbagai jenis hasil dan dampak, periode waktu yang berbeda-beda, dan pemeriksaan yang cermat terhadap berbagai jenis manfaat yang dinyatakan oleh pemangku kepentingan. Kompleksitasnya bahkan akan terus meningkat ketika memperhitungkan konsekuensi yang tidak diinginkan dari suatu intervensi dan memahami perubahan sosial dari berbagai intervensi.

Popularitas SROI sebagai alat perencanaan dan evaluasi dampak di tingkat global agaknya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, SROI bersifat komprehensif, holistik, dan menggunakan data kualitatif dan kuantitatif. Kedua, pendekatan ini memertimbangkan seluruh pemangku kepentingan, memberikan gambaran lengkap mengenai perspektif penerima manfaat dan mendorong kolaborasi. Ketiga, penilaian monetisasinya benar-benar membantu pengambilan keputusan. Keempat, metodologinya transparan dan mudah diakses oleh siapa saja yang memiliki koneksi Internet. Kelima, hasilnya memungkinkan penyampaian cerita tentang manfaat komprehensif dan mendukung advokasi kebijakan. Terakhir, SROI membantu mengidentifikasi aspek dan area berkinerja tinggi yang perlu ditingkatkan, sehingga mendorong inovasi di banyak area lingkungan dan sosial.

Namun, agar menjadi seimbang, saya juga hendak menyatakan bahwa SROI juga menghadapi tantangan. Mengidentifikasi pemangku kepentingan dan membangun konsensus adalah hal yang sulit. Pengumpulan dan analisis data melibatkan berbagai tantangan, mulai dari kuantifikasi hingga atribusi. Monetisasi dan penetapan tingkat diskon bisa jadi rumit, dan proyek jangka panjang menambah kesulitan penilaian. Banyak yang menganggap laporan SROI sulit untuk dibandingkan, bahkan untuk proyek serupa. Selain itu, SROI dapat memakan waktu dan biaya, sehingga menimbulkan perdebatan mengenai nilainya. Terakhir, terdapat risiko membesar-besarkan hasil positif dan meremehkan hasil negatif akibat konflik kepentingan di antara para penilai.

 

SROI untuk Perkotaan yang Berkelanjutan

Di Indonesia, popularitas SROI didukung secara signifikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang mewajibkan penggunaannya untuk menilai kinerja pengelolaan lingkungan dan sosial (PROPER) perusahaan. Akibatnya, SROI lebih dikenal dan dimanfaatkan di dunia usaha dibandingkan oleh lembaga-lembaga pemerintah untuk merencanakan dan mengevaluasi projek pembangunan. Padahal, seharusnya tidaklah demikian. Di banyak negara, SROI ternyata telah banyak dimanfaatkan oleh pemerintah di tingkat pusat maupun daerah untuk menilai kebijakan.

Saya menemukan dan membaca lebih dari 20 kasus yang sangat menarik terkait bagaimana SROI dimanfaatkan oleh pemerintah pusat dan daerah, baik sebagai alat perencanaan maupun evaluasi, mulai dari perbandingan teknologi pengelolaan sampah hingga dampak perbaikan perpustakaan bagi masyarakat. Tiga studi kasus berikut ini adalah di antara yang menurut saya paling menarik untuk menunjukkan penggunaan SROI dalam pembangunan perkotaan:

Pertama, makalah Social Return on Investment Analysis of an Urban Greenway (Hunter, dkk., 2022) yang menjelaskan tentang penghijauan perkotaan di Connsway, Belfast. Projek ini menunjukkan beragam manfaat dari penghijauan di perkotaan, termasuk peningkatan interaksi sosial, peningkatan pariwisata, perbaikan lingkungan, dan kesehatan masyarakat yang lebih baik. Rasio SROI berkisar antara 2,9:1 hingga 5,8:1. Kalau banyak kota berpikir bahwa membuat penghijauan itu mahal, jelas itu hanya karena pemerintah kotanya hanya melihat dari sudut pandang pengeluarannya belaka.

Kedua, makalah Using Social Return on Investment Analysis to Calculate the Social Impact of Modified Vehicles for People with Disability (Hutchinson, dkk., 2020), yang menjelaskan tentang kebijakan modifikasi kendaraan untuk penyandang disabilitas di Australia. Ketika SROI digunakan pemerintah federal untuk mengevaluasi manfaat dari memodifikasi kendaraan untuk kelompok rentan ini, rasio tertinggi adalah $17,32 untuk setiap $1 yang diinvestasikan, sedangkan rasio terendahnya adalah $2,78. Penyandang disabilitas yang menjadi sangat terbantu mobilitasnya, ternyata menjadi warga kota yang jauh lebih produktif, dan benar-benar bisa berkontribusi pada pembangunan kota di mana mereka tinggal.

Ketiga, makalah Measuring the Social Return on Investment of Community Sport and Leisure Facilities (Davies, dkk., 2021) menjelaskan tentang bagaimana pemerintah kota Sheffield membangun gedung olahraga dan fasilitas hiburan untuk masyarakatnya. Penilaian yang dilakukan menunjukkan bahwa nilai SROI berkisar antara £1,20 hingga £3,42 untuk setiap £1 yang dibelanjakan. Lagi-lagi, investasi pemerintah kota tersebut terbayar dengan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat penggunanya.

Kasus-kasus ini menggambarkan bahwa ketika manfaat sosial dievaluasi dari sudut pandang seluruh pemangku kepentingan, pemahaman kita menjadi lebih komprehensif dan kita bisa menghindari analisis kelayakan yang sempit. Dari ketiga kasus itu juga kita bisa belajar soal apa saja manfaat yang dilaporkan pada masing-masing fasilitas lingkungan dan sosial yang dibangun oleh pemerintah kota, serta kelompok-kelompok pemanfaatannya. Kalau pembangunan yang sama dilakukan di kota-kota lain, termasuk di Indonesia, jenis manfaatnya mungkin mirip, tetapi jenis dan jumlah penerima manfaatnya, serta monetisasi manfaat yang mereka laporkan, bisa jadi berbeda. Namun, dugaan saya, dengan masih minimnya fasilitas di perkotaan, maka manfaat yang dilaporkan akan lebih besar lagi dibandingkan pada ketiga kasus itu.

Kota dan komunitas yang berkelanjutan kini menjadi perhatian besar bagi banyak pemangku kepentingan. Standar ISO seperti ISO 37120, ISO 37122, dan ISO 37123 telah dikembangkan untuk memandu pembangunan perkotaan yang berkelanjutan, cerdas, dan berketahanan. Di awal tahun 2024, dunia juga melihat draft ISO 37125 tentang indikator lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, and governance, disingkat ESG) untuk perkotaan yang berkelanjutan telah diselesaikan draftnya. Di sisi lain, kita melihat pertumbuhan pesat dalam obligasi ramah lingkungan, sosial, dan berkelanjutan untuk membiayai projek-projek perkotaan yang berkelanjutan. ESG jelas akan menjadi pertimbangan yang semakin penting dalam pembiayaan perkotaan di masa mendatang.

Demikian juga, membuktikan dampak keberlanjutan pembangunan perkotaan akan menjadi semakin penting. Dan, seperti yang ditunjukkan oleh kasus-kasus di atas, SROI adalah alat yang berharga untuk menilai kinerja projek-projek perkotaan berkelanjutan. Ini tentu dapat membantu pemerintah kota menemukan sumber-sumber pendanaan yang inovatif, berbasis ESG atau bahkan impact investing. Oleh karena itu, saya mendorong kota-kota di Indonesia untuk memertimbangkan penggunaan SROI untuk memandu dan menunjukkan kemajuan menuju pembangunan perkotaan yang lebih berkelanjutan.