← Seluruh

Pengelolaan Dampak Sosial oleh Perusahaan, Kelindan antara Manfaat untuk Masyarakat dan Kinerja Finansial

[debug_author_post]

Daftar Isi

Oleh: Jalal
Chairperson of Advisory Board – Social Investment Indonesia

 

Penekanan pada Dampak Sosial Perusahaan

Dalam era globalisasi dan teknologi yang membuat seluruh dunia menjadi semakin terkoneksi, peran bisnis jelas tidak bisa lagi hanya sebatas menciptakan keuntungan finansial. Dunia modern telah mengubah cara kita melihat perusahaan. Mereka bukan lagi entitas yang beroperasi dalam ruang hampa, tetapi adalah bagian integral dari masyarakat yang mereka layani, juga berada pada lingkungan alam di mana mereka berada. Dari lingkungan alam hingga komunitas lokal, dampak bisnis bisa dirasakan di setiap sudut kehidupan manusia. Di sinilah konsep corporate social impact (CSI) menjadi relevan. Dan, sungguh menyenangkan ketika saya diminta untuk memberikan kuliah tentang CSI di hadapan mahasiswa Sustainability Executive MBA ITB pada tanggal 3 Mei 2025 lalu.

Tidak hanya sekadar istilah popular, CSI—yang harus saya tekankan bukanlah singkatan yang sudah berlaku luas—adalah pendekatan strategis yang menempatkan dampak sosial dan lingkungan sebagai bagian tak terpisahkan dari operasi bisnis. Ini adalah jawaban atas tantangan dunia modern: bagaimana perusahaan dapat berkembang sambil memberikan kontribusi positif bagi Bumi dan masyarakat?

Konsep CSI sendiri jelas lahir dari rahim tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR (Corporate Social Responsibility). Pada awalnya, CSR sering dipandang oleh perusahaan sebagai aktivitas tambahan, seperti donasi kepada masyarakat lokal atau program penghijauan sekali waktu. Namun, seiring waktu, pandangan ini mulai bergeser. Kini, perusahaan dituntut untuk tidak hanya “memberi kembali” kepada masyarakat, tetapi juga menyelaraskan tujuan bisnis mereka dengan solusi atas masalah-masalah global. CSR sendiri arti sebenarnya adalah tanggung jawab atas dampak, sehingga penekankan pada dampak sebetulnya tak diperlukan bila saja semua pihak belajar dengan benar apa maknanya. Namun, lantaran banyaknya penyelewengan, maka CSI yang menekankan pada dampakpun diperkenalkan.

Wujud CSI pun menjadi jelas. Misalnya, perusahaan energi tidak cukup hanya menyumbangkan uang untuk projek lingkungan; mereka harus secara aktif mengurangi emisi karbon mereka sendiri dan berinvestasi dalam energi terbarukan. Sementara, perusahaan makanan dan minuman tak cukup sekadar menurunkan bahaya dari kandungan gula, lemak, atau garam yang berlebihan, mereka juga perlu mengedukasi konsumennya soal keamanan volume konsumsi, serta semakin membuat makanan dan minuman mereka berisikan nutrisi yang makin baik. Ini adalah tentang menciptakan dampak yang nyata, terukur, dan berkelanjutan.

Salah satu aspek penting dari CSI adalah pemahaman bahwa dampak sosial tidak hanya berupa inisiatif sporadis, tetapi elemen inti dari strategi bisnis. Perusahaan yang sukses dalam mengintegrasikan CSI ke dalam operasi mereka sering kali melihat hasil yang signifikan. Mereka menarik pelanggan yang sadar lingkungan dan sosial, karyawan yang ingin bekerja untuk perusahaan dengan nilai-nilai kuat, dan investor yang mencari peluang menanamkan modal dalam jangka panjang. Contoh favorit saya, Patagonia, adalah sebuah perusahaan pakaian luar ruangan yang telah lama dikenal karena komitmennya terhadap lingkungan. Mereka tidak hanya menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan, tetapi juga aktif dalam advokasi kebijakan iklim. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan reputasi merek mereka tetapi juga terus memimpin di pasar yang semakin peduli terhadap isu-isu lingkungan. Sayangnya, Patagonia belum membuka peluang investor untuk menanamkan modalnya di situ.

 

Proses Manajemen Dampak Sosial

Untuk menciptakan dampak sosial yang efektif, perusahaan tentu saja harus terlebih dahulu memahami jenis-jenis dampak yang mereka hasilkan. Ada berbagai kategori dampak yang perlu dipertimbangkan. Pertama, ada dampak lingkungan, yang mencakup segala sesuatu mulai dari pengurangan emisi karbon hingga perlindungan keanekaragaman hayati. Kedua, ada keadilan sosial, yang mencakup hak-hak pekerja, inklusi, dan penghapusan diskriminasi. Ketiga, ada kontribusi ekonomi, seperti penciptaan lapangan kerja dan dukungan terhadap usaha kecil. Terakhir, ada investasi sosial, yang mencakup berbagi manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi lewat projek-projek pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Setiap kategori ini memiliki bobot yang berbeda-beda di mata pemangku kepentingan, tergantung pada konteks industri dan wilayah geografis perusahaan.

Untuk mengidentifikasi mana yang paling relevan bagi bisnis mereka, perusahaan perlu melakukan apa yang disebut materiality assessment. Proses ini melibatkan identifikasi isu-isu yang paling penting bagi bisnis dan pemangku kepentingannya. Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan manufaktur beroperasi di daerah dengan tingkat polusi udara yang tinggi, maka pengurangan emisi karbon mungkin menjadi prioritas utama—karena akan sangat menentukan kelancaran operasinya di tingkat lokal. Di sisi lain, jika perusahaan tersebut berbasis di komunitas pedesaan dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, maka fokusnya mungkin pada penciptaan lapangan kerja dan pengembangan ekonomi lokal yang benar-benar bisa mengangkat kondisi ekonomi kelompok miskin. Materiality assessment ini sangat penting karena membantu perusahaan memfokuskan upaya mereka pada area yang benar-benar berdampak besar, termasuk dan terutama menemukan apa yang biasa disebut oleh IFC sebagai quick impact projects—projek-projek yang bisa menjawab kebutuhan masyarakat dalam waktu relatif singkat, dan membawa manfaat operasional dan reputasional untuk perusahaan.

Selain itu, tanggung jawab perusahaan terhadap pekerja dan komunitas juga tidak boleh diabaikan. Salah satu elemen kunci dari CSI adalah memastikan bahwa perusahaan tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar pekerja, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang aman, inklusif, dan mendukung pertumbuhan profesional. Ini jelas melampaui debat soal apakah perusahaan harus membayar pekerja sesuai UMR atau tidak. Perusahaan global seperti Salesforce telah menjadi teladan dalam hal ini. Mereka secara rutin melakukan audit internal untuk memastikan tidak ada kesenjangan gaji berdasarkan gender atau ras. Selain itu, mereka juga menyediakan program pelatihan dan pengembangan karier yang membantu karyawan tumbuh bersama perusahaan. Hasilnya? Karyawan merasa lebih termotivasi dan loyal, yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas dan retensi. Banyak perusahaan di Indonesia—walaupun belum sekomprehensif Salesforce—sudah memiliki kebijakan dan praktik ketenagakerjaan yang unggul.

Di sisi lain, interaksi perusahaan dengan komunitas lokal juga harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Projek-projek besar seperti pembangunan pabrik atau infrastruktur sering kali membawa risiko bagi lingkungan dan penduduk sekitar. Untuk mengatasinya, perusahaan harus memastikan bahwa dampak negatif diminimalkan, sementara dampak positif—seperti penciptaan lapangan kerja dan peningkatan akses ke layanan dasar—dimaksimalkan. Contohnya, Coca-Cola telah meluncurkan program Water Replenishment di seluruh dunia, yang bertujuan untuk mengembalikan air yang digunakan dalam produksi mereka ke alam. Program ini tidak hanya membantu menjaga keberlanjutan sumberdaya air tetapi juga meningkatkan hubungan perusahaan dengan komunitas di sekitar wilayah operasinya. Pada dasarnya, sumberdaya terbarukan seperti air sesungguhnya memang tidak boleh diambil lebih banyak daripada yang dapat dikembalikan oleh perusahaan. Dari sudut pandang dampak, water balance adalah batasan minimum operasi perusahaan apapun, sementara kalau mau lebih baik lagi, seharusnya mereka bahkan mengupayakan water positive.

 

CSV, B Corp, dan Bisnis Sosial

Dalam beberapa tahun terakhir, salah satu evolusi paling menarik dalam dunia tanggung jawab sosial perusahaan adalah konsep Creating Shared Value (CSV), yang diperkenalkan oleh Michael E. Porter dan Mark R. Kramer. CSV adalah tentang menciptakan sinergi antara nilai ekonomi dan manfaat sosial. Ide dasarnya adalah bahwa perusahaan dapat menciptakan nilai ekonomi sekaligus memberikan dampak sosial positif. Contohnya, Nestlé di banyak negara termasuk Indonesia telah bekerja sama dengan petani kecil untuk meningkatkan kualitas biji kopi mereka. Hasilnya? Petani mendapatkan kenaikan penghasilan, sementara Nestlé mendapatkan pasokan bahan baku yang lebih baik dan keuntungan finansial yang juga lebih tinggi. Ini adalah win-win solution yang sesungguhnya. Kalau dihitung lebih jauh lagi, alam juga mendapatkan kebaikan karena apa yang dilakukan Nestlé itu menghindari deforestasi dan meregenerasi wilayah-wilayah pertanian.

CSV berbeda dari praktik CSR tradisional karena fokusnya pada integrasi dampak sosial ke dalam strategi inti bisnis. Alih-alih memperlakukan dampak sosial sebagai biaya tambahan, perusahaan yang mengadopsi CSV melihatnya sebagai peluang untuk berinovasi dan membedakan diri dari pesaing. Misalnya, GE meluncurkan inisiatif Ecomagination, yang bertujuan untuk mengembangkan teknologi hemat energi yang membantu mengatasi perubahan iklim. Produk-produk seperti turbin angin, lampu LED, dan sistem pemurnian air tidak hanya menarik bagi konsumen yang sadar lingkungan tetapi juga membuka pasar baru yang potensial. Sejak diluncurkan, inisiatif ini telah menghasilkan pendapatan lebih dari USD300 miliar sambil mengurangi jejak karbon GE sendiri. Tetapi, tak semua urusan dampak sosial dapat ditegakkan dengan CSV, mengingat ada beragam dampak sosial memang harus dikelola perusahaan walaupun—setidaknya dalam jangka pendek—tak jelas keuntungan finansialnya buat perusahaan.

Selain CSV, ada juga model B Corporation (B Corp), yang semakin populer di kalangan perusahaan yang ingin membawa dampak sosial ke level berikutnya. B Corp adalah sertifikasi yang diberikan kepada perusahaan yang memenuhi standar tinggi dalam hal dampak lingkungan, sosial dan tata kelola. Untuk mendapatkan sertifikasi ini, perusahaan harus menjalani penilaian komprehensif yang mencakup lima area utama: tata kelola, pekerja, komunitas, lingkungan, dan pelanggan. Mereka juga harus mengubah piagam perusahaan mereka untuk secara resmi memprioritaskan—atau lebih tepatnya memandang setara—kepentingan semua pemangku kepentingan, bukan hanya mengutamakan pemegang saham seperti yang dilakukan oleh majoritas perusahaan. Kalau CSV berada pada level CSR Strategis, sesungguhnya B Corp berada pada level yang lebih tinggi lagi, yaitu Kapitalisme Pemangku Kepentingan.

Contoh perusahaan yang telah berhasil mendapatkan sertifikasi B Corp termasuk Patagonia, Ben & Jerry’s, dan Seventh Generation. Mereka membuktikan bahwa bisnis dapat beroperasi secara etis, memberikan manfaat yang merata kepada seluruh pemangku kepentingannya, tanpa mengorbankan profitabilitas. Patagonia yang nilai pada sertifikasi B Corp-nya termasuk yang tertinggi adalah juga perusahaan aparel luar ruangan yang paling sukses. Di Indonesia, meskipun jumlahnya masih terbatas, beberapa perusahaan seperti Danone Aqua, Ekoluxe, Instellar, Jejakin, MYCL dan Sukkha Citta telah mengadopsi prinsip-prinsip B Corp dan mendapatkan sertifikatnya.

Selain B Corp, ada juga konsep social business atau bisnis sosial, yang menjadi popular ketika mulai diperkenalkan oleh Muhammad Yunus, pemenang Nobel Perdamaian dari Bangladesh. Bisnis sosial adalah model bisnis yang sepenuhnya didedikasikan untuk menyelesaikan masalah sosial atau lingkungan. Misalnya, Grameen Bank memberikan pinjaman mikro kepada wanita miskin untuk membantu mereka keluar dari kemiskinan. Model ini unik karena semua laba diinvestasikan kembali ke dalam misi, bukan dibagikan kepada pemegang saham. Ini adalah pendekatan yang sangat cocok untuk menangani masalah-masalah seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial. Tetapi, tidak semua bisnis sosial sama dengan Grameen Bank dalam soal reinvestasi. Sepanjang majoritas keuntungan direinvestasi, sementara bagian yang lebih kecil dibagikan kepada pemegang saham, kebanyakan pakar dan regulasi menyetujui bahwa itu tetapkah bisnis sosial.

Indonesia, sebagai negara dengan populasi besar dan keanekaragaman budaya serta ekosistem alam yang kaya, dengan beragam isu ekonomi-sosial-lingkungan yang khas, memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin dalam gerakan CSI. Namun, tantangannya juga tidak sedikit. Masalah seperti deforestasi, ketimpangan ekonomi, dan urbanisasi yang cepat memerlukan solusi inovatif dari sektor swasta. Perusahaan-perusahaan di industri sawit dapat memainkan peran penting dalam mengurangi dampak lingkungan melalui praktik pertanian berkelanjutan. Perusahaan pertambangan bisa lebih jauh daripada sekadar merehabilitasi lahan bekas tambang mereka, kalau mau memanfaatkannya untuk restorasi habitat dan ekosistem.

 

Indonesia dan Kepemimpinan Dampak Sosial Perusahaan

Contoh nyata dari langkah-langkah ini sudah mulai muncul. Salah satu contohnya adalah tumbuhnya berbagai platform fintech yang menyediakan pinjaman mikro kepada wirausaha kecil di pedesaan. Model bisnis ini tidak hanya membantu mengentaskan kemiskinan tetapi juga memberdayakan perempuan, yang sering kali menjadi tulang punggung ekonomi rumah tangga di desa-desa. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan organisasi nirlaba juga semakin intensif. Program seperti Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), yang melibatkan berbagai kabupaten dengan sumberdaya alam yang tinggi di seluruh Indonesia, bertujuan untuk mendorong pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal. Program ini menunjukkan bahwa ketika semua pihak bekerja sama, dampaknya bisa sangat signifikan.

Namun, tentu saja, tantangan tetap ada. Salah satu hambatan utama adalah kurangnya pemahaman tentang pentingnya CSI di kalangan pelaku bisnis di Indonesia. Banyak perusahaan masih melihat dampak sosial sebagai biaya tambahan daripada investasi strategis. Banyak perusahaan yang juga melihat pengelolaan dampak sosial cukup berada di pinggiran proses bisnisnya. Selain itu, regulasi yang mendukung praktik bisnis berkelanjutan masih belum optimal, dan tak pernah menuntut dampak lingkungan dan sosial dikelola di tingkat balance apalagi hingga net positive. Meskipun pemerintah telah meluncurkan berbagai kebijakan untuk melindungi lingkungan, implementasinya sering kali lemah karena kurangnya sumberdaya dan koordinasi antarlembaga. Juga, hingga sekarang perusahaan masih bebas saja mengemisikan gas rumah kaca di tingkat yang sebetulnya sangat destruktif.

Untuk mengatasi tantangan ini, perusahaan di Indonesia perlu mengambil langkah-langkah konkret. Pertama, mereka harus melakukan materiality assessment untuk mengidentifikasi isu-isu yang paling relevan bagi bisnis mereka dan pemangku kepentingan. Kedua, mereka harus mengintegrasikan dampak sosial ke dalam strategi inti bisnis mereka, bukan hanya sebagai aktivitas tambahan. Ketiga, mereka harus menargetkan kinerja minimal di tingkat di mana tak ada lagi kerusakan bersih (net zero) dan lebih baik lagi hingga tingkatan net positive dan membuat peta jalan dan mengalokasikan sumberdaya yang sesuai. Keempat, mereka harus berkolaborasi dengan pemerintah, organisasi nirlaba, dan komunitas lokal untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan. Terakhir, mereka harus mengadopsi teknologi dan inovasi untuk meningkatkan menekan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif, memantaunya dengan lekat, dan melaporkan secara transparen.

Penting juga untuk dicatat bahwa perubahan ini tidak hanya akan menguntungkan masyarakat dan lingkungan, tetapi juga perusahaan itu sendiri. Dalam jangka panjang, perusahaan yang berkomitmen untuk memberikan dampak sosial akan lebih tangguh, lebih inovatif, dan lebih kompetitif—sebagaimana yang telah banyak dibuktikan di penelitian-penelitian di seluruh dunia. Mereka akan menarik pelanggan yang sadar lingkungan, karyawan yang ingin bekerja untuk perusahaan dengan nilai-nilai kuat, dan investor yang mencari peluang jangka panjang. Singkatnya, dampak sosial bukan hanya soal melakukan hal yang benar di mata pemangku kepentingan—itu juga tentang memastikan keberlanjutan bisnis di masa depan.

Kini, saatnya bagi perusahaan di Indonesia dan seluruh dunia untuk melihat diri mereka tidak hanya sebagai entitas ekonomi, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial. Dengan mengadopsi proses materiality assessment yang benar, lalu memanfaatkan model bisnis progresif yang ditunjukkan oleh CSV, B Corp, dan bisnis sosial, perusahaan dapat menciptakan dampak positif yang semakin besar—dan lebih besar daripada dampak negatifnya. Keberhasilan sebuah bisnis tidak lagi hanya diukur dari angka-angka di neraca keuangan, tetapi juga dari jejak positif yang ditinggalkannya di dunia. Ketika bisnis berkomitmen untuk memberikan dampak sosial, mereka tidak hanya memperbaiki hidup orang lain—mereka juga membangun fondasi yang kokoh untuk masa depan mereka sendiri.

Saya yakin sepenuhnya bahwa Indonesia memiliki semua elemen yang diperlukan untuk menjadi teladan dalam hal ini: sumberdaya alam yang melimpah, masyarakat yang kreatif, dan semangat gotong royong yang kuat. Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian untuk berinovasi dan visi untuk melampaui batas-batas bisnis tradisional. Jika kita berhasil, generasi mendatang akan hidup di dunia yang lebih hijau, sejahtera, dan adil. Ini adalah warisan yang patut diperjuangkan—dan bisnis memiliki peran sentral dalam mewujudkannya.

 

Jakarta, 5 Mei 2025