Hari ini sedianya saya hadir di acara IAP2 Indonesia yang membahas hasil penelitian tentang Indeks Partisipasi Publik (IPP). Namun, saya berhalangan untuk hadir secara langsung. Beberapa bulan lampau saya telah hadir dalam sebuah webinar untuk memberikan masukan ke dalam proses tersebut, dan sangat bergembira membaca kemajuan penelitian berdasarkan bahan presentasi yang dikirimkan kepada saya kemarin sore.
Walaupun hasil itu membuat saya berharap besar pada penguatan partisipasi publik di Indonesia, namun saya juga terpikirkan banyak hal yang membuat saya gundah. Untuk mengurangi kegundahan saya, beberapa hal yang langsung terpikirkan saya tuliskan saja. Mungkin bisa bermanfaat untuk dipertimbangkan dalam implementasi IPP kelak. Komentar ini saya buat dengan mengacu pada teori partisipasi publik serta situasi yang ada di Indonesia sebagaimana yang saya pahami.
Pertama soal kualitas partisipasi publik.
Teori partisipasi publik menyatakan bahwa kualitas partisipasi sangatlah penting. Karenanya, IPP sebaiknya tidak hanya mengukur jumlah atau frekuensi partisipasi, tetapi juga kualitasnya. IAP2 membedakan antara tingkat partisipasi yang berbeda, mulai dari inform (memberikan informasi), consult (berkonsultasi), involve (melibatkan), collaborate (berkolaborasi), hingga empower (memastikan implementasi keputusan).
Dalam konteks Indonesia, bagaimanapun, kebanyakan partisipasi sering kali masih berada pada tahap consult, di mana masyarakat hanya dimintai pendapat tanpa pengaruh nyata pada keputusan. Oleh karena itu, IPP perlu memasukkan elemen yang mengevaluasi tingkat dampak dari partisipasi tersebut. Ini memelukan indikator yang mengevaluasi seberapa besar input dari masyarakat benar-benar memengaruhi keputusan akhir. Misalnya, indikator dapat menilai apakah hasil konsultasi masyarakat terintegrasi ke dalam kebijakan pemerintah atau projek yang diimplementasikan perusahaan.
Kedua, sifat inklusif dalam partisipasi.
Indeks ini harus mengakomodasi aspek inklusivitas, yaitu sejauh mana berbagai kelompok masyarakat, terutama kelompok yang kerap dimarginalkan dalam pemngambilan keputusan seperti Perempuan, masyarakat adat, dan kelompok difabel, dapat benar-benar berpartisipasi.
Yang banyak saya saksikan di Indonesia, sering terjadi ketimpangan akses terhadap proses partisipasi, terutama di daerah pedesaan atau terpencil di mana akses terhadap informasi dan teknologi masih terbatas. Karenanya, IPP perlu memiliki indikator yang mengukur keterwakilan dan inklusivitas, misalnya melalui survei atas demografi publik termasuk gender, dan proses pemastian representasi dari berbagai kelompok sosial dalam proses partisipasi.
Ketiga, tentang pemanfaatan teknologi digital.
Saya adalah orang yang menyaksikan bahwa digitalisasi memiliki banyak sekali manfaat, termasuk manfaat partisipasi. Namun demikian saya juga mengetahui bahwa penggunaan teknologi digital untuk meningkatkan partisipasi mennghadapi beberapa tantangan dalam implementasi di Indonesia, terutama terkait kesenjangan digital. Data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa akses internet dan literasi digital masih terbatas di banyak daerah.
Jadi, menurut hemat saya, selain mengembangkan platform digital, IPP juga sebaiknya juga menguatkan berapada metode partisipasi luring, seperti pertemuan langsung dengan masyarakat, terutama di daerah dengan akses internet terbatas. Ini akan memastikan bahwa indeks dapat mengakomodasi seluruh komponen masyarakat, termasuk yang berada di wilayah yang minim akses teknologi. Pertemuan langsung juga akan lebih memungkinkan ajakan untuk partisipasi, bukan sekadar pemberian peluang partisipasi—namun belum tentu akan dimanfaatkan—seperti yang banyak dirasakan orang ketika berhadapan dengan platform digital.
Keempat, tentang pentingnya pengukuran akuntabilitas dalam partisipasi.
Salah satu tujuan utama dari partisipasi publik adalah meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dari lembaga pemerintahan, swasta, maupun masyarakat sipil. Namun, tidak cukup hanya mengukur tingkat partisipasi. Melainkan, perlu juga mengukur bagaimana organisasi yang telah mendapatkan masukan publik itu benar-benar menindaklanjuti masukan yang diterimanya.
Di Indonesia, bagaimanapun, ada kecenderungan bahwa proses partisipasi sering kali hanya bersifat formalitas tanpa tindak lanjut yang jelas. Karenanya, sangat perlu memastikan adanya indikator yang menilai respons dan tindak lanjut dari masukan yang diberikan publik. Misalnya, indikator yang dapat mengukur proporsi rekomendasi yang diimplementasikan, juga untuk memberi gambaran soal apakah ada umpan balik yang disampaikan kepada publik setelah proses partisipasi. Bagaimanapun, tingkatan tertinggi partisipasi menurut IAP2 adalah empowerment, yang maknanya dinyatakan “we will implement what you decide.” Jadi, akan sangat aneh apabila tidak ada ukuran soal implementasi.
Kelima, adaptasi konteks lokal.
Kesadaran akan variasi regional sangatlah penting. Indonesia memiliki keragaman sosial, budaya, dan politik yang signifikan, yang dapat memengaruhi tingkat dan cara partisipasi publik. Misalnya, partisipasi publik di wilayah perkotaan seperti Jakarta atau Surabaya mungkin berbeda secara signifikan dengan daerah pedesaan di Papua atau Maluku.
Dengan demikian, memasukkan faktor kontekstualisasi lokal dalam penilaian indeks, seperti latar belakang sosial-budaya, tingkat literasi, dan kondisi infrastruktur lokal sangatlah penting. Penggunaan pendekatan regionalisasi—untuk tidak menyebut ‘lokalisasi’ yang bisa dipersepsikan berbeda—dalam pengukuran dapat membantu menyesuaikan indeks dengan kondisi lokal yang berbeda-beda. Jadi, perlu dipastikan bahwa organisasi yang hendak memanfaatkan partisipasi publik benar-benar memahami lokalitas dan mengadaptasikannya ke dalam proses partisipasi.
Keenam, soal metodologi penilaian terkait bobot indikator dan validitas data.
Metode yang digunakan untuk pembobotan indikator melalui AHP dan metode survei bagaimanapun memiliki risiko subjektivitas yang tinggi, terutama jika tidak melibatkan sampel responden yang representatif. Selain itu, hasil pembobotan yang terlalu bergantung pada opini ahli (expert judgment) dapat mengabaikan pandangan masyarakat luas. Bagaimanapun, sebagian besar masyarakat bukanlah ahli, sehingga opini ahli sangat boleh jadi tidak mewakili pandangan masyarakat.
Karenanya, meningkatkan representasi masyarakat dalam proses pembobotan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan secara lebih luas adalah krusial. Selain itu, dapat digunakan triangulasi data untuk memvalidasi hasil, misalnya melalui kombinasi metode survei, wawancara mendalam, dan analisis data sekunder (termasuk big data analytics). Semakin banyak sumber informasinya seharusnya semakin baik dan berimbang, walau tetap perlu memerhatikan sumberdaya yang bisa dimanfaatkan untuk memastikan kehandalan kesimpulan partisipasi.
Terakhir, soal pemantauan dan evaluasi yang berkesianambungan.
Untuk memastikan relevansi dan efektivitas IPP, diperlukan mekanisme pemantauan dan evaluasi yang terus-menerus dalam jangka panjang. Dalam konteks Indonesia, kebijakan dan dinamika sosial-politik bisa berubah dengan cepat, yang memengaruhi pola dan kualitas partisipasi publik. Bahkan, sebetulnya perubahan-perubahan itu bisa mengkhianati hasil partisipasi publik tertentu.
Dengan begitu, IPP agaknya perlu mengembangkan sistem pemantauan yang dinamis dengan dashboard yang dapat diperbarui secara berkala berdasarkan data terbaru dan bisa diakses oleh publik tanpa restriksi. Di satu sisi, ini dapat membantu mengidentifikasi tren dan perubahan dalam partisipasi publik dari waktu ke waktu; di sisi lain bisa juga dipergunakan untuk menimbang apakah sebetulnya perubahan-perubahan tertentu sebenarnya sejalan atau bertentangan dengan hasil partisipasi publik.
IPP yang sedang dirancang oleh IAP2 Indonesia ini jelas memiliki potensi untuk menjadi alat yang kuat dalam mengukur dan mendorong partisipasi publik dalam pengambilan keputusan di Indonesia. Namun, sebagaimana yang saya telah catatkan di bagian terdahulu, perlu adanya perbaikan dalam aspek kualitas partisipasi, inklusivitas, pemanfaatan teknologi yang lebih adaptif, serta pengukuran akuntabilitas yang lebih kuat. Dengan memerhatikan konteks lokal Indonesia dan melakukan penyesuaian metodologi yang lebih representatif, IPP dapat menjadi alat yang lebih efektif dan dapat diandalkan untuk mendorong partisipasi publik yang inklusif dan berkualitas.
Depok, 19 November 2024 08:10