Menjaga Relevansi Perusahaan di Masa Depan
Oleh: Jalal
Pimpinan Dewan Penasihat – Social Investment Indonesia
“The purpose of business is to produce profitable solutions to the problems of people and planet, and not to profit from producing problems for people and planet.” – Colin Mayer, 2018.
Sepanjang satu tahun situasi pandemi COVID-19 ini saya memiliki lebih banyak waktu untuk terus mendalami isu-isu terkait keberlanjutan bisnis. Saya lebih banyak membaca buku dan artikel terkait dengan tema itu, dan juga berkesempatan mengikuti tiga pendidikan eksekutif secara daring di Universitas Harvard (Sustainable Business Strategy), London Business School (Sustainability Leadership and Corporate Responsibility), dan yang baru saja saya selesaikan pada akhir Maret lalu adalah di Universitas Oxford (Leading Sustainable Corporations Programme).
Saya mendapatkan banyak pertanyaan tentang apa yang saya pelajari di ketiga pendidikan eksekutif tersebut. Tentu, ada banyak sekali—mungkin lebih tepatnya: terlampau banyak—yang bisa saya sampaikan, karena setiap minggunya ketiga pendidikan eksekutif itu mewajibkan saya membaca bacaan utama, memeriksa daftar pustaka dan membaca bacaan penunjang yang disebutkan, dan menonton banyak video perkuliahan. Tetapi, melalui tulisan ini, saya mau membagi kesimpulan besar dari apa yang saya pelajari. Kali berikutnya, saya akan sempatkan menuliskan secara lebih detail.
Apa Sebetulnya Tujuan Perusahaan?
Seluruh pendidikan eksektutif yang saya ikuti memulai programnya dengan mendiskusikan apa itu tujuan dari perusahaan. Sama dengan institusi lainnya, perusahaan memiliki tujuan atau purpose tertentu. Dan, sebagaimana tujuan yang dimiliki oleh institusi lainnya, tujuan perusahaan dirumuskan dengan sifat yang aspirasional dan positif. Salah satu akademisi terpenting dalam bidang ini, Alex Edmans menyatakan bahwa tujuan perusahaan adalah menjawab pertanyaan bagaimana dunia menjadi lebih baik karena kehadiran, keputusan dan aktivitasnya.
Dengan pemahaman yang demikian tentang tujuan, maka menghasilkan apalagi memaksimalkan keuntungan atau profit bagi pemegang sahamnya, bukanlah tujuan yang tepat bagi perusahaan-perusahaan. Bayangkan saja, kalau tujuan dari institusi hukum adalah mencapai keadilan, dan tujuan dari institusi pendidikan adalah penyebaran pengetahuan ilmu pengetahuan, maka tujuan bisnis perusahaan seharusnya adalah sesuatu yang lebih luas dan lebih tinggi daripada aktivitas bisnis sendiri.
Anehnya, kebanyakan orang hingga sekarang percaya begitu saja bahwa memang demikianlah tujuan perusahaan. Ini bisa dilacak dari pendirian Milton Friedman yang diformulasikan dalam sebuah majalah di tahun 1970. Dan, karena sangat menarik, maka pendirian bahwa tujuan perusahaan adalah pencarian, peningkatan, bahkan maksimisasi keuntungan bagi pemilik modal menjadi sedemikian popular.
Tetapi, kalau kita pikirkan dengan saksama, tentu keuntungan itu tak pantas menjadi tujuan perusahaan. Seberapapun pentingnya perusahaan dalam menghasilkan keuntungan, yaitu agar ia terus bisa beroperasi, keuntungan adalah prasyarat eksistensi, bukan tujuan. Keuntungan, dalam situasi ideal adalah salah satu tanda bahwa perusahaan memang berada pada arah yang benar dalam mencapai tujuannya. Dalam situasi yang tidak ideal, tentu saja, dia bisa berasal dari patgulipat akuntansi, atau pengabaian atas hal-hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan.
Keuntungan yang Baik
Sangat penting untuk ditekankan di sini bahwa tidak ada yang salah dengan keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan, hanya saja keuntungan seharusnya hanya dihasilkan lewat cara yang bisa dibenarkan secara moral dan etika. Bahkan Friedman sendiri menyatakan bahwa keuntungan tidak boleh dihasilkan dengan curang, melanggar hukum dan menabrak etika. Namun, mereka yang mengklaim dirinya mengikuti Friedman sekalipun kerap abai atas batasan-batasan yang disampaikan Friedman itu.
Colin Mayer, dalam buku Prosperity: Better Business Makes the Greater Good yang terbit di penghujung 2018 memberikan ide paling jelas tentang bagaimana perusahaan seharusnya menghasilkan keuntungan. Cara yang dibenarkan secara moral dan etika untuk perusahaan-perusahaan bisa menghasilkan keuntungan adalah melalui bisnis yang memecahkan masalah ekonomi, sosial dan lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat, bukan malahan mendapatkan keuntungan lewat cara-cara yang menciptakan masalah-masalah itu bagi masyarakat. Demikian pendirian Mayer yang kalimat aslinya saya kutipkan di bagian awal tulisan ini.
Di sini kita kemudian penting untuk berefleksi bahwa sebagian (besar?) perusahaan masih belum dapat memenuhi apa yang dijelaskan Mayer itu. Banyak perusahaan yang dalam proses produksi barang dan jasanya malahan menghasilkan dampak negatif bagi pemangku kepentingan bahkan masyarakat luas dan lingkungan. Lebih buruk lagi, ada perusahaan-perusahaan yang produknya bahkan membawa dampak negatif yang besar terhadap para konsumennya sendiri, dan tentu saja terhadap masyarakat luas dan lingkungan.
Untuk dapat menghasilkan keuntungan melalui cara yang yang disarankan Mayer, setiap perusahaan perlu menemukan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat apa saja yang mereka mampu (able) dan mau (willing) mereka pecahkan. Able dan willing adalah dua kata kunci penting yang dipergunakan oleh Ioannis Ioannou dari LBS ketika perusahaan mau melakukan perubahan menuju keberlanjutan yang menguntungkan. Bagi perusahaan-perusahaan yang baru akan dibentuk, sangatlah penting untuk menentukan hal ini sejak awal. Bagi perusahaan-perusahaan yang telah lama berdiri, reformulasi tujuan mungkin perlu dilakukan.
Sebagai contoh, sebuah restoran mungkin tadinya berpikir untuk mencari keuntungan lewat berjualan makanan dan minuman, namun dengan cara pandang baru mereka bisa merumuskan tujuannya adalah berkontribusi pada peningkatan status gizi dan kesehatan konsumennya. Sebuah bank mungkin tadinya hanya berpikir untuk menghasilkan keuntungan lewat meminjamkan uang yang ditabung nasabahnya kepada debitur. Ketika bank tersebut melihat dengan sudut pandang pemecahan masalah, mungkin ia akan merumuskan bahwa tujuannya adalah mendorong pengembangan ekonomi yang berkelanjutan pada sektor-sektor tertentu, atau bahkan benar-benar membiayai perbaikan sosial dan lingkungan lewat model bisnis yang menguntungkan.
Model-model Bisnis Berkelanjutan
Perusahaan memecahkan masalah-masalah tersebut dengan memanfaatkan seluruh bentuk modal yang dimiliki olehnya, dan juga mitranya, dalam proses penciptaan nilai. Tampak sangat jelas bahwa kesadaran soal multi-capitals kini sedang sangat menguat. Perusahaan kini tidak semata-mata melihat bahwa modal finansial adalah yang terpenting, melainkan juga, dan terutama, modal insani (human capital), modal sosial (social capital), dan modal alami (natural capital). Bentuk-bentuk modal lainnya, yaitu modal cendekia (intellectual capital) dan modal material dan infrastuktur (manufactured capital) juga dibahas, namun dalam porsi yang lebih sedikit. Ide dasarnya, sama dengan modal finansial yang diharapkan untuk terus tumbuh, demikian juga dengan bentuk-bentuk modal lainnya. Ini adalah moda berpikir yang terpadu. Kalau selama ini banyak perusahaan yang memandang bahwa untuk meningkatkan keuntungan mereka bisa menggerogoti atau mengorbankan bentuk-bentuk modal lainnya, kini pendirian itu tak lagi bisa diterima.
Oleh karena itu, model bisnis, kebijakan dan strategi yang diformulasikan oleh perusahaan dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat harus memastikan bahwa seluruh bentuk modal yang dimiliki oleh perusahaan dan mitranya mengalami peningkatan dalam jangka menengah dan panjang. Ini adalah makna dari keberlanjutan perusahaan yang sekarang dipegang oleh para pakar di bidang ini.
Model bisnis yang bisa menggabungkan antara keberlanjutan dan keuntungan sendiri secara umum oleh Rebecca Henderson dari Harvard Business School digolongkan menjadi empat. Pertama, inovasi keberlanjutan yang dapat menurunkan biaya produksi. Kedua, inovasi keberlanjutan yang bisa membuat perusahaan masuk ke ceruk pasar tertentu yang bersedia membayar harga yang lebih tinggi untuk produk-produknya. Ketiga, inovasi keberlanjutan yang akan menarik perhatian segmen konsumen yang lebih luas. Dan, terakhir, inovasi keberlanjutan yang membuat perusahaan masuk ke bisnis yang benar-benar baru.
Kita semua tahu bahwa ada banyak inisiatif efisiensi yang akan bisa menekan biaya. Efisiensi energi adalah salah satu yang paling popular. Kalau perusahaan berpikir dalam jangka panjang, efisiensi perlu terus ditingkatkan hingga batas optimal, dan ini akan terus mendatangkan keuntungan. Kita juga mengetahui bahwa ada segmen pasar tertentu yang bersedia merogoh kocek lebih dalam manakala produk-produk yang hendak mereka beli diyakini lebih baik untuk keberlanjutan. Ada banyak penelitian yang membuktikan bahwa Milenial dan Gen Z memiliki perhatian lebih tinggi terhadap isu-isu keberlanjutan, dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Oleh karena itu, menjadi masuk akal apabila perusahaan ingin memenangkan kompetisi pemasaran dengan melayani sentimen positif tersebut. Bukan dengan greenwashing—yang akan merisikokan perusahaan dihukum oleh pasar—melainkan dengan komitmen dan kinerja keberlanjutan yang sesungguhnya. Juga, karena ada banyak industri yang sesungguhnya tidak kompatibel dengan masa depan, misalnya industri energi fosil, maka jalan keberlanjutan yang perlu diambil oleh industri tersebut adalah transformasi menuju industri energi terbarukan.
Salah satu topik yang sangat kuat dibicarakan dalam pendidikan eksekutif yang saya ikuti adalah ekonomi sirkular. Agaknya, itu karena keempat model bisnis berkelanjutan dan menguntungkan itu tampak bisa disatukan di dalamnya. Berbeda secara diametrikal dengan kebanyakan model yang linear—take, make, waste—model yang sirkular didesain sejak awal untuk menekan jumlah sampah, termasuk dengan pemanfaatan keseluruhan hasil sampingan proses produksi dan konsumsi menjadi sumberdaya untuk proses produksi berikutnya. Logika ini benar-benar sesuai dengan model keempat (bisnis baru) dan pertama (efisiensi). Konsumen yang semakin sadar pada keberlanjutan jelas akan cenderung memilih produk yang sirkular, sesuai dengan model ketiga; dan bahkan mungkin bersedia membayar dengan harga yang lebih tinggi, yang sesuai dengan model kedua.
Menggapai Value Creation yang Hakiki
Dari model-model yang dipaparkan Henderson itu, jelas bahwa jalan keberlanjutan dan keuntungan itu benar-benar bisa seiring. Sehingga, penurunan modal natural serta modal insani dan sosial dalam jangka menengah dan panjang sebagai trade off dalam peningkatan modal finansial merupakan pertanda bahwa keuntungan yang dihasilkan perusahaan bersifat palsu, yang dihasilkan melalui penghancuran nilai dan bukan penciptaan nilai. Keuntungan yang palsu tidak bersifat berkelanjutan, dan akan tergerus lalu hilang dalam jangka panjang. Kalau di masa lalu pengertian value creation kerap disempitkan dengan hanya mencakup modal finansial saja, kini pengertiannya benar-benar harus mencakup moda lainnya, sehingga value creation juga berarti para pemangku kepentingan perusahaan mendapatkan beragam jenis manfaat dan terhindar dari mudarat yang dihasilkan oleh perusahaan. Keuntungan yang palsu sesungguhnya adalah value destruction, dan itu tak bisa dan tak boleh lagi ditoleransi.
Kompetisi, dan terlebih lagi kolaborasi, dalam menemukan model bisnis berkelanjutan jelas akan menentukan perusahaan-perusahaan mana yang bakal terus relevan dan berkembang di masa mendatang. Perusahaan tak lagi bisa sekadar beroperasi di ranah do no harm. Ketiadaan atau dikompensasinya seluruh dampak negatif hanyalah batas minimal untuk perusahaan bisa eksis, namun untuk bisa lebih jauh daripada itu, perusahaan perlu untuk secara aktif menunjukkan kontribusi positif di atas itu, yang sejalan dengan purpose yang telah ditetapkan. Apabila perusahaan-perusahaan berupaya memaksimalkan dampak positifnya atas isu-isu keberlanjutan, maka mereka akan menemukan jalan menjadi perusahaan regeneratif yang akan terus relevan dalam jangka panjang.
Sejarah telah membuat kita semua sampai pada masa ketika berbagai kondisi semakin berpihak pada keberlanjutan. Perubahan-perubahan dalam kondisi lingkungan, sosial, dan ekonomi telah membuat masalah sedemikian gamblangnya bisa dilihat oleh siapapun. Dampak perubahan iklim sudah terasa di mana-mana, demikian juga dengan ketimpangan ekonomi. Ekspektasi Milenial dan Gen Z atas isu-isu tersebut juga jelas. Walaupun kepedulian kepada keberlanjutan tidak merata pada keseluruhan generasi itu, tetapi reratanya jelas lebih baik dibandingkan Baby Boomers dan Gen X. Tuntutan transparensi yang semakin tinggi, dikombinasikan dengan merebaknya internet dan media sosial jelas membuat keuntungan palsu akan semakin sulit dihasilkan, dan perusahaan-perusahaan yang masih mencarinya akan kalah dalam persaingan dan punah. Tentu, ada saja pihak-pihak yang mencoba untuk memertahankan keuntungan palsu dari value destruction itu, tetapi mereka akan tergilas oleh kebutuhan dan semangat zaman.
Disiplin pengukuran dengan metodologi yang kokoh, transparensi maksimum dan akuntabilitas penuh adalah kunci-kunci terpenting untuk bisa memenuhi ekspektasi keberlanjutan dari pemangku kepentingan masa kini, dan akan terus menguat pada generasi baru dan mendatang. Perusahaan-perusahaan mulai berkompetisi untuk memenuhi atau bahkan melampaui ekspektasi tersebut. Oleh karena itu, sekarang kita semua menyaksikan ada banyak sekali inisiatif yang dilakukan oleh perusahaan, kumpulan perusahaan, maupun pihak ketiga yang menilai kinerja keberlanjutan perusahaan.
Pelaporan keberlanjutan dengan beragam varian standar dan kerangkanya menunjukkan bagaimana perusahaan perlu memastikan kinerja yang baik, dan komunikasi dengan data yang bisa terpercaya kepada para pemangku kepentingannya. Keterbukaan penuh atas kinerja, keseimbangan informasi antara kinerja yang masih negatif dengan yang telah positif di setiap isu material adalah keniscayaan. Demikian juga dengan kejelasan strategi dan kerangka waktu untuk benar-benar menghilangkan seluruh kinerja yang negatif itu, seraya me mengoptimalkan seluruh kinerja positif akan jadi titik perhatian utama para pemangku kepentingan.
Gerakan ESG (environmental, social and governance), yang mau menunjukkan bahwa kinerja lingkungan, sosial dan tata kelola perusahaan memang terkait erat dengan kinerja finansial menjadi sangat dominan dalam beberapa tahun terakhir. Dan ini memang menjadi sangat penting, dengan mengingat kembali tujuan perusahaan sebagaimana yang diformulasikan oleh Mayer: mendapatkan keuntungan hanya melalui pemecahan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat, dan bukan malahan menciptakan masalah-masalah bagi masyarakat. Para investor kini berusaha menapis kelayakan investasi—yang secara ringkas bisa dinyatakan sebagai model dan kinerja bisnis berkelanjutan yang mendatangkan keuntungan—dengan semakin banyak informasi, yang dibantu oleh organisasi pemberi peringkat ESG, dan perusahaan perlu meresponsnya dengan kinerja dan komunikasi yang sesuai ekspektasi tersebut.
Demikianlah. Sebagaimana yang saya saksikan hingga sekarang, termasuk di dalam ketiga pendidikan eksekutif yang saya ikuti selama beberapa bulan terakhir, wacana dan praktik keberlanjutan perusahaan telah berjalan jauh dan cepat. Beberapa dekade lampau perusahaan bisa dengan mudah lolos dari ekspektasi pemangku kepentingan yang memang masih sangat rendah. Pada saat yang sama, insentif untuk keberlanjutan juga tak jelas. Kini, ekspektasi pemangku kepentingan sangat tinggi, dan pasar telah menyediakan beragam insentif untuk perusahaan yang bisa memenuhi dan melampaui ekpektasi. Pertanyaannya kemudian adalah secepat apa perusahaan-perusahaan mau memanfaatkan semangat zaman yang sudah sedemikian jelasnya sekarang. Jawabannya akan sangat tergantung dari seberapa kuat keinginan perusahaan untuk menjadi relevan di masa mendatang.
–##–
Artikel ini direpost dari: https://hijauku.com/2021/04/06/menjaga-relevansi-perusahaan-di-masa-depan/
Tinggalkan Balasan